Sunday 30 November 2014

Benar-benar Blusukan di Kota Seribu Candi

Jika berbicara tentang warisan sejarah di Magelang, mungkin kita cuma familiar dengan Candi Borobudur dan Candi Mendut. Padahal, Magelang menyimpan banyak sekali cerita dan bukti sejarah yang luar biasa keren, selain dua nama candi yang sudah tersohor itu. Mengusung tema Blusukan Kota Seribu Candi, Komunitas Pecinta Sejarah Lopen Semarang mengajak masyarakat untuk mengenal lebih dekat jejak-jejak sejarah di Magelang.

Saya menjadi bagian dari perjalanan blusukan #Kota1000Candi bersama Lopen. Kami memulai perjalanan itu dari SPBU Undip, Tembalang. Saya yang datang sendirian, sempat merasa disorientasi karena ada beberapa gerombolan manusia di sana. Saya mengarahkan kaki pada segerombolan orang yang memasang wajah paling sumringah, menebak mereka termasuk peserta blusukan #Kota1000Candi, sama seperti saya. Dan, ya, saya beruntung tidak salah mengenali. Mereka memang selalu sumringah.


Perjalanan dari Semarang menuju Magelang memakan waktu sekitar dua jam. Meski Agustus lalu sudah berkunjung ke Magelang, tapi rasanya saya sangat rindu dengan kota ini. Magelang, sungguh kota yang sangat cantik.

Sesampainya di Magelang, tepatnya di depan Masjid Agung Magelang dan tugu kompor (bukan, sebenarnya itu adalah menara air milik PDAM), kami berjumpa dengan kawan-kawan dari Komunitas Kota Toea Magelang di alun-alun kota. Merekalah yang akan memandu kami berblusukan ria, dan dari mereka jugalah, kami akan belajar tentang jejak-jejak sejarah di Magelang. Selama perjalanan, kami dipandu Mas Indra, dari Komunitas Kota Toea Magelang yang kocak dan memiliki ingatan luar biasa hebat, terutama soal harga.
Candi Ngawen

Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Ngawen. Dari acara ini, baru pertama kali saya dengar ada situs bersejarah bernama Candi Ngawen. Sepertinya di buku sejarah yang saya baca semasa sekolah, juga tidak memuat cerita tentang candi itu (atau mungkin memang saya yang kurang menyimak). Tapi percayalah, Candi Ngawen memiliki pesona yang sangat elok.

Candi yang berada di Kecamatan Muntilan ini dibangun pada masa Mataram Kuno. Candi ini terdiri dari dua candi induk dan tiga candi pendamping (candi perwara). Sayangnya, kepala patung Budha di candi ini sudah hilang. Katanya, kepala candi dihargai sangat mahal, sampai puluhan miliar, sehingga banyak yang berniat mencuri. Relief Candi Ngawen bercerita tentang Kinara dan Kinari, perwujudan burung yang berkepala manusia.

Jika mau membandingkan dengan candi Budha lainnya seperti Candi Borobudur, Candi Ngawen ini memang tergolong imut. Meski ukurannya kecil, Candi Ngawen memiliki beberapa keunikan dibanding candi Budha lainnya. Pertama, corak candi ini mirip dengan candi Hindu, karena bentuknya yang ramping. Coba bandingkan dengan kebanyakan candi Budha lainnya yang cenderung berbadan lebar, seperti Candi Borobudur. Kedua, terdapat pancuran pada candi berbentuk singa (saya lupa namanya) pada sudut-sudut candi. Keberadaan patung singa itu dianggap unik karena biasanya pancuran pada candi berbentuk naga.
Pancuran singa.

Keunikan lainnya, Candi Ngawen ini berada di bawah permukaan tanah. Candi ini memang lebih rendah sekitar satu meter dibanding tanah di sekitarnya, sehingga untuk turun, diperlukan beberapa anak tangga (yang saya lupa untuk menghitungnya).
Kalau dari dekat, kita akan melihat ada semburan air
dari bawah pasir.

