Saturday 12 October 2013

Cerita Tangguh Kereta Angin

“Pada tahun 1800-an, orang-orang Indonesia hanya bisa gigit jari, saat melihat orang Belanda naik sepeda.”
Kalimat itu mengawali dongeng berjudul Samurai Bersepeda pada Minggu, 15 September 2013. Dongeng tentang sepeda itu, disampaikan seorang pemuda Indonesia penggemar sepeda. Pemuda itu diperankan Rangga Riantiarno. Selain pemuda Indonesia penggemar sepeda, dalam dongeng juga ada serdadu sepeda Jepang, yang diperankan Yoga. Keduanya berasal dari Teater Koma.
Pemuda Indonesia penggemar Sepeda
Pemuda itu bercerita, sepeda memang hanya bisa dimiliki kaum bangsawan. Maklum saja, saat itu harga sepeda sangat mahal. Konon, harga sebuah sepeda setara dengan gaji pegawai tiga bulan. Pada masa itu, sepeda dikenal dengan berbagai nama, misalnya gazel, batafus, dan simplek. Di antara masyarakat Indonesia, sepeda juga dikenal dengan nama kereta angin. Kalau kata pendongengnya, penamaan itu mungkin karena saat bersepeda, kita jadi banyak makan angin, hehehe.
Pada masa 1942, sepeda-sepeda itu, digunakan oleh 50 ribu serdadu Nippon melewati jalan perkampungan yang kecil dan sulit dilalui kendaraan tempur biasa. Inggris dan sekutunya yang menunggu mereka di medan pertempuran terkecoh. “Lihat ke depan, eh, malah pantatnya dicaplok Jepang...," begitulah kalimat saat pemuda itu mendongeng. Dia menggunakan bahasa yang ringan dan kocak. Bahkan, saat mendongeng, pemuda itu seolah-olah diawasi oleh serdadu Jepang. Jadi, saat suara sang pemuda keras dan berisik, maka dia akan dibentak serdadu Jepang. Lucunya, setiap dibentak, justru ditertawakan semua peserta.
Pemuda Indonesia penggemar sepeda dibentak serdadu Jepang
Mengenang masa sepeda dianggap barang mewah, pemuda itu berkeinginan membuat harga sepeda terjangkau oleh masyarakat. Sehingga, setiap orang bisa memiliki sepeda dan di jalanan akan mudah ditemui masyarakat Indonesia menaiki sepeda dengan bangga.
Meski dongeng itu diawali dengan kejayaan, tetap ada pilu seputar sepeda. Saat ini, sepeda kian ditinggalkan sebagai alat transportasi masyarakat. Bahkan, di pedesaan, sepeda mulai bergeser karena kehadiran sepeda motor. Anak-anak, yang beberapa tahun lalu masih sangat akrab dengan sepeda, kini juga telah memilih sepeda motor atau angkot sebagai alat transportasinya.
Beruntung, masyarakat perkotaan mulai sadar tentang manfaat sepeda, sehingga mereka ingin membangkitkan lagi alat transportasi ramah lingkungan itu. Kehadiran komunitas sepeda menjadi bukti kesungguhan mereka membangkitkan sepeda.
***
Dongeng Samurai Sepeda itu dihadirkan Museum Nasional dalam rangkaian kegiatan berjudul Akhir Pekan di Museum atau @museum_weekend. Tujuannya, untuk mengakrabkan sekaligus mengajak masyarakat mengunjungi museum. Dongeng itu hadir setiap hari Minggu selama bulan September, dengan tema berbeda setiap pekan. Kata panitia, tema itu disesuaikan dengan koleksi museum. Nah, Samurai Bersepeda itu hadir di pekan kedua, setelah pekan lalu digelar dongeng berjudul Puputan Klungkung.
Museum Nasional atau Museum Gajah
Kita pasti ingat, pada Kamis, 12 September 2013, ada koleksi Museum Nasional yang dicuri. Beruntung, agenda berdongeng yang telah direncanakan dengan masak ini tetap terselenggara, karena lokasi acara berada di gedung yang berbeda dengan lokasi pencurian. Melalui dongeng ini pula, Museum Nasional ingin menyampaikan, “Di sini kita ingin menunjukkan, bahwa ada banyak orang yang menyukai museum, ketimbang yang mau nyolong.”
