Tanggal 27 Juli, aku diminta
melihat kondisi korban kebakaran di Jembatan Besi, Tambora. Menuju lokasi itu,
ternyata lumayan sulit. Berangkat dari Kebayoran, aku memilih busway karena
alasan kepraktisan. Namun, rute jalan yang membingungkan, akhirnya membuatku
melanjutkan perjalanan menggunakan angkot dua kali.
Foto: Antara |
Setelah turun dari angkot, aku
harus rajin bertanya dan berjalan sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi bekas
kebakaran. Memasuki perkampungan itu, banyak gerobak bertenaga manusia
mengangkut batako dan pasir. Ketika ada gerobak lewat, pejalan kaki atau motor
harus rela merapat ke pinggir, karena sempitnya jalan.
Ternyata, korban kebakaran
Tambora sudah mulai berbenah. Rumah yang kebanyakan rata dengan tanah, kini
sudah mulai dibangun. Medianya bisa bermacam, dan yang paling sederhana adalah
tiplek dan terpal. Bagi warga yang masih memiliki tabungan, akan kembali
membangun rumahnya dengan pasir dan semen. Bata bekas rumah yang terbakar,
dipungut kembali untuk membangun rumah.
Di perkampungan itu, aku bertemu
dengan Bu Marsiti, wanita berusia 65 tahun yang turut menjadi korban kebakaran.
Dia kehilangan rumah 5x4 meter beserta isinya. Bu Marsiti mulai bercerita, waktu
kebakaran terjadi, dia selesai salat tarawih di masjid dan tengah beristirahat.
Rumah yang menjadi sumber
kebakaran hanya berjarak sekitar 10 meter dari rumah Bu Marsiti. Ketika banyak
orang berteriak dan berlarian, dia turut keluar rumah tanpa sempat
menyelamatkan barang berharganya. “Saya berpikir, yang penting nyawa selamat,”
katanya.
Ketika api berhasil dijinakkan,
Bu Marsiti seperti kehilangan semuanya. Nggak ada yang berhasil diselamatkan
dari rumah mungilnya. Yang tersisa hanya pakaian yang dia, putri, dan cucunya
kenakan. Akhirnya, keluarga Bu Marsiti dan 295 keluarga lainnya, mengungsi di
SD Jembatan Besi, tak jauh dari rumahnya.
Mendengar cerita itu, aku sempat
kehilangan konsentrasi mencatat apa yang dikatakan Bu Marsiti. Pikiran kacau,
membayangkan warga yang kehilangan rumah dan harus mengungsi berdesak-desakan.
Ketika kembali tersadar, Bu Marsiti sudah menitikkan air mata.
Aku nggak bisa berbuat banyak
untuk menghibur Bu Marsiti. Aku hanya bisa mengelus dan merangkul bahu berlapis
daster tipis yang dikenakan Bu Marsiti, dari hasil sumbangan. Aku tidak
menyangka, Bu Marsiti justru merangkul balik dan mencium pipiku. Aku semakin
tidak berkonsentrasi. Aku tahu, kegetiran yang dialami Bu Marsiti, juga dialami
oleh ratusan warga lainnya.
Aku salut, ketika Bu Marsiti bercerita
tentang tetangganya, pemilik rumah sumber kebakaran. Dia tahu, keluarga itu
kabur setelah rumahnya terbakar menggunakan sepeda motor. Dia juga tahu,
keluarga itu tidak meneriakkan peringatan kebakaran kepada warga, sehingga
banyak rumah yang menjadi korban. Tapi, dia sama sekali nggak menyalahkan
keluarga itu. Dia justru berpikir, ini adalah cobaan dalam menjalani Ramadan.
Cerita yang sama kembali terulang
ketika aku meliput korban kebakaran Karet Tengsin di Taman Pemakaman Umum Karet
Bivak, pada 6 Agustus. Para korban di sini tidak lebih beruntung dibanding korban
di Jembatan Besi, bahkan lebih buruk. Ketika pengungsi Jembatan Besi mendatangi
sekolah, warga di sini hanya bisa mengistirahatkan badannya di kuburan.
