Saturday 2 March 2013

Melawan Abrasi Demi Tanah Leluhur

Papan yang menandakan pelestarian lingkungan Tambaksari. 
Papan ini berada di pintu masuk perkampungan.
“Indonesia memang memiliki 70 persen lautan. Tapi kalau air laut terus naik, angka itu pasti juga akan ikut naik,” kata seorang kawan yang tinggal di pesisir Pantai Morosari, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah.

Mendengar pernyataan itu, saya kembali tersadar, bahwa kondisi laut memang kian memprihatinkan. Kalimat itu meluncur bukan tanpa alasan. Kawan saya itu telah dua puluh tahun tinggal di pesisir pantai, dengan kondisi yang sering dilanda rob atau naiknya air laut ke permukaan tanah. Selain itu, ia juga mendengar dan menyaksikan sebuah perkampungan harus lenyap tergerus air.

Sore itu, saya menapaki jalan setapak menuju sebuah gosong di tengah lautan Morosari. Saya menyusuri jalanan becek bersama dua orang kawan, yang satu di antaranya asli Morosari. Dialah yang menjadi penunjuk jalan bagi saya menyaksikan sendiri dampak besar dari perubahan iklim di bumi. Tak perlu jauh sampai ke Greenland, karena di kota kelahiran saya sendiri pun terjadi hal menakjubkan, sekaligus memprihatinkan itu.

Sepanjang jalan, pikiran saya masih menebak kondisi perkampungan bernama Tambaksari itu. Jika bernama perkampungan, berarti ada warga yang tinggal dan menetap di sana. Itu berarti pula, ada sekumpulan orang yang hidup pada gosong labil di dalam rimbunnya pohon mangrove. Pandangan pun kian jauh memikirkan bagaimana akses memenuhi kebutuhan harian, pendidikan, dan kesehatan warga di perkampungan itu. Ah, sudahlah, kita lihat saja nanti.
Jalan penghubung antara Morosari dengan Tambaksari. Perkampungan itu
ada di ujung jalan ini.
Menuju Tambaksari, diperlukan waktu satu jam berjalan kaki dari jembatan Morosari. Sebenarnya, ada alternatif menggunakan sepeda motor. Namun, bisa sangat berbahaya karena jalanan becek dan risiko air laut pasang. Tenang saja, jauhnya perjalanan tidak akan menjemukan, karena pemandangan bangau yang beterbangan, dapat menjadi hiburan tersendiri. Ya, di daerah itu, ada ribuan bangau yang tinggal di atas mangrove atau pohon api-api.
Jalanan berlumpur dan becek.
Di sepanjang jalan itulah, saya menyaksikan banyak rumah terendam air laut. Kondisi terkesan kumuh, karena rumah-rumah itu memiliki halaman serupa kolam dangkal dan berlumut. Ini masih di awal, karena semakin jauh melangkah mendekati Tambaksari, saya pun melihat rumah atau bekas bangunan, yang mangkrak ditinggal penghuninya. Rumah yang demikian, biasanya telah terisi lumpur dan air hingga bagian dalam. Rumah yang masih ditinggali, juga harus ditinggikan untuk menghindari masuknya air laut.


Jalanan tanah nan becek itu, ternyata baru awal perjalanan. Di menit ke-30 berjalan kaki, saya menyaksikan jembatan bambu sederhana yang menghubungkan jalanan tanah khas perkampungan dengan jalananan berbatu yang membelah lautan. Ada rasa ngeri yang menjalar, karena jalanan itu hanya berjarak 10 centimeter dari ketinggian air laut. Bahkan, menurut warga, jalanan itu bisa terendam kala laut tengah pasang.

Satu jam perjalanan, mengantarkan kami di depan sebuah papan penanda kawasan konservasi. Itulah yang menjadi penanda kami telah memasuki Tambaksari. Di perkampungan rimbun pohon mangrove itulah, terdapat tujuh kepala keluarga yang menempati. Kami pun kembali berjalan melewati jalanan kayu untuk mencapai ujung desa.
Jalanan kayu di Tambaksari.