Suasana yang dibangun memang sangat meriah. Berlokasi di lantai dua Gedung Baru Museum Nasional, anak-anak, remaja, serta orang dewasa, berkumpul dan duduk lesehan. Bila ada aba-aba “Museum Nasional”, secara serentak, semua peserta akan berteriak, “Hebaaattt!!!!” Asik kan?!
Dalam sehari, dongeng itu diputar tiga kali, pada pukul 08.30, 09.30, dan 10.30, selama sekitar 30 menit. Pengunjung yang ingin menyaksikan dongeng itu, tidak dikenakan biaya alias GRATIS! Namun, pengunjung akan tetap dikenakan biaya masuk museum seharga Rp 5 ribu. Ah, tetap murah lah, dibanding pengalaman dan ilmu yang bakal diperoleh saat masuk museum. Pasalnya, usai mengikuti dongeng, pengunjung tetap bisa menjelajahi museum dan melihat semua koleksi tanpa dikenakan biaya lagi.
Berkeliling museum, dipandu Pak Zainudin
Nah, ini dia, setelah mengikuti dongeng, ada pemandu museum yang menjelaskan semua koleksi kepada pengunjung. Sayangnya, karena dongeng digelar di lantai dua, pemandu museum itu hanya menjelaskan koleksi di lantai dua. Sementara koleksi di lantai lainnya, pengunjung akan berjelajah sendiri.
***
Saya menjadi peserta dongeng itu dengan memuat unsur keberuntungan. Jadi, ceritanya saya telat mendaftarkan diri sebagai peserta. Iya, karena setiap sesi, peserta hanya dibatasi 20 orang. Nah, oleh sang admin, saya disarankan mengikuti dongeng pekan depan. Padahal, Selasa, 17 September 2013, saya harus kembali ke kampus di Semarang. He eh, magangnya sudah selesai.
Mungkin iba atau bagaimana, sang admin justru menyarankan saya untuk langsung hadir. Siapa tahu, bisa nyempil-nyempil peserta yang lain, begitu katanya. Jadilah, saya langsung jejingkrakkan karena bisa ikut mendengarkan dongeng.
Oh iya, oleh sang admin, saya juga disarankan mengikuti sesi yang paling pagi, pukul 08.30. Jadilah, esok harinya saya berangkat dari Kebayoran pukul 07.00 teng, langsung menuju terminal Blok M, dan menaiki transJakarta, demi tidak ketinggalan cerita. Tidak tahu karena terlalu semangat atau memang kurang perhitungan, saya lupa itu hari Minggu nan sepi dan antimacet.
Saya sampai di lokasi hanya perlu 35 menit perjalanan. Iya, 07.35 saya sudah di lokasi, dan berarti harus menunggu hampir satu jam untuk mengikuti dongeng. Yasudah, saya nongkrong dulu di shelter busway Monas dan sengaja tidak langsung menuju Museum Nasional. Itu jadi tempat strategis, karena menghadap langsung ke museum. Jadi, saat museum mulai rame, saya baru menyebrang ke lokasi, hahaha.
***
Saya ingin berterima kasih kepada Museum Nasional, karena diberi kesempatan menyaksikan sebuah tontonan yang benar-benar menarik dan sarat edukasi. (Selain itu, karena mengikuti dongeng ini, saya jadi punya cerita menarik untuk teman-teman di kantor dan di Semarang, plus bikin mereka iri. *tampar Dian* *abaikan* #plak). Semoga acara ini bisa terselenggara lagi, atau bahkan bisa sepanjang tahun. Semoga lagi, acara keren itu bisa diikuti oleh semua museum di Indonesia, agar secara bersama bisa menebarkan semangat cinta museum di tengah masyarakat.
Tentunya, langkah “agresif” para pegiat museum untuk menarik pengunjung, harus kita dukung ya. Semangat teman-teman...

****

2 comments:

  1. sampai sekarang gazel juga masih mahaaaaaal ada yang setara motor pa mobil, suka banget sama cerita dongeng nya

    kenalkan saya ananda ranz, ingin membawa kejayaan Sepeda kembali dengan cara yang berbeda :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mahal. Dian pernah shock waktu nanya harga sepeda yang nyampe Rp 20 juta! Ckckck.
      Sip, semoga sepeda kembali berjaya! Aamiin. :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)