Wednesday 3 December 2014

Menertawakan Kebodohan

Vella, Dhea, dan Dian.

Selalu ada yang menarik saat tiba-tiba teringat tentang kebodohan yang pernah kita lakukan. Kebodohan apa saja, rasanya akan tetap menarik meski kita mengingatnya hingga bertahun-tahun kemudian. Kebodohan itu akan lebih seru lagi jika pelakunya tidak sendiri, melainkan beramai-ramai.

Aku memiliki dua partner untuk melakukan aneka kebodohan. Tentu saja partnerku adalah Dheayu Jihan Bias Khansa dan Ifadhah Vellayati Widjaja. Bersama mereka, aku kerap mengalami kejadian-kejadian bodoh, baik disengaja maupun karena efek kebetulan. Berikut ini adalah beberapa kejadian bodoh yang kami alami:


Pada semester tiga, kami pernah membolos berjamaah pada mata kuliah Sosiologi Komunikasi, yang diampu Mas TL. Nah, gaya mengajar Mas TL ini termasuk ketat: keterlambatan mahasiswa maksimal lima menit. Tetapi, Mas TL sudah berbaik hati memberi keringanan jam perkuliahan, dari jam 06.30 diundur menjadi 07.00. Enaknya lagi, Mas TL tidak terlalu saklek dengan absensi. Jadi kalau telat, mahasiswa dipersilakan menunggu di luar dan tetap bisa ikut tanda tangan daftar hadir saat perkuliahan selesai.

Pagi itu, Vella mengabarkan sudah di kelas saat aku dan Dhea masih di jalan. Aku dan Dhea segera ngebut, dan langsung menuju kelas di lantai tiga, ruang B303. Kami telat 10 menit, dan saat aku membuka pintu, Mas TL langsung menyambut dengan kalimat, “Silakan tunggu di luar saja ya?” Damn, telat.

Aku dan Dhea yang masih ngos-ngosan langsung terduduk lemas di koridor sambil selonjor kaki. Kejutannya adalah, Vella tiba-tiba muncul dari arah tangga, juga dengan ekspresi ngos-ngosan. Lah, bukannya dia sudah di kelas? Kalian tahu, apa jawabannya Vella? “Tadi perutku mules, jadi ya aku balik kos dulu buat pup.” Hah?! Bahkan tas Vella pun masih berada di dalam kelas, karena memang dia berniat untuk segera kembali. Tanpa perlu komando, kami langsung ngakak bebas saat menyadari tiga orang bisa sama-sama telat, meski dengan alasan berbeda.

Kami ngerumpi di koridor sambil menunggu perkuliahan berakhir pada pukul 09.00. Tetapi, setengah jam kemudian, kami sadar bahwa waktu dua jam akan terasa mubazir jika disia-siakan, sehingga kami memilih sarapan ke kedai soto langganan saja.

Sekitar pukul 08.00, saat kami asik makan soto, Tegar, yang menjadi mata-mata di kelas, mengabarkan kalau daftar absensi sudah beredar (biasanya ini tanda perkuliahan hampir berakhir). Sebenarnya ini agak ganjil, karena Mas TL dikenal betah ngajar di kelas. Perkuliahan pasti selesai pukul 09.00 tepat, atau mungkin lebih. Tetapi karena panik, kami memilih buru-buru meninggalkan mangkuk soto dan kembali ke kampus.

Kami kembali berlari menaiki tangga menuju lantai tiga dan kembali duduk di lantai koridor. 10 menit, 15 menit, sampai 30 menit, perkuliahan belum juga selesai. Hingga pukul 09.00 lewat, beberapa mahasiswa jurusan lain yang hendak masuk ke ruangan mulai berdatangan, kelasku masih juga belum selesai. Sial. Aku meninggalkan sisa sotoku demi satu jam yang mubazir ini. Dhea dan Vella juga sama-sama menyesali sisa soto yang kami tinggal. Hingga tiba-tiba, Mas TL membuka pintu. Aku, Vella, Dhea, dan beberapa mahasiswa telat lainnya langsung berebut absensi. Mas TL pun berpesan, “Lain kali jangan telat lagi ya”, dan dengan kompak kami menjawab, “Iya, Mas...”

