Ini dia, foto yang aku kumpulkan ke Mas Bayu. |
Hari Kamis, 25 Oktober, atau H-1 Idul Adha, aku masih ada ujian.
Salahsatunya, mata kuliah Jurnalistik Foto dan Gratis, yang ujiannya berjenis take home. Kami diminta Mas
Bayu, dosen pengampu, untuk membuat foto tunggal yang dilengkapi berita. Kami
sih menduga Mas Bayu sudah merencanakan materinya, karena bertepatan dengan
Idul Adha. Jadi, peristiwanya bisa berkisar salat Ied, pemotongan hewan kurban,
atau lokasi hiburan yang ramai.
Oke, makin bulat niatku untuk pulang. Di daerahku, ada upacara
tahunan menyambut Idul Adha yang bernama Grebeg Besar, dan di kelas Jurnalistik
cuma aku yang dari Demak. So, yang liputan Grebeg Besar pasti cuma aku, hehehe.
Sekedar gambaran, Grebeg Besar itu sebuah upacara adat tahunan yang berisi
ritual pencucian pusaka Sunan Kalijaga.
Aku bisa melakukan perjalanan pulang setelah menyelesaikan ujian
Pemograman Penyiaran, dan jam 15.00. Ternyata aku yang belum packing, baru bisa
keluar kos 45 menit kemudian. Ini sudah kesorean, karena sudah diprediksi
jalanan macet karena besok mau Lebaran. Jadilah, sampai rumah menjelang Isya,
hehe.
Keesokan harinya, aku siap liputan! Aku berangkat dari rumah
sekitar pukul 07.00 pagi, setelah masjid dekat rumah selesai salat Ied. Dengan
diantar ayah, aku meluncur ke alun-alun kota, karena berpikir ada upacara dulu
di Masjid Agung. Ternyata di alun-alun masih sepi dan biasa-biasa saja. Hanya
ada beberapa pedagang dan pengguna jalan lainnya.
Kami melanjutkan perjalanan ke pendopo kabupaten. Masih sekitar
100 meter sebelum lokasi, jalanan sudah ramai dengan warga dan petugas
berseragam. Nah, ini dia yang aku cari.
Aku langsung memasuki halaman kabupaten. Di sana sudah semarak
janur, bendera, dan kertas warna-warni. Di sepanjang jalan masuk, ratusan
adek-adek Pramuka yang akan jadi pagar betis masih duduk-duduk. Berarti, aku
belum terlambat. Aseekk..
Ketika sampai di depan pendopo, beberapa mobil berpelat merah
sesekali datang dengan orang berpakaian adat Jawa turun dari mobil. Mereka
adalah pejabat pemerintahan kabupaten, yang ikut dalam acara ini. Sangat khas
suasana Jawa.
Kursi di pendopo masih banyak yang kosong. Aku berpikir acara
masih lama, jadi kuputuskan untuk jalan-jalan berkeliling dulu. Ada deretan kereta
kuda yang sudah dihiasi. Tidak hanya kuda, pengemudinya juga lho, mereka
berakaian daerah. Keren banget, seperti Pak Kusir zaman kerajaan kuno (kayak
pernah lihat aja deh).
Aku mendengar alunan musik gamelan dari kejauhan. Karena
penasaran, aku beralih ke sumber suara dan menemukan segerombol orang memakai
kostum unik. Mereka adalah seniman Jaran Kepang, salah satu tarian tradisional
di Jawa. Mereka didatangkan dari Kecamatan Bonang. Tapi, dari segi baju
menurutku mereka lebih mirip orang suku Indonesia Timur. Ketika mengambil
gambar, aku ditanya apa mau foto bareng. Kesempatan keren, aku akhirnya berfoto.
Setelah berfoto, aku melihat deretan tombak lengkap dengan perisai
dari rotan. Ini milik para Prajurit Tamtama. Nggak seberapa lama, mereka berbaris
mempersiapkan diri untuk pemberangkatan. Kelihatan gagah sekali.
Selesai berbaris dan disiapkan, tidak ada aktivitas berarti.
