Friday 7 September 2012

Perempuan, Kita Punya Pilihan...

Kami mengawali Kamis, 6 September 2012, dengan kuliah Komunikasi Gender. Pukul 06.30, sudah banyak mahasiswa yang memadati kelas B104. Pada jam yang menurut saya sangat pagi itu, kami menanti kedatangan Mas Narto. Dia dosen yang di mata kami, seorang yang rajin meneriakkan hak-hak perempuan.

Kuliah masih berjalan biasa saja, berkisar kilas materi dan kontrak kuliah. Di awal pertemuan ini, Mas Narto mulai memperkenalkan mata kuliah yang akan kami jalani satu semester ke depan. Kepada kami, dia telah menularkan virus semangat perjuangan perempuan.

Foto: google.com
Dia mulai menunjukkan kepada kami, fakta yang dialami kaum perempuan. Hingga sekarang, belum terjadi kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di Indonesia, termasuk Jawa. Kondisi semakin diperburuk dengan belum banyaknya perempuan yang menyadari bahwa sebenarnya memiliki pilihan.

Selama ini, perempuan seperti menempati posisi yang sangat tidak nyaman di masyarakat. Saya yakin, di antara kalian pasti pernah mendengar, atau bahkan mengalami pertanyaan seperti ini; “Kapan menikah?” Dan ketika sudah menikah, maka pertanyaan akan berubah menjadi; “Kapan punya anak?”

Dalam kasus itu, perempuan seperti tidak memiliki pilihan, selain menuruti pertanyaan lingkungannya. Saya sangat terbiasa mendengar pertanyaan itu. Biasanya, pertanyaan itu ditujukan kepada perempuan (yang bagi sang penanya) telah layak untuk menikah atau memiliki anak. Saya yakin, pertanyaan itu, secara alamiah akan menciptakan target tersendiri bagi perempuan yang ditanya. Kapan waktunya menikah dan memiliki anak.

Kondisi itu seharusnya bisa dihindari dengan pilihan yang dimiliki perempuan. Ketegasan dalam mengungkapkan pilihan yang tidak merugikan diri sendiri. Perempuan, ayo gunakan pilihan yang kalian miliki. Kita memiliki pilihan, tapi kenapa seperti tidak ada?

Mas Narto juga bercerita mengenai sahabatnya, seorang perempuan, yang memiliki permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan itu menanyakan solusi kepada Mas Narto. Diskusi panjang terjadi, dan berakhir dengan putusan, perempuan itu membicarakan secara baik-baik kepada suaminya. Jelaskan kalau merasa keberatan dengan perlakuan kasar dari suami, dan jika tetap tidak ada perubahan, cerai dapat menjadi pilihan.

Setelah pembicaraan suami-istri itu terjadi, tidak ada yang berubah. Suami tetap berlaku kasar terhadap istrinya. Perempuan itu kembali datang kepada Mas Narto. Dia datang dengan membawa pilihan; tetap seperti itu atau cerai dan mendapat kebebasan. Ternyata, perempuan yang secara finansial bisa mandiri itu tidak mau menggugat cerai suaminya, karena takut menjadi seorang janda.

Di negeri ini, sudah terbentuk stigma bahwa janda merupakan status yang tidak bagus. Sementara duda, menjadi status yang justru seperti kebanggaan. Terlebih ada sebutan “duren” atau duda keren. Kenapa perempuan tidak? Mas Narto berpendapat jika itu sangat menguntungkan laki-laki. Sementara perempuan yang menyandang status janda, dalam masyarakat seperti tidak memiliki pilihan untuk bahagia di atas kakinya sendiri. Pikiran Mas Narto itu, akhirnya tertular kepada kami.

Selain alasan takut berstatus janda, perempuan tidak menggunakan pilihannya karena merasa tergantung kepada suaminya. Ini biasa terjadi pada perempuan yang tidak bekerja. Ketika menghadapi permasalahan dengan suaminya, perempuan ini akan pasrah dan tidak berani menggugat cerai. Dia perpikir, ketika suaminya diadili dan dipenjara, tidak ada lagi yang memebrikan topangan finansial untuk anak dan dirinya. Tidak tahu mau makan apa.

Permasalahan perempuan yang tidak bekerja dan ketakutannya kehilangan pegangan hidup ini sering menyulitkan lembaga swadaya masyarakat yang hendak membantu. Ketika LSM menawarkan pilihan, banyak perempuan yang tidak memanfaatkan kesempatannya karena takut kehilangan penopang hidupnya.

Banyak kejadian, laki-laki merendahkan perempuan dengan mengatasnamakan agama. Ini pikiran yang salah. Agama bukan inspirasi untuk merendahkan perempuan. Ketika ada yang mengatakan; istri harus menghargai dan menghormati suami, pengertian tidak berhenti sebatas itu. Harus ditumbuhkan relasi yang sama; suami juga harus menghargai dan menghormasi istri.

Dari perkuliahan pertama itu, kami sudah memiliki gambaran tentang semangat feminisme. Lebih dari itu, kami juga memiliki semangat meluruskan tradisi yang memberatkan perempuan. Pendapat perempuan harus kalah dari laki-laki memang didukung tradisi dan kepercayaan mayoritas orang. Namun, bukan berarti tidak bisa diluruskan. Teman-teman sesama perempuan, kita memiliki pilihan. Jangan bersikap seolah-olah tidak memilikinya. Agama dan hukum ada di pihak kita.

Dari perkuliahan pertama itu pula, kami memiliki semangat untuk terus belajar tentang semangat feminisme. Kami memiliki kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Kami juga semangat ketika Mas Narto memberikan buku berjudul “Feminist Thought” karya Rosemarie Putnam Tong dengan tebal 499 halaman, untuk dipelajari. Kami siap belajar dan memperjuangkan apa yang seharusnya kami miliki. Kebebasan memilih.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)