Sebenarnya sih, kami memang demen bolos. Beberapa kali, terutama saat di kos Vella, kami bisa terserang virus malas mendadak. Aksi berikutnya adalah menghitung sisa jatah absen yang empat kali itu. Jika masih ada, kami memilih melanjutkan nonton film atau tidur. Biasanya, ada satu orang yang jadi malaikat dan ingin tetap kuliah, tetapi dia akan segera termakan hasutan dua setan yang juga sahabatnya itu.

Bicara soal bolos, alasan kami memang berkisar ngantuk dan malas. Kalau di kos Vella, kami memilih menonton film bersama di laptop. Suatu hari, Vella menunjukkan film horor berjudul Phobia 2 asal Thailand. Aku langsung menolak, tetapi kalah suara dengan Vella dan Dhea yang berminat menonton. Ketimbang menonton film horor, aku memilih tidur di kasur. Vella dan Dhea menonton di lantai, sambil duduk bersandar tepi kasur.

Tidak ada hal aneh yang terjadi selama aku tidur. Saat terbangun pun suasana masih sepi. Secara tidak sengaja, mataku menoleh ke layar laptop dan ya, seketika itu juga HANTUNYA MUNCUL DI BALIK KURSI PESAWAT! Aku langsung teriak histeris. Sialnya, kepalaku (tentu saja beserta mulutnya) berada di belakang kepala Dhea yang duduk di bawah. Dhea yang kaget gara-gara teriakanku langsung ikut teriak dan segera memukul-mukul lenganku sambil ngomel.

Dhea bilang, dia sudah setengah mati mempersiapkan diri biar tidak terlalu kaget saat si setan keluar, tetapi rusak gara-gara teriakanku. Jawaban yang keluar dari mulutku hanya, “Aku mana tahu...” Kalau aku dan Dhea teriak histeris, apa yang dilakukan Vella? Yang dilakukan Vella adalah ngakak karena melihat aku dipukuli Dhea! Teman macam apa itu!

Tetapi, soal hantu, aku hanya takut pada hantu yang berupa gambar atau film. Sedangkan Vella dan Dhea, justru lebih aman jika melihat film, tetapi tidak untuk melihat wujud asli. Nah, kejadian menarik soal hantu adalah ketika kami masuk wahana Snow Ghost di acara Jateng Fair.

Aku yang tidak suka permainan hantu-hantuan, menolak mentah-mentah ajakan Dhea dan Vella. Tetapi aku akhirnya turut masuk berkat bujuk rayu mereka. Saat masuk wahana, suasana langsung sepi, dingin, dan lembab. Lorong-lorong sempit dan gelap harus kami lewati. Saat hendak berbelok, tiba-tiba kami dikejutkan dengan kehadiran sosok Yeti, si makluk salju yang mengerikan itu. Aku masih bisa menguasai diri agar tidak teriak, tetapi kedua bocah yang katanya pemberani itu justru berteriak histeris dan berlari-lari aneh memutari ruangan. Ha? Apa yang mereka lakukan? Hm..

Perjalanan kami lanjutkan. Mereka berjalan di belakangku, sambil memegang tangan dan menarik tasku. Setiap mau memasuki ruang atau lorong, Dhea akan selalu mengucapkan salam, “Assalamualaikum..” Tetapi setiap ada hantu muncul, mereka pasti berteriak histeris dan berlari-larian. Hal itu berus berlangsung sampai kami menyelesaikan wahana itu. Anehnya, saat sampai di sebuah taman yang dihiasi lampu-lampu putih, mereka langsung ketawa girang dan berfoto-foto. Komentarku saat itu hanya, “Kalian sudah bayar mahal cuma buat bisa teriak-teriak ketakutan”. Dan kami pun kembali tertawa.
Setelah mengalahkan Yeti.

Hobi kami yang lain adalah melihat buku resep makanan, terutama kue yang unyu-unyu, saat di toko buku. Kami bisa berjam-jam mencari resep mana yang layak untuk dieksekusi. Tentu saja kriterianya adalah bahannya mudah ditemui, cara membuat yang gampang, dan tentu saja memerlukan biaya tidak besar.

Kami segera bersiap mengeksekusi resep yang kami dapatkan saat di toko buku. Bahan-bahan bisa dengan mudah kami temui. Di rumah Dhea, kami membuat adonan kue dengan semangat. Saat si kue sedang di kukus, kami membicarakan tentang betapa hebatnya kami yang bisa membikin kue. Bahkan kami berencana menjadikan kue itu sebagai ladang usaha! Dhea ingin usaha yang menghasilkan banyak uang, Vella ingin melihat kue-kue cantik setiap hari, sedangkan aku ingin bisa makan kue enak setiap hari.