Ketika sampai di lokasi, ternyata
sedang ada kerumunan pengungsi dan tengah memilah pakaian sumbangan. Mereka terlihat
sangat menikmatinya, bahkan sesekali ada teriakan girang ketika mendapat
potongan pakaian yang menurut mereka “layak”. Ada pula seorang bocah yang
tengah dimandikan ibunya di pompa air manual di tepi jalan pemakaman.
Aku tidak bisa berpikir jauh, dan memutuskan segera mencari
narasumber untuk beritaku. Akhirnya, aku bertemu dengan Pak Ayat, sesepuh di
perkampungan itu. Dia bercerita banyak tentang kondisi pengungsian, yang
ternyata masih sangat kekurangan tenda. Jika malam tiba, para bapak harus
mengalah tidur di luar tenda, dan kebanyakan tanpa selimut, meski hanya
selembar sarung.
Pak Ayat menceritakan kondisi
pengungsian yang jauh dari pikiranku sebelum datang ke sini. Setelah obrolan itu,
aku berjalan melihat kondisi pengungsian secara langsung. Aku bertemu Bu
Rohayati, ibu dari seorang bocah bernama Zain, yang masih berusia 18 bulan.
Bu Rohayati menceritakan
kesulitannya tinggal di pengungsian itu. Dia harus mengurusi dua anak dan
salahsatunya masih bayi dengan kondisi keterbatasan. Dia mengungkapkan
kesedihannya ketika melihat sang bayi tidur dengan dikerubuti nyamuk di dalam
tenda.
Meliput dua lokasi itu, memberikan
banyak pelajaran buatku. Sebagai orang yang masih belajar sebagai wartawan, dalam
kondisi itu, aku lebih banyak menunggu momen. Ketika terlibat dalam sebuah
obrolan atau wawancara, kerap aku biarkan mereka diam. Biasanya narasumber akan
mengatur sendiri emosinya, dan membuka diri dengan cerita lainnya.
Aku jadi berpikir, wartawan yang
tengah bekerja dalam situasi ini, tidak seharusnya terlalu “kasar” dalam
mengorek informasi dari narasumbernya. Mereka bukan obyek yang tidak memiliki rasa.
Jangan terkesan mengeksploitasi penderitaan mereka demi tulisan atau berita
yang bagus, yang konon jika sarat human
interest.
Empati bisa memiliki arti
merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sebagai orang yang memiliki perasaan,
coba kita bayangkan berada dalam kondisi mereka. Kita bisa mengembalikan semangat dan
senyum mereka kok.
Aku juga teringat, ketika selesai
liputan dan berniat pulang ke redaksi, ada ibu tua di jalan yang menyapa.
“Mbak, bawa makanan buat kita?,”
tanya ibu itu.
Aku hanya mampu tersenyum kecil
dan menggeleng. “Maaf Bu, enggak.”
Dalam kondisi pikiran yang masih
kacau, aku kembali ke kantor dengan tetap diam. Aku bersyukur, memiliki kesempatan
mendatangi dan merasakan apa yang dialami para korban. Aku telah mendapat
gambaran, bagaimana wartawan harus bersikap ketika terlibat dalam peliputan
seperti ini.
Aku juga pernah lupitan empati tiga kali, dan mereka seneng kita datang kesana, dan pastu ungun menitikan air mata Semangat Dian.
ReplyDeleteIya, setuju Ai... Ada banyak pelajaran yang bisa digali di sana, terlebih tentang kekuatan menghadapi cobaan :)
Deletehaha kalo soal nurani sih yaa tiap orang mah beda-beda.. ada juga yg emang kurang peka dan meliput sekedar meliput lalu hanya melihat dari sudut pandang profesi, bersyukur aja kalo bisa menikmati sesuatu yg lebih dian.. keep fight ^^
ReplyDeleteIya, aku cuma berusaha "membaca" kok Cut.. Makasih yak, Three Journ harus tetep semangat :)
Delete