Kami beristirahat di depan masjid satu-satunya yang berada di daerah itu. Di sanalah, saya bertemu dengan Pak Khafidi dan berbincang banyak tentang perkampungan mungil ini. Ia menuturkan, sudah tinggal di sana sejak lahir, pada tahun 1976. Bersama keluarganya, Pak Khafidi masih setia menjaga rumah yang hanya berjarak 20 meter dari permukaan air laut kala surut.
Masjid di Tambaksari yang halamannya mulai terendam air dan berlumut.
Beberapa puluh tahun lalu, gosong itu berupa perkampungan biasa. Kini, seiring dengan naiknya permukaan air laut, di Tambaksari hanya menyisakan satu rukun tentangga (RT). Di sanalah tinggal sekitar 30 orang, yang seperti terlepas dari dunia daratan. Di sana hanya ada sebuah masjid yang masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan mengaji.

Meski dikelilingi lautan, penghuni perkampungan itu beraktivitas layaknya warga pada umumnya. Rutinitas itu berupa berbelanja ke pasar bagi kaum ibu, anak-anak ke sekolah, dan para laki-laki dewasa mencari ikan di laut atau bekerja sebagai buruh. Selain nelayan, semua aktivitas itu dilakukan di kota dan warga telah biasa menempuh panjangnya jarak yang memisahkan Morosari-Tambaksari. Akses kesehatan pun diperoleh dengan menyeberangi lautan menuju Puskesmas Morosari.

Kebutuhan air bersih warga Tambaksari terpenuhi oleh pembangunan sumur air titis, yaitu sumur dengan kedalaman lebih dari 130 meter. Sumur itulah yang menjadi sumber air bersih satu-satunya warga seluruh perkampungan, untuk mandi, mencuci, dan memasak. Beruntung, aliran listrik masih mencapai perkampungan ini.

Seiring berjalannya waktu, air laut kian menggerus daratan gosong. Kala pasang, air laut semakin mendekati rumah, bahkan bisa menggenang hingga ruang tamu. Meski begitu, Khafidi tidak berniat meninggalkan rumah yang diwariskan orangtuanya. Setidaknya, untuk saat ini. “Kalau nanti kondisinya semakin parah, saya baru mau pindah,” ujarnya.

Pak Khafidi menurutkan keberatannya meninggalkan daratan gosong itu. Rumah yang ia tempati merupakan gudang kenangan masa kecilnya bersama teman dan keluarganya. Ia bersama penduduk Tambaksari dan warga sekitar, telah sepakat mempertahankan perkampungan ini dari gencarnya abrasi. Ia juga mengaku aktif mengikuti aksi tanam mangrove. "Saya ingin tinggal di sini selamanya, Mbak. Dan saya berusaha untuk mempertahankan Kampung Tambaksari ini dengan menanam mangrove. Ya, semoga berdampak baik," katanya.

Sebenarnya, Pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Demak telah memberikan bantuan berupa rumah panggung kepada setiap kepala keluarga. Bantuan itu merupakan hasil kerjasama dengan pihak swasta dan lembaga nirlaba yang berkonsentrasi laut. Beberapa warga ada yang menempati rumah pangung itu, namun sebagian ada yang memilih bertahan di rumah.

Bagi warga Tambaksari, naiknya air laut bukan lagi berupa ancaman. Kenaikan air laut telah menjadi bagian dari fenomena alam yang secara nyata dirasakan. Kepedulian masyarakat terhadap keberlangsungan beragam populasi itulah yang menggerakkan semangat menanam mangrove. Pemerintah, organisasi nirlaba, dan mahasiswa, sering pula mengadakan tanam mangrove untuk menekan tingginya abrasi di tanah Tambaksari.

Diperlukan kerja sama seluruh pihak untuk melindungi daratan bumi dari kerasnya abrasi. Saya pun mendengar, ada Oxfam yang turut memberikan perhatian pada hal semacam ini. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Kepedulian dari pihak luar berpotensi memberikan dampak baik dan memupuk semangat warga Tambaksari untuk terus melawan abrasi. Semoga...

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)