Reruntuhan candi seperti potongan puzzle yang minta disusun

Momen berkeliling Candi Ngawen sempat terhenti karena hujan yang mengguyur Magelang. Namun, saat hujan reda, kami kembali menyusuri area itu dan menemukan balok-balok batu yang menjadi bagian reruntuhan candi. Kata Mas Indra, penyusunan kembali batu-batu menjadi candi sangat sulit, karena reruntuhan itu telah bercampur menjadi satu. Mas Agung menambahkan, setiap balok batu yang menyusun candi memiliki keunikan sendiri-sendiri, sehingga tanpa paku pun, candi bisa tetap kokoh berdiri. Kami cuma mangut-mangut mendengar penjelasan itu.

Cukup berjalan-jalan keliling Candi Ngawen, kami segera kembali ke tengah kota untuk mengunjungi Masjid Agung Magelang. Di sepanjang perjalanan dari candi menuju masjid ini, kami juga mendeklarasikan diri sebagai rombongan zaroh alias ziarah. Sesampainya di lokasi, selain salat, di sana kami juga diajak berkeliling Masjid yang dibangun pada tahun 1779 itu. Beberapa bagian masjid itu masih terawat keasliannya, seperti bedug yang berada di serambi masjid. Ornamen pada atap masjid juga masih asli. Namun, ada pula yang diperbarui, karena sudah keropos dimakan usia, seperti mimbar untuk khutbah salat Jumat.
Mimbar yang sudah lapuk.

Bedug dan kentongan.

Saya merasa tidak begitu nyaman berada di dalam masjid, karena kami berjalan di bagian depan, melewati jamaah yang tengah menunaikan salat zuhur. Area berkeliling pun berpindah ke luar masjid. Kami ditunjukkan area wudhu di masjid itu. Merasa tidak ada yang aneh, akhirnya Bapak Takmir masjid yang mendampingi kami bercerita tentang suasana masjid sebelum dibangun sumur. Saat itu, para jamaah harus berwudhu di Sungai Progo yang berada sejauh 1 kilometer dari masjid.

Usai mengunjungi Masjid Agung Magelang, kami segera beranjak menuju Museum Diponegoro, yang lokasinya tidak jauh dari masjid. Sayangnya, petugas yang membawa kunci museum sedang melayat ke Semarang, sehingga kami hanya bisa mengintip beberapa barang peninggalan Pangeran Diponegoro dari jendela. Di sebuah ruangan dengan suasana temaran, kami bisa melihat jubah, kursi yang terdapat bekas cengkeraman tangan, dan kursi pendek untuk minum teh.
Gedung Museum Diponegoro.

Mengintip isi museum dari luar kaca.

Kami juga berjalan menuju tugu Universitas Gadjah Mada yang berada di sisi belakang area museum. Tugu itu menandai aktivitas perkuliahan jurusan akuntansi dan keuangan yang berada di kampus Magelang pada 1964 sampai 1978. Sayangnya, keberadaan tugu itu sangat tidak terawat. Di sekelilingnya sampai ditumbuhi ilalang setinggi pinggang. Di belakang tugu itu, terdapat gazebo yang jika berdiri di sana, kita bisa melihat banyak sisi Kota Magelang, seperti Sungai Progo, Bukit Tidar, dan Bukit Giyanti.
Tugu UGM

Tetapi, ada cerita yang tak begitu mengenakkan di balik pendirian gedung ini. Karena area pandang dari pelataran gedung ini yang luas, ternyata Belanda dapat memantau pergerakan Pangeran Diponegoro yang tengah bersembunyi di Bukit Giyanti. Obor yang digunakan rombongan Pangeran Diponegoro dapat dilihat dari situ. Dan lokasi museum juga menjadi tempat Pangeran Diponegoro “dijebak” pihak Belanda, sekaligus tempat persinggahan terakhir Pangeran Diponegoro di Jawa, sebelum diasingkan dan wafat di Makassar.
Pemandangan kece dari gazebo.

