Friday 2 November 2012

Sehari Belajar Budaya dengan Grebeg Besar

Hari raya Idul Adha tahun ini bertepatan dengan ujian tengah semester. Pertepatan tanggal itu, sama sekali nggak asik. Aku dan teman-teman di kampus dibuat kebingungan menentukan jadwal pulang kampung, karena masih harus memikirkan ujian. Pokoknya, aku sudah tentukan, tahun ini harus Lebaran Haji di rumah, setelah dua tahun sebelumnya cuma bisa di kos.
Ini dia, foto yang aku kumpulkan ke Mas Bayu.

Hari Kamis, 25 Oktober, atau H-1 Idul Adha, aku masih ada ujian. Salahsatunya, mata kuliah Jurnalistik Foto dan Gratis, yang ujiannya berjenis take home. Kami diminta Mas Bayu, dosen pengampu, untuk membuat foto tunggal yang dilengkapi berita. Kami sih menduga Mas Bayu sudah merencanakan materinya, karena bertepatan dengan Idul Adha. Jadi, peristiwanya bisa berkisar salat Ied, pemotongan hewan kurban, atau lokasi hiburan yang ramai.

Oke, makin bulat niatku untuk pulang. Di daerahku, ada upacara tahunan menyambut Idul Adha yang bernama Grebeg Besar, dan di kelas Jurnalistik cuma aku yang dari Demak. So, yang liputan Grebeg Besar pasti cuma aku, hehehe. Sekedar gambaran, Grebeg Besar itu sebuah upacara adat tahunan yang berisi ritual pencucian pusaka Sunan Kalijaga.

Aku bisa melakukan perjalanan pulang setelah menyelesaikan ujian Pemograman Penyiaran, dan jam 15.00. Ternyata aku yang belum packing, baru bisa keluar kos 45 menit kemudian. Ini sudah kesorean, karena sudah diprediksi jalanan macet karena besok mau Lebaran. Jadilah, sampai rumah menjelang Isya, hehe.

Keesokan harinya, aku siap liputan! Aku berangkat dari rumah sekitar pukul 07.00 pagi, setelah masjid dekat rumah selesai salat Ied. Dengan diantar ayah, aku meluncur ke alun-alun kota, karena berpikir ada upacara dulu di Masjid Agung. Ternyata di alun-alun masih sepi dan biasa-biasa saja. Hanya ada beberapa pedagang dan pengguna jalan lainnya.

Kami melanjutkan perjalanan ke pendopo kabupaten. Masih sekitar 100 meter sebelum lokasi, jalanan sudah ramai dengan warga dan petugas berseragam. Nah, ini dia yang aku cari.

Aku langsung memasuki halaman kabupaten. Di sana sudah semarak janur, bendera, dan kertas warna-warni. Di sepanjang jalan masuk, ratusan adek-adek Pramuka yang akan jadi pagar betis masih duduk-duduk. Berarti, aku belum terlambat. Aseekk..

Ketika sampai di depan pendopo, beberapa mobil berpelat merah sesekali datang dengan orang berpakaian adat Jawa turun dari mobil. Mereka adalah pejabat pemerintahan kabupaten, yang ikut dalam acara ini. Sangat khas suasana Jawa.

Kursi di pendopo masih banyak yang kosong. Aku berpikir acara masih lama, jadi kuputuskan untuk jalan-jalan berkeliling dulu. Ada deretan kereta kuda yang sudah dihiasi. Tidak hanya kuda, pengemudinya juga lho, mereka berakaian daerah. Keren banget, seperti Pak Kusir zaman kerajaan kuno (kayak pernah lihat aja deh).

Aku mendengar alunan musik gamelan dari kejauhan. Karena penasaran, aku beralih ke sumber suara dan menemukan segerombol orang memakai kostum unik. Mereka adalah seniman Jaran Kepang, salah satu tarian tradisional di Jawa. Mereka didatangkan dari Kecamatan Bonang. Tapi, dari segi baju menurutku mereka lebih mirip orang suku Indonesia Timur. Ketika mengambil gambar, aku ditanya apa mau foto bareng. Kesempatan keren, aku akhirnya berfoto.

