*Ini hanya pikiran iseng anak-anak yang lagi selo. Nggak
perlu dianggap serius.
Beberapa kali, aku dan Vella membandingkan karakter anak
sosial, khususnya jurusan Ilmu Komunikasi dan anak eksakta, terutama Fakultas
Teknik. Kami membandingkan bagaimana satu angkatan di sebuah jurusan di
Fakultas Teknik bisa sedemikian kompak dan “lengket”. Jika dibandingkan dengan
anak Komunikasi, rasanya kok jauh banget, gitu.
Anak sosial, seperti yang kami amati, cenderung sendirian
atau kalau pun berkelompok, jumlahnya paling dua sampai lima orang. Beberapa
anak lebih nyaman berjalan sendirian, dan merasa nggak ada yang salah dengan
itu. Memang, nggak banyak kesempatan yang membuat kami berinteraksi satu
angkatan. Kalau pun ada event, paling
pesertanya satu kelas, bukan satu angkatan.
Suatu hari, di lorong jurusan, tiba-tiba Fika dan Naila memberikan
pertanyaan tentang sosial-asosial itu, yang kebetulan kasusnya dekat dengan
kehidupan kami sebagai anak kos. Mereka bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan
jika teman kosmu mengajak pacarnya masuk kamar?” Jawabanku sederhana, “Ya
biarin aja, selama nggak ganggu penghuni kos lainnya.”
Nah, ternyata jawaban itu sudah diprediksi oleh Fika dan
Naila. Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada teman-teman lainnya. Jawabannya
hampir mirip dengan jawabanku. Tapi, ternyata Kuni memiliki jawaban yang “sedikit”
berbeda. Setelah memberi jawaban yang sama persis seperti anak-anak lainnya,
dia menambahkan, “Tapi kalau aku deket sama yang bersangkutan, aku bakal
ngomong kalau itu nggak baik.” Komentar Kuni itu sampai kami sebut anomali,
hehe.
Ternyata eh ternyata, Kuni mempertimbangkan komentar orang
lain yang menjadi tetangga. Memang sih, kos yang mengizinkan lawan jenis masuk,
cenderung dapat omongan miring. Kalau kata Kuni, “Karena mau nggak mau semua
penghuni kos bakal kena omongan itu juga kan.”
Ada benarnya juga sih ya pendapatnya Kuni. Tapi anak-anak
lainnya, termasuk aku, malah menyahut, “Untung aku enggak terlalu peduli sama omongan
orang, hehehe”. Astaga, anak-anak ini...
Pertanyaan Naila dan Fika itu memang untuk membuktikan
hipotesis mereka tentang anak jurusan sosial yang justru asosial? Tapi kenapa
bisa begitu ya?
Kami pun merunut penyebab sampai kami jadi “asosial”. Kami mulai
mempertimbangkan kondisi perkuliahan kami yang tugas-tugasnya berupa paper
individu dan projek kelompok. Paper individu jelas digarap oleh perorangan. Kemudian,
untuk projek, biasanya setiap anak memilih teman setimnya sendiri, sehingga
teman akrabnya ya itu-itu saja. Tapi ada juga sih, satu projek yang anggota timnya
adalah seluruh anak di kelas. Tapi ya cuma satu kali kejadian.
Kami membandingkan dengan tugas-tugas anak eksakta, yang sering
berhubungan dengan laboratorium dan ada asisten dosennya. Menurut kabar yang
kami dengar, teman-teman eksak sering sampai lembur laporan di laboratorium,
dan untuk bisa sampai disetujui asisten dosen, susahnya seperti mau terbang ke
langit. Saat susah mendapat persetujuan si asisten dosen itu, para anak eksak akan
merasa “senasib” dengan teman lainnya. Itu yang kami dengar dan kami percaya.
Setelah membahas situasi perkuliahan, tiba-tiba kami menyinggung
gaya ospek di fakultas kami (entah bagi anak eksak, ospek yang kami jalani bisa
disebut ospek atau enggak). Kami, anak Ilmu Komunikasi, cuma pernah mengalami
ospek yang isinya nyanyi-nyanyi, games, ceramah dari dosen, dan diskusi. Hal yang
sedikit ribet cuma pas diminta membawa bibit pohon untuk penghijauan kampus.
Sedangkan di fakultas eksakta, ospek biasanya berupa
aktivitas yang “bikin capek”. Hal paling sederhana adalah mengumpulkan tanda
tangan kakak angkatan di lembaran warna-warni berdasarkan angkatan. Ospeknya bisa
berjalan selama beberapa minggu atau bulan, bahkan satu semester. Bagi kami,
ospek yang demikian itu adalah WAW banget!
Pernah pula kami berandai-andai, jika FISIP turut menerapkan
model OSPEK seperti di Fakultas Teknik. Sepertinya akan menarik. Tapi sebelum
diterapkan, pasti sudah ditentang habis-habisan oleh dosen kami, terutama Mas
TL. “Model vertical minds tidak cocok
untuk pendidikan kita,” begitu mungkin alasannya, hahaha. *Dulu, mungkin
semester 2, kami pernah belajar tentang model vertical minds dan horizontal
cultures*.
Oke, memang ini enggak bisa digeneralilasi untuk semua anak
sosial. Bisa saja kok, anak sosial memang bisa bersosial :D
Hahaha aku anak eksak tapi suka juga sendirian. Mungkin kalo eksak kaya FK contohnya itu banyak kegiatan angkatannya jadinya lebih akrab. Coba jelasin yang vertical sama horizontal cultures dong *malah oot
ReplyDeleteOh, ternyata anak eksak juga yak..
DeletePenasaran sama teori vertical mind dan horizontal culture? Menyusup ke kuliahnya anak komunikasi aja madame, hehehe :D