Mereka hanya berdiri. Aku tinggalkan saja, dan melanjutkan jalan-jalan ke
deretan sepeda tua. Wah, ada yang ramai-ramai ketawa. Mereka adalah anggota
komunitas Oglek, dari kata “Organisasi Genjot Lawas Oke Kalijaga” (maksa banget
nggak sih singakatnnya? :D )Aku beruntung bisa ketemu dan ngobrol dengan Pak
Sumarto, ketua komunitas ini. Dia menjelaskan, anggota Oglek berasal dari
beragam latar belakang, mulai dari dokter, PNS, pengusaha, pelajar-mahasiswa,
sampai tukang becak. Dari ibu-ibu yang menjadi anggota, aku baru tahu, kalau
Pak Sumarto ternyata seorang dokter di Rumah Sakit Sunan Kalijaga. Anggota
Oglek ada ratusan, tapi yang ikut Grebeg besar sekitar 80 orang.
Setelah Oglek, aku berjalan ke barisan delman. Tidak banyak
berbeda dari yang sebelumnya, hanya hiasan yang lebih sederhana saja. Mungkin
delman-delman ini yang berjalan di belakang barisan.
Belum lama aku berdiri di “parkiran” delman, orang-orang berlarian
ke arah pendopo. Waduh, acara sudah mau mulai. Aku masih terjebak di belakang
warga, dan hanya bisa melihat barisan punggung. Aku menerobos paksa, dan
berhasil. Aku bisa mengambil foto bersama para wartawan. Beruntungnya aku,
tanpa kartu pers bisa ikut masuk di tengah acara.
Pasukan Prajurit Tamtama yang tadi berbaris, sekarang sudah ada di
muka pendopo. Mereka disiapkan untuk menghadap Lurah Tamtama (biasanya
diperankan Camat Demak). Sebentar dulu,,,,
Para wartawan tiba-tida masuk ke pendopo, setelah ada musik
gamelan. Ternyata Bupati Demak, HM Dachirin Said, sudah berlajan masuk, dan aku
langsung ikut berlari memasuki pendopo. Bupati memasuki pendopo dengan diiringi
Bedoyo Tunggal Jiwo, sebuah tarian tradisional yang menampilkan sembilan penari
perempuan. Keren sekali. Adegan berebut foto terjadi, sampai aku dapat hadiah
sikut dan injakan kaki.
Setelah Bupati duduk di singgasana, Lurah Tamtama bersama dua
Prawiro Pengapit memasuki pendopo untuk menghadap Bupati. Dengan gagah, mereka
berjalan mendekat. Ketika dua Prawiro Pengapit berhenti, Lurah Tamtama terus
berjalan mendekati Bupati untuk menerima minyak jamas untuk acara puncak. Oh,
iya, ketika Lurah Tamtama menerima bokor berisi minyak, ada iringan lagu
Lir-Ilir dengan gamelan.
Minyak sudah diterima, saatnya dimulainya arak-arakan menuju makam
Sunan Kalijaga. Aku berjalan di dalam pasukan Prajurit Tamtama, jadi bisa ambil
foto dengan leluasa. Di sepanjang jalan, ada ribuan orang memadati trotoar
jalan sepanjang dua kilometer untuk menyaksikan iring-iringan ini. Sepertinya
mereka nggak peduli dengan panasnya matahari Demak. Ada juga sih yang memakai
payung, tapi banyak juga yang nekat berdiri tanpa penutup kepala. Berjalan
sejauh itu, sampai mampu membuat kaos bagian punggungku basah dan air
se-tumbler langsung kosong.
Setibanya di makam, ada barisan orang berpakaian Jawa yang
menyambut iring-iringan. Pak Bupati dan pejabat kabupaten turun dari delman dan
memasuki kawasan makam dengan diiringi musik rebana dan shalawat. Sementara
prajurit, komunitas Oglek, Barongan, dan Jaran Kepang menuju pendopo dekat
makam untuk beristirahat sambil menunggu prosesi berlangsung.