Setelah berfoto, aku melihat deretan tombak lengkap dengan perisai dari rotan. Ini milik para Prajurit Tamtama. Nggak seberapa lama, mereka berbaris mempersiapkan diri untuk pemberangkatan. Kelihatan gagah sekali.

Selesai berbaris dan disiapkan, tidak ada aktivitas berarti. Mereka hanya berdiri. Aku tinggalkan saja, dan melanjutkan jalan-jalan ke deretan sepeda tua. Wah, ada yang ramai-ramai ketawa. Mereka adalah anggota komunitas Oglek, dari kata “Organisasi Genjot Lawas Oke Kalijaga” (maksa banget nggak sih singakatnnya? :D )Aku beruntung bisa ketemu dan ngobrol dengan Pak Sumarto, ketua komunitas ini. Dia menjelaskan, anggota Oglek berasal dari beragam latar belakang, mulai dari dokter, PNS, pengusaha, pelajar-mahasiswa, sampai tukang becak. Dari ibu-ibu yang menjadi anggota, aku baru tahu, kalau Pak Sumarto ternyata seorang dokter di Rumah Sakit Sunan Kalijaga. Anggota Oglek ada ratusan, tapi yang ikut Grebeg besar sekitar 80 orang.

Setelah Oglek, aku berjalan ke barisan delman. Tidak banyak berbeda dari yang sebelumnya, hanya hiasan yang lebih sederhana saja. Mungkin delman-delman ini yang berjalan di belakang barisan.

Belum lama aku berdiri di “parkiran” delman, orang-orang berlarian ke arah pendopo. Waduh, acara sudah mau mulai. Aku masih terjebak di belakang warga, dan hanya bisa melihat barisan punggung. Aku menerobos paksa, dan berhasil. Aku bisa mengambil foto bersama para wartawan. Beruntungnya aku, tanpa kartu pers bisa ikut masuk di tengah acara.

Pasukan Prajurit Tamtama yang tadi berbaris, sekarang sudah ada di muka pendopo. Mereka disiapkan untuk menghadap Lurah Tamtama (biasanya diperankan Camat Demak). Sebentar dulu,,,,

Para wartawan tiba-tida masuk ke pendopo, setelah ada musik gamelan. Ternyata Bupati Demak, HM Dachirin Said, sudah berlajan masuk, dan aku langsung ikut berlari memasuki pendopo. Bupati memasuki pendopo dengan diiringi Bedoyo Tunggal Jiwo, sebuah tarian tradisional yang menampilkan sembilan penari perempuan. Keren sekali. Adegan berebut foto terjadi, sampai aku dapat hadiah sikut dan injakan kaki.

Setelah Bupati duduk di singgasana, Lurah Tamtama bersama dua Prawiro Pengapit memasuki pendopo untuk menghadap Bupati. Dengan gagah, mereka berjalan mendekat. Ketika dua Prawiro Pengapit berhenti, Lurah Tamtama terus berjalan mendekati Bupati untuk menerima minyak jamas untuk acara puncak. Oh, iya, ketika Lurah Tamtama menerima bokor berisi minyak, ada iringan lagu Lir-Ilir dengan gamelan.

Minyak sudah diterima, saatnya dimulainya arak-arakan menuju makam Sunan Kalijaga. Aku berjalan di dalam pasukan Prajurit Tamtama, jadi bisa ambil foto dengan leluasa. Di sepanjang jalan, ada ribuan orang memadati trotoar jalan sepanjang dua kilometer untuk menyaksikan iring-iringan ini. Sepertinya mereka nggak peduli dengan panasnya matahari Demak. Ada juga sih yang memakai payung, tapi banyak juga yang nekat berdiri tanpa penutup kepala. Berjalan sejauh itu, sampai mampu membuat kaos bagian punggungku basah dan air se-tumbler langsung kosong.

Setibanya di makam, ada barisan orang berpakaian Jawa yang menyambut iring-iringan. Pak Bupati dan pejabat kabupaten turun dari delman dan memasuki kawasan makam dengan diiringi musik rebana dan shalawat. Sementara prajurit, komunitas Oglek, Barongan, dan Jaran Kepang menuju pendopo dekat makam untuk beristirahat sambil menunggu prosesi berlangsung.