Saat 30 menit berselang, kami dengan penuh semangat membuka tutup panci kue yang matang (menurut buku resep). Tetapi, alangkah terkejutnya kami mendapati kue yang kelihatan benyek dan meluber seperti monster. Kami masih mencoba menghibur diri dengan mencicipi rasa yang pastinya enak. Tetapi, badan kami langsung lemas saat tahu rasa si kue tidak kalah aneh dibanding bentuknya. Sekali suap kami langsung enek. Apa daya, kami memang tidak mampu membuat kue. Masak iya, kue monster itu mau dijual?

Ketimbang terbuang percuma, kami langsung merencanakan siapa saja yang layak “diracuni” dengan kue itu. Bisa pacar, teman kos, bahkan keluarga. Kemudian, kami tertawa bahagia karena kue itu tetap akan ada yang memakan, hahaha. Setelah kegagalan itu, musnah juga keinginan kami untuk membikin kue, meski hobi nongkrong di deretan buku resep masih berjalan.

Selain makanan, kami juga terobsesi dengan pakaian kembar yang bisa dipakai bareng. Pakaian yang paling mudah dicari kembarannya, tentu saja kaos. Kami mulai mencari di beberapa mall. Saat ketemu yang menarik, kami langsung mencobanya di ruang ganti. Tetapi, di depan cermin di ruang ganti yang sempit, kami langsung tertawa terpingkal-pingkal karena pakaian yang kami dipakai. Aku, tentu saja pas di badan. Dhea, langsung mirip lidi yang dipakaikan baju. Sedangkan Vella, mirip emak-emak yang memakai daster! Hahaha. Akhirnya, kami hanya mencoba-coba kaos dan menjadikannya bahan tertawaan. Oiya, kaos kembar itu memang akhirnya memang kami dapatkan di Undip Apparel.

Kebodohan kami lainnya adalah saat aku dan Dhea yang belum pernah sekali pun naik bajaj, ingin merasakan sensasi bajaj. Mumpung di Ibu Kota, kami ingin sekali menaikinya. Kami yang awalnya berada di kawasan Kota Tua, langsung menyebrang jalan dan menyetop sebuah bajaj. Karena hanya sekadar pengen naik bajaj, rute yang dipilih pun tidak jauh. Cukup sampai Mangga Dua Square. Pak Bajaj minta ongkos 12 ribu. Tetapi Vella lebih sikap menawar menjadi 10 ribu. Kami pasang wajah jaim, sehingga Pak Bajaj akhirnya mengalah.

Sepanjang perjalanan, kami sangat menikmati momen desak-desakan di bangku belakang yang sempit. Kami menikmati duduk di dalam bajaj yang bergetar, sehingga sepanjang perjalanan, tawa kami tidak pernah berhenti. Saat si bajaj berhenti karena macet, kami masih terus tertawa, sampai para pengendara lainnya langsung menoleh ke arah kami, hahaha.

Perjalanan sampai Mangga Dua memang tidak panjang, tetapi lumayan lah, bisa merasakan naik bajaj. Saat sampai di Mangga Dua, kami yang berencana pulang ke Tangerang, langsung kebingungan dengan rute transportasi. Akhirnya, kami kembali lagi ke Kota Tua agar bisa bertemu shelter TransJ menggunakan angkot. Bodoh, memang.

Lihat kan, ada banyak sekali kebodohan yang kami lakukan. Itu hanya beberapa, karena beberapa yang lain, aku yakin Dhea dan Vella masih sangat ingat. Menurutku, kebodohan itu memang bukan untuk disesali, tetapi untuk ditertawakan di kemudian hari. Buktinya, kami masih dengan sangat bahagia mengingat kebodohan-kebodohan itu.

*Ini adalah tantangan saat kami sudah “terpisah”. Masing-masing diminta mengingat kejadian bodoh yang pernah dialami bertiga, tetapi yang sekiranya dua orang lainnya lupa. Serius, mengingat kebodohan itu susah, karena kebodohan-kebodohan kami kebanyakan sudah termuat di blog. Kalau penasaran, silakan buka di sini:










2 comments:

  1. Hahahaha..tulisanmu lucumu,Di. Aq ngakak sendiri bacanya. Tole banget ya kita :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang, tole banget banget banget. Awas kangen loh yaa.. :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)