Selesai berkeliling Museum Pangeran Diponegoro, kami melanjutkan perjalanan menuju Masjid Trasan alias Masjid Tiban. Masjid yang berada di Desa Trasan ini dinamakan Masjid Tiban karena tidak ada satu pun orang yang mengetahui kapan pendirian masjid. Jadi, seolah-olah masjid itu “tiba” atau jatuh dari langit. Nama Masjid Tiban lebih populer, ketimbang nama yang tertulis di masjid itu: Masjid Jami Baitul Muttaqin.
Masjid Tiban dari jarak 200 meter.

Hal lain yang bikin saya melongo takjub adalah cerita tentang masjid yang dipindahkan secara gaib sejauh 200 meter dari lokasi semula. Awalnya, masjid ini terletak di tepi jalan, tetapi sekarang keberadaannya lebih menjorok ke dalam. Dari kejauhan, masjid ini seperti tidak berbeda dibanding masjid kebanyakan. Namun, setelah memasuki masjid, kita akan menemui kerangka kayu yang berada di langit-langit. Bedug dan kentongan masjid juga unik. Bedugnya memang berukuran kecil, tetapi kulitnya sangat tebal. Sementara kentongannya, berbentuk seperti lesung untuk menumbuk beras.
Bedug dan kentongan berbentuk lesung.

Kunjungan kami di Magelang diakhiri di Candi Selogriyo yang berada di Kecamatan Windusari. Baiklah, dari acara Lopen ini, saya juga baru pertama kali mendengar ada candi itu. Pokoknya, candi ini berada di atas bukit, sehingga kita harus berjalan di jalur yang menanjak. Langit Magelang yang gerimis menambah tantangan kami untuk menaiki bukit. Terlebih, suhu Magelang juga teramat dingin dibanding Semarang. Padahal, saat itu masih sekitar pukul 14.00. Celakanya, saya tidak membawa jaket.

Di bawah langit yang gerimis itu, kami mulai melangkahkan kaki menuju candi. Awalnya, jalur yang masih  berada di permukiman warga, berupa jalan aspal yang mulus. Memasuki persawahan, jalur berubah menjadi paving. Kemudian, usai melewati pos, jalur pendakiannya berubah menjadi tangga-tangga dari batu dan semen. Kalau jalurnya sudah begini sih, enak banget. Apalagi pemandangan yang, gila, amazing banget.  Di sebelah kiri ada tembok tebing, sementara di kanan jalan ada hamparan terasering sawah milik penduduk. Kata pemandu kami (yang belakangan saya tahu namanya Mas Anjar), pemandangan akan lebih indah kala sunrise tiba di fajar hari.
Pemandangan yang amazing banget! Apalagi kalau sunrise.

Sesampainya di candi, kata pertama yang keluar dari mulut saya adalah, “Surgaaa...!!!” Area Candi Selogriyo indah banget! Serius, kaki pegal setelah berjalan mendaki bukit, langsung terbayar setelah sampai lokasi candi. Sukses menemukan candi ini adalah blusukan yang sesungguhnya.
Candi Selogriyo.

Tak berapa lama setelah sampai candi, kami langsung diajak santap siang. Menunya spesial, cuma ada di Magelang: sup senerek. Hayo, apa itu? Sup senerek adalah sup kacang merah khas Magelang. Rasanya memang seperti sup kebanyakan, tapi keberadaan kacang merah plus suasana syahdu di pinggir candi yang masih gerimis, menjadikan makanan itu sangat istimewa. Konon, sup senerek adalah makanan favorit bangsawan Belanda pada zaman penjajahan dulu.

Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, kami diajak berkeliling Candi Selogriyo. Candi ini beraksitektur Hindu yang menghadap ke barat. Di empat sisi candi, terdapat relung yang berisi arca perwujudan dewa, meliputi Durga Mahisasuramardini, Ganesha, Agastya, serta Nandiswara dan Mahakala. Jika diperhatikan, candi ini tidak memiliki banyak detail relief. Entah karena memang dari sononya begitu atau efek pemugaran. Dan ternyata, Candi Selogriyo pernah mengalami longsor hingga bangunannya hancur. Penyusunan ulang pun dilakukan, di lokasi yang lebih landai dan berada lebih di atas bukit.

Tak jauh dari candi, ada lingga dan yoni. Biasanya, lingga dan yoni itu tersimpan di dalam candi. Sehingga, diduga, lingga dan yoni yang berada di dekat candi itu awalnya berada di dalam Candi Selogriyo. Selain itu, ada pula cetakan waffle berbentuk kembang goyang (entahlah, ini bahasanya Mas Indra) yang bernama pipih. Dari bawah peripih itu, pernah  ditemukan emas.
Peripih, lingga, dan yoni.

Karena hari mulai sore, kami bergegas kembali turun. Tetapi, sebelum turun, saya menyempatkan diri lari menuju mata air di dekat candi untuk mengisi tumbler. Suasananya asik banget. Bentuk pancurannya pun unik, seperti bagian dari candi. Sayang, saya lupa memotretnya karena terburu-buru, khawatir ditinggal rombongan turun bukit. Kata Mas Anjar, rasa mata air itu manis. Awalnya saya tidak merasakan manis sama sekali. Rasanya segar, memang, tapi tidak ada rasa manis. Tetapi, setelah sampai di Semarang, saya jadi bisa menikmati rasa manis mata air itu. Serius, airnya enak, sampai saya awet-awet dengan meminumnya sedikit demi sedikit. Memar dan lecet yang menjadi oleh-oleh sewaktu kepeleset pas turun dari Candi Selogriyo, langsung sembuh loh berkat air itu (ini lebay, jangan percaya).

Sungguh, ini pengalaman yang luar biasa keren. Terima kasih kepada Lopen atas ajakan dan kesempatan bagi saya mengikuti acara yang luar biasa kece ini. Terima kasih juga untuk Komunitas Kota Toea Magelang yang mengenalkan lokasi-lokasi yang kerennya luar biasa ini. Ini adalah blusukan yang sangat sangat sangat keren.

Baiklah, ini adalah keberuntungan  tiada tara yang saya dapatkan di bulan November. Saya sangat berterima kasih pada seseorang yang membatalkan diri mengikuti acara #BlusukanKota1000Candi ini. Bagaimana pun, kursi kosong yang Anda tinggalkan di acara ini, akhirnya bisa saya pakai. Sebagai gantinya, Anda bisa membaca tulisan ini kan, sambil membayangkan pengalaman kece yang baru saja saya rasakan. Di saat kepala hampir meledak karena lebih dari seminggu berjibaku dengan ebook dari Mas TL, acara #BlusukanKota1000Candi adalah obat yang sangat manjur.


*Buset, tulisannya jadi panjang begini ya. Maaf kalau sampai kelelahan membaca. Nanti lah, kita bisa berlelah-lelahan tracking untuk menikmati surga di Candi Selogriyo bersama-sama. Foto-fotonya juga enggak bagus. Maafkan.

4 comments:

  1. Budi mbok aku diajakin kalo ada acara kek gini hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf, madame, kemaren nggak ngajak-ngajak, soalnya aku bisa ikut acara ini aja karena pas ada satu peserta yang mengundurkan diri, hehe.
      Bulan Januari ada lagi kok, nanti lah, kita ikutan bareng :D

      Delete
  2. kha kha kha benar - benar blusukan di selogriyo apalagi ke toilet tanpa pintu nya jiaaah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, blusukan banget deh. Penuh perjuangan pula.
      Eh, kakak nyobain toiletnya? Waw...

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)