Rasanya baru kemarin,
aku kenal dengan sosok-sosok keren yang tidak bisa kutemukan di tempat lain. Rasanya
baru kemarin, aku memasuki ruangan redaksi di PKM Joglo itu. Rasanya juga baru
kemarin, aku diberi kesempatan memakai baju hitam berlogo Manunggal di dada
kiri dan tulisan PERS di lengan kanan. Aku merasakan momen indah itu, karena
teradopsi oleh sebuah keluarga bernama Manunggal. Tapi sebelum menikmati
kesempatan itu, ada cerita panjang yang mengiringinya.
Suatu Jumat sore, di hampir
tiga tahun yang lalu, ayah menyodorkan koran berisi agenda Semarang pada rubrik
Seputar Tugumuda yang secara tidak sengaja ia temukan. Pada koran itu tertulis
agenda pendidikan jurnalistik dasar On the Spot LPM Manunggal. Aku ingat betul,
jika waktu itu langsung kuangkat gagang telepon dan menelepon nomor yang
terpasang. Hasilnya, aku terdaftar sebagai peserta pendidikan dan diminta
datang langsung esok harinya. Sebenarnya, aku tidak tertarik dengan si pembuat
acara (siapapun itu, aku tidak peduli). Aku hanya berterimakasih telah diberi
kesempatan belajar jurnalistik. Itu saja.
Paginya, aku datang ke
Gedung Profesor Soenardi, lokasi diadakannya pendidikan jurnnalistik itu. Di
sana, aku tersadar, jika si pembuat acara masih mahasiswa. Tidak terpikir
sebelumnya, jika mereka hanya dua-tiga tahun di atas usiaku. Semangatku pun
memuncak dan berpikir; aku pun pasti bisa seperti mereka.
Aku sangat menikmati
materi demi materi yang disampaikan para pembicara. Sama sekali tidak merasa
canggung, meski masih berstatus siswa abu-abu dan bergabung dengan puluhan mahasiswa
yang tak kukenal. Di acara itu, aku mulai mengenal dunia jurnalistik yang telah
lama aku inginkan. Hingga pada hari kedua, ada materi Kemanunggalan yang berisi
profil si pembuat acara pendidikan dasar itu. Saat itulah, aku semakin
memantapkan niat untuk bergabung dengan Manunggal.
Singkat cerita, ketika
resmi jadi mahasiswa, aku langsung saja mendaftarkan diri sebagai pemagang
Manunggal. Beruntung banget aku sudah pernah ikut pendidikan dasar, karena itu
menjadi syarat magang. Selama magang itu, aku mulai belajar liputan dan menulis.
Setidaknya, aku mendapat tiga kali penugasan, yaitu wawancara seputar
kewirausahaan, liputan dies natalis, dan liputan wafatnya Prof. Didiek.
Turut berpartisipasi
dalam peliputan, hanya satu di antara banyak syarat untuk menjadi bagian
Manunggal. Proses outbond juga aku alami, bersama teman-teman magang lainnya.
Bertempat di sebuah wisma mungil di kawasan perkebunan teh Medini, aku mulai
merasakan iklim kekeluargaan.
Tak berselang lama, ada
wawancara akhir magang, dan disusul dengan pengumuman calon pengelola baru. Syukur
Alhamdulillah, namaku termasuk satu di antara teman-teman yang lolos seleksi. Hingga
masa rapat kerja dan pelantikan menjadi pengelola di Tawangmangu, aku kadang
masih tidak percaya dengan anugerah ini.
Ada banyak cerita yang
aku rasakan bersama keluarga ini. Ada keseruan ketika harus meliput atau
wawancara. Menunggu, yang dulu menjadi hal yang kubenci, kini sudah jamak aku
lakukan. Menjadi manusia yang ‘ngeyel’ di depan narasumber juga hal biasa,
karena aku berprinsip; lebih baik malu di depan narasumber, dibanding malu di
depan redaktur atau pemimpin redaksi. Alasan prinsip ini sebenarnya tidak
terlalu penting, karena aku berpikir, ketemu narasumber mungkin cuma sekali,
tapi kalau redaktur atau pemimpin redaksi kan pasti berkali-kali. Jelasnya, hal
memalukan itu bisa terus diulang-ulang.
Banyak pengalaman
menarik seputar peliputan dan wawancaraku untuk Manunggal. Sebagai contoh, aku
sering nongkrong di rektorat demi sebuah wawancara untuk tulisan di Joglo Pos. Aku
juga pernah liputan sampai ke Kendal dan Tegal untuk mendapatkan materi plesir
dan kuliner di Majalah. Selain itu, ada kesempatan berharga ketika aku bisa
bertemu dan ngobrol (wawancara) dengan Peter Carey dan Dahlan Iskan.
Manunggal tidak hanya Redaksi,
karena di keluargaku ini juga ada bidang Perusahaan dan Litbang. Aku pun
berkesempatan belajar di dua bidang itu. Di bidang Perusahaan, aku pernah
membantu pengerjaan acara dari Even Organizer. Hal paling berkesan adalah
ketika aku diberi amanah menjadi liaison officer untuk Yulika Satria Daya dan
Ninok Hariyani, dua orang sekaligus, di seminar nasional.
Di Litbang juga ada
keseruan lho, salahsatunya ketika aku menjadi seorang kambing (kakak
pembimbing) bagi teman-teman magang. Di posisi itu, aku harus bisa menggandeng
teman-teman magang untuk terus berproses menjadi seorang calon pengelola
Manunggal. Keuntungannya, aku jadi berasa nostalgia di tahun sebelumnya ketika
aku berposisi sebagai pemagang.
Sekarang, sudah
memasuki tahun ketiga aku bergabung di Manunggal. Di sebuah villa bernama El
Roi, kami bersiap menjalani hari untuk setahun ke depan. Setiap jengkal langkah
telah kami rencanakan dengan masak. Semoga, ada banyak pencapaian untuk
Manunggal, di tahun terakhirku bersamanya.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)