Aku turut masuk di makam. Di sana, semua tamu duduk bersila mengitari kuncup makam. Nggak berapa lama, ada barisan membawa pusaka yang akan dicuci, berupa Kutang Ontokusumo dan keris Kyai Crubug. Kemudian, ada sesepuh ahli waris Sunan Kalijaga yang datang dengan dikawal.

Acara segera dimulai, dan doa-doa dipanjatkan. Setelah pintu kuncup dibuka, beberapa orang yang namanya dibacakan, memasuki kuncup. Barang bawaan berupa pusaka dan minyak jamas juga sudah dimasukkan. Pintu kembali ditutup. Sementara yang berada di luar (termasuk aku) berdoa bersama.

Ketika pencucian pusaka, sang sesepuh dilarang menyentuh dengan tangan. Jadi, menurut cerita, ada wasiat dari Sunan Kalijaga, yang menyebutkan keharusan menutup mata ketika mencuci pusaka. Selain itu, hanya sesepuh yang diperbolehkan melakukan ritual itu, dengan mencelupkan muka ke minyak di bokor dan mengusapkan ke pusaka. Itu sangat disakralkan.

Sesudah sesepuh keluar kuncup, para tamu langsung berebut bersalaman. Konon, yang berhasil menyentuh tangan bekas minyak jamas akan mendapat berkah. Sesepuh segera digotong keluar makam oleh pengawalnya. Setelah itu, tamu berebut masuk ke kuncup makam.

Pukul 11.00, acara sudah selesai, dan sekarang waktunya keluar makam. Tapi pintu makam langsung padat oleh warga yang berniat berziarah. Barisan petugas Kepolisian dan pagar betis Pramuka sepertinya sudah hampir jebol karena dorongan warga. Aku bersama para wartawan mencoba menerobos kerumunan. Akhirnya semua berpencar dan aku justru sampai di jalan yang berbeda dari pemberangkatan. (Jalan ke mana ini?!).

Ternyata aku nggak sendirian nyasar. Ada seorang kawan (anggap saja kawan, yang sama-sama cari foto) juga kebingungan. Dia juga asli Demak, tapi kami sama bingungnya tentang rute ini. Kami melewati masjid, dan masih dengan percaya diri menyusuri jalan. Karena kebingungan, kami bertanya arah jalan keluar pada Pak Polisi. Oke, ketemu. Kami menyusuri jalanan dan akhirnya harus mengalah dengan pasukan pagar betis Pramuka yang berbaris pulang. Kami hanya berdiri di warung dan membeli air untuk mengisi kembali tumbler yang kosong.

Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan. Matahari semakin di atas kepala, dan jalanan yang ketika berangkat ditutup dari kendaraan, sekarang sudah kembali dibuka. Akibatnya, kami kembali berkutat dengan motor dan mobil. Oh, iya. Kawanku itu harus kembali ke pendopo kabupaten karena motornya diparkir di sana, sementara aku mampir ke rumah teman SMP. Berarti, kawanku itu harus menyusuri sekitar 1,5 kilometer perjalanan kembali ke pendopo sendirian di tengah terik matahari sendirian. Selamat ya, hehehe... #ups #peace.

Perjalanan satu hari itu, menjadi sangat berharga buatku. Aku tidak akan melupakannya, dan berniat mengulangnya tahun depan. Keren, Seru, dan Hebat. Sekarang, aku sudah sangat tahu identitas dan tradisi daerahku. Aku sangat bangga itu. Bagaimana dengan tradisi daerahmu?

4 comments:

  1. Wah, pengen lama2 di Jawa juga nih.....

    --Imam--

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena gantian, kalian yang harus ke Jawa. Banyak acara semacam ini. Ex: grebeg besar, grebeg Sura, dan grebeg Maulud.

      Delete
  2. Saya terus terang jadi pingin balik Jawa lagi setelah baca post ini hhaha, Peninggalan Sunan Kalijaga sampe sekarang emng dijaga terus

    ReplyDelete
  3. Sini, silakan pulang ke Jawa. Mumpung sebentar lagi Lebaran Haji, yang otomatis akan ada grebeg besar lagi..

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)