Thursday 24 January 2013

Keluarga itu Bernama Manunggal



Rasanya baru kemarin, aku kenal dengan sosok-sosok keren yang tidak bisa kutemukan di tempat lain. Rasanya baru kemarin, aku memasuki ruangan redaksi di PKM Joglo itu. Rasanya juga baru kemarin, aku diberi kesempatan memakai baju hitam berlogo Manunggal di dada kiri dan tulisan PERS di lengan kanan. Aku merasakan momen indah itu, karena teradopsi oleh sebuah keluarga bernama Manunggal. Tapi sebelum menikmati kesempatan itu, ada cerita panjang yang mengiringinya.


Suatu Jumat sore, di hampir tiga tahun yang lalu, ayah menyodorkan koran berisi agenda Semarang pada rubrik Seputar Tugumuda yang secara tidak sengaja ia temukan. Pada koran itu tertulis agenda pendidikan jurnalistik dasar On the Spot LPM Manunggal. Aku ingat betul, jika waktu itu langsung kuangkat gagang telepon dan menelepon nomor yang terpasang. Hasilnya, aku terdaftar sebagai peserta pendidikan dan diminta datang langsung esok harinya. Sebenarnya, aku tidak tertarik dengan si pembuat acara (siapapun itu, aku tidak peduli). Aku hanya berterimakasih telah diberi kesempatan belajar jurnalistik. Itu saja.

Paginya, aku datang ke Gedung Profesor Soenardi, lokasi diadakannya pendidikan jurnnalistik itu. Di sana, aku tersadar, jika si pembuat acara masih mahasiswa. Tidak terpikir sebelumnya, jika mereka hanya dua-tiga tahun di atas usiaku. Semangatku pun memuncak dan berpikir; aku pun pasti bisa seperti mereka.

Aku sangat menikmati materi demi materi yang disampaikan para pembicara. Sama sekali tidak merasa canggung, meski masih berstatus siswa abu-abu dan bergabung dengan puluhan mahasiswa yang tak kukenal. Di acara itu, aku mulai mengenal dunia jurnalistik yang telah lama aku inginkan. Hingga pada hari kedua, ada materi Kemanunggalan yang berisi profil si pembuat acara pendidikan dasar itu. Saat itulah, aku semakin memantapkan niat untuk bergabung dengan Manunggal.

Singkat cerita, ketika resmi jadi mahasiswa, aku langsung saja mendaftarkan diri sebagai pemagang Manunggal. Beruntung banget aku sudah pernah ikut pendidikan dasar, karena itu menjadi syarat magang. Selama magang itu, aku mulai belajar liputan dan menulis. Setidaknya, aku mendapat tiga kali penugasan, yaitu wawancara seputar kewirausahaan, liputan dies natalis, dan liputan wafatnya Prof. Didiek.

Turut berpartisipasi dalam peliputan, hanya satu di antara banyak syarat untuk menjadi bagian Manunggal. Proses outbond juga aku alami, bersama teman-teman magang lainnya. Bertempat di sebuah wisma mungil di kawasan perkebunan teh Medini, aku mulai merasakan iklim kekeluargaan.

Tak berselang lama, ada wawancara akhir magang, dan disusul dengan pengumuman calon pengelola baru. Syukur Alhamdulillah, namaku termasuk satu di antara teman-teman yang lolos seleksi. Hingga masa rapat kerja dan pelantikan menjadi pengelola di Tawangmangu, aku kadang masih tidak percaya dengan anugerah ini.

Ada banyak cerita yang aku rasakan bersama keluarga ini. Ada keseruan ketika harus meliput atau wawancara. Menunggu, yang dulu menjadi hal yang kubenci, kini sudah jamak aku lakukan. Menjadi manusia yang ‘ngeyel’ di depan narasumber juga hal biasa, karena aku berprinsip; lebih baik malu di depan narasumber, dibanding malu di depan redaktur atau pemimpin redaksi. Alasan prinsip ini sebenarnya tidak terlalu penting, karena aku berpikir, ketemu narasumber mungkin cuma sekali, tapi kalau redaktur atau pemimpin redaksi kan pasti berkali-kali. Jelasnya, hal memalukan itu bisa terus diulang-ulang.

Banyak pengalaman menarik seputar peliputan dan wawancaraku untuk Manunggal. Sebagai contoh, aku sering nongkrong di rektorat demi sebuah wawancara untuk tulisan di Joglo Pos. Aku juga pernah liputan sampai ke Kendal dan Tegal untuk mendapatkan materi plesir dan kuliner di Majalah. Selain itu, ada kesempatan berharga ketika aku bisa bertemu dan ngobrol (wawancara) dengan Peter Carey dan Dahlan Iskan.

Manunggal tidak hanya Redaksi, karena di keluargaku ini juga ada bidang Perusahaan dan Litbang. Aku pun berkesempatan belajar di dua bidang itu. Di bidang Perusahaan, aku pernah membantu pengerjaan acara dari Even Organizer. Hal paling berkesan adalah ketika aku diberi amanah menjadi liaison officer untuk Yulika Satria Daya dan Ninok Hariyani, dua orang sekaligus, di seminar nasional.

Di Litbang juga ada keseruan lho, salahsatunya ketika aku menjadi seorang kambing (kakak pembimbing) bagi teman-teman magang. Di posisi itu, aku harus bisa menggandeng teman-teman magang untuk terus berproses menjadi seorang calon pengelola Manunggal. Keuntungannya, aku jadi berasa nostalgia di tahun sebelumnya ketika aku berposisi sebagai pemagang.

Sekarang, sudah memasuki tahun ketiga aku bergabung di Manunggal. Di sebuah villa bernama El Roi, kami bersiap menjalani hari untuk setahun ke depan. Setiap jengkal langkah telah kami rencanakan dengan masak. Semoga, ada banyak pencapaian untuk Manunggal, di tahun terakhirku bersamanya.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)