Friday 17 October 2014

Anak Sosial justru Asosial?

*Ini hanya pikiran iseng anak-anak yang lagi selo. Nggak perlu dianggap serius.

Beberapa kali, aku dan Vella membandingkan karakter anak sosial, khususnya jurusan Ilmu Komunikasi dan anak eksakta, terutama Fakultas Teknik. Kami membandingkan bagaimana satu angkatan di sebuah jurusan di Fakultas Teknik bisa sedemikian kompak dan “lengket”. Jika dibandingkan dengan anak Komunikasi, rasanya kok jauh banget, gitu.

Anak sosial, seperti yang kami amati, cenderung sendirian atau kalau pun berkelompok, jumlahnya paling dua sampai lima orang. Beberapa anak lebih nyaman berjalan sendirian, dan merasa nggak ada yang salah dengan itu. Memang, nggak banyak kesempatan yang membuat kami berinteraksi satu angkatan. Kalau pun ada event, paling pesertanya satu kelas, bukan satu angkatan.

Suatu hari, di lorong jurusan, tiba-tiba Fika dan Naila memberikan pertanyaan tentang sosial-asosial itu, yang kebetulan kasusnya dekat dengan kehidupan kami sebagai anak kos. Mereka bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan jika teman kosmu mengajak pacarnya masuk kamar?” Jawabanku sederhana, “Ya biarin aja, selama nggak ganggu penghuni kos lainnya.”

Nah, ternyata jawaban itu sudah diprediksi oleh Fika dan Naila. Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada teman-teman lainnya. Jawabannya hampir mirip dengan jawabanku. Tapi, ternyata Kuni memiliki jawaban yang “sedikit” berbeda. Setelah memberi jawaban yang sama persis seperti anak-anak lainnya, dia menambahkan, “Tapi kalau aku deket sama yang bersangkutan, aku bakal ngomong kalau itu nggak baik.” Komentar Kuni itu sampai kami sebut anomali, hehe.

Ternyata eh ternyata, Kuni mempertimbangkan komentar orang lain yang menjadi tetangga. Memang sih, kos yang mengizinkan lawan jenis masuk, cenderung dapat omongan miring. Kalau kata Kuni, “Karena mau nggak mau semua penghuni kos bakal kena omongan itu juga kan.”

Ada benarnya juga sih ya pendapatnya Kuni. Tapi anak-anak lainnya, termasuk aku, malah menyahut, “Untung aku enggak terlalu peduli sama omongan orang, hehehe”. Astaga, anak-anak ini...
Pertanyaan Naila dan Fika itu memang untuk membuktikan hipotesis mereka tentang anak jurusan sosial yang justru asosial? Tapi kenapa bisa begitu ya?

Kami pun merunut penyebab sampai kami jadi “asosial”. Kami mulai mempertimbangkan kondisi perkuliahan kami yang tugas-tugasnya berupa paper individu dan projek kelompok. Paper individu jelas digarap oleh perorangan. Kemudian, untuk projek, biasanya setiap anak memilih teman setimnya sendiri, sehingga teman akrabnya ya itu-itu saja. Tapi ada juga sih, satu projek yang anggota timnya adalah seluruh anak di kelas. Tapi ya cuma satu kali kejadian.

Kami membandingkan dengan tugas-tugas anak eksakta, yang sering berhubungan dengan laboratorium dan ada asisten dosennya. Menurut kabar yang kami dengar, teman-teman eksak sering sampai lembur laporan di laboratorium, dan untuk bisa sampai disetujui asisten dosen, susahnya seperti mau terbang ke langit. Saat susah mendapat persetujuan si asisten dosen itu, para anak eksak akan merasa “senasib” dengan teman lainnya. Itu yang kami dengar dan kami percaya.

Setelah membahas situasi perkuliahan, tiba-tiba kami menyinggung gaya ospek di fakultas kami (entah bagi anak eksak, ospek yang kami jalani bisa disebut ospek atau enggak). Kami, anak Ilmu Komunikasi, cuma pernah mengalami ospek yang isinya nyanyi-nyanyi, games, ceramah dari dosen, dan diskusi. Hal yang sedikit ribet cuma pas diminta membawa bibit pohon untuk penghijauan kampus.

Sedangkan di fakultas eksakta, ospek biasanya berupa aktivitas yang “bikin capek”. Hal paling sederhana adalah mengumpulkan tanda tangan kakak angkatan di lembaran warna-warni berdasarkan angkatan. Ospeknya bisa berjalan selama beberapa minggu atau bulan, bahkan satu semester. Bagi kami, ospek yang demikian itu adalah WAW banget!

Pernah pula kami berandai-andai, jika FISIP turut menerapkan model OSPEK seperti di Fakultas Teknik. Sepertinya akan menarik. Tapi sebelum diterapkan, pasti sudah ditentang habis-habisan oleh dosen kami, terutama Mas TL. “Model vertical minds tidak cocok untuk pendidikan kita,” begitu mungkin alasannya, hahaha. *Dulu, mungkin semester 2, kami pernah belajar tentang model vertical minds dan horizontal cultures*.


Oke, memang ini enggak bisa digeneralilasi untuk semua anak sosial. Bisa saja kok, anak sosial memang bisa bersosial :D

2 comments:

  1. Hahaha aku anak eksak tapi suka juga sendirian. Mungkin kalo eksak kaya FK contohnya itu banyak kegiatan angkatannya jadinya lebih akrab. Coba jelasin yang vertical sama horizontal cultures dong *malah oot

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, ternyata anak eksak juga yak..
      Penasaran sama teori vertical mind dan horizontal culture? Menyusup ke kuliahnya anak komunikasi aja madame, hehehe :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)