Aku turut masuk di makam. Di sana, semua tamu duduk bersila
mengitari kuncup makam. Nggak berapa lama, ada barisan membawa pusaka yang akan
dicuci, berupa Kutang Ontokusumo dan keris Kyai Crubug. Kemudian, ada sesepuh
ahli waris Sunan Kalijaga yang datang dengan dikawal.
Acara segera dimulai, dan doa-doa dipanjatkan. Setelah pintu
kuncup dibuka, beberapa orang yang namanya dibacakan, memasuki kuncup. Barang
bawaan berupa pusaka dan minyak jamas juga sudah dimasukkan. Pintu kembali
ditutup. Sementara yang berada di luar (termasuk aku) berdoa bersama.
Ketika pencucian pusaka, sang sesepuh dilarang menyentuh dengan
tangan. Jadi, menurut cerita, ada wasiat dari Sunan Kalijaga, yang menyebutkan
keharusan menutup mata ketika mencuci pusaka. Selain itu, hanya sesepuh yang diperbolehkan
melakukan ritual itu, dengan mencelupkan muka ke minyak di bokor dan
mengusapkan ke pusaka. Itu sangat disakralkan.
Sesudah sesepuh keluar kuncup, para tamu langsung berebut
bersalaman. Konon, yang berhasil menyentuh tangan bekas minyak jamas akan
mendapat berkah. Sesepuh segera digotong keluar makam oleh pengawalnya. Setelah
itu, tamu berebut masuk ke kuncup makam.
Pukul 11.00, acara sudah selesai, dan sekarang waktunya keluar
makam. Tapi pintu makam langsung padat oleh warga yang berniat berziarah.
Barisan petugas Kepolisian dan pagar betis Pramuka sepertinya sudah hampir
jebol karena dorongan warga. Aku bersama para wartawan mencoba menerobos
kerumunan. Akhirnya semua berpencar dan aku justru sampai di jalan yang berbeda
dari pemberangkatan. (Jalan ke mana ini?!).
Ternyata aku nggak sendirian nyasar. Ada seorang kawan (anggap
saja kawan, yang sama-sama cari foto) juga kebingungan. Dia juga asli Demak,
tapi kami sama bingungnya tentang rute ini. Kami melewati masjid, dan masih
dengan percaya diri menyusuri jalan. Karena kebingungan, kami bertanya arah
jalan keluar pada Pak Polisi. Oke, ketemu. Kami menyusuri jalanan dan akhirnya
harus mengalah dengan pasukan pagar betis Pramuka yang berbaris pulang. Kami
hanya berdiri di warung dan membeli air untuk mengisi kembali tumbler yang
kosong.
Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan. Matahari semakin di
atas kepala, dan jalanan yang ketika berangkat ditutup dari kendaraan, sekarang
sudah kembali dibuka. Akibatnya, kami kembali berkutat dengan motor dan mobil.
Oh, iya. Kawanku itu harus kembali ke pendopo kabupaten karena motornya
diparkir di sana, sementara aku mampir ke rumah teman SMP. Berarti, kawanku itu
harus menyusuri sekitar 1,5 kilometer perjalanan kembali ke pendopo sendirian
di tengah terik matahari sendirian. Selamat ya, hehehe... #ups #peace.
Perjalanan satu hari itu, menjadi sangat berharga buatku. Aku
tidak akan melupakannya, dan berniat mengulangnya tahun depan. Keren, Seru, dan
Hebat. Sekarang, aku sudah sangat tahu identitas dan tradisi daerahku. Aku
sangat bangga itu. Bagaimana dengan tradisi daerahmu?
Wah, pengen lama2 di Jawa juga nih.....
ReplyDelete--Imam--
Karena gantian, kalian yang harus ke Jawa. Banyak acara semacam ini. Ex: grebeg besar, grebeg Sura, dan grebeg Maulud.
DeleteSaya terus terang jadi pingin balik Jawa lagi setelah baca post ini hhaha, Peninggalan Sunan Kalijaga sampe sekarang emng dijaga terus
ReplyDeleteSini, silakan pulang ke Jawa. Mumpung sebentar lagi Lebaran Haji, yang otomatis akan ada grebeg besar lagi..
ReplyDelete