Sunday, 9 April 2017

Tax Amnesty

Saya yakin semua orang akrab dengan dengan kata pengampunan pajak, atau amnesti pajak, atau tax amnesty.  Spanduknya ada di mana-mana, dari kantor pemerintah, terminal, stasiun, sampai bandara. Dan kini, program itu akhirnya benar-benar rampung pekan lalu.

Bagi saya, program tax amnesty ini sangat berkesan. Kebetulan, saya mengikuti program itu sejak masih berupa wacana, pembahasan di Parlemen, sampai pelaksanaannya yang rampung Jumat pekan lalu. Dan ngomong-ngomong soal durasi pelaksanaannya, menurut saya juga unik, sembilan bulan seperti usia bayi di kandungan.



Saya pertama kali mengikuti isu tax amnesty sejak Januari 2016. Kala itu, tax amnesty baru berupa draf yang masih disempurnakan Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro. Sebulan berikutnya, Presiden sudah selesai mempelajari draf beleid tax amnesty dan menyerahkannya pada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, pembahasannya harus menunggu masa reses berakhir.

Pada awal April 2016, akhirnya rancangan undang-undang tax amnesty mulai dibahas. Cukup alot, karena memerlukan waktu tiga bulan untuk mengesahkannya. Ada banyak drama yang terjadi sepanjang pembahasan untuk melahirkan program itu. Tetapi saya hanya akan ceritakan di hari terakhir pembahasannya saja ya.

Saat itu, Senin, 27 Juni 2016, yang juga bulan Ramadan. Sejak pagi, Komisi XI sudah sangat ramai. Pekan ini seharusnya menjadi momen krusial soal tax amnesty, karena menjadi pekan terakhir bulan Juni. Selain itu, pekan sebelumnya pun, baik pemerintah maupun Parlemen sudah sama-sama optimistis UU Tax Amnesty bakal disahkan pekan ini. Alasannya,  pelaksanaan program itu harus dimulai pada triwulan ketiga 2016, atau 1 Juli 2016. Jadilah, di pekan terakhir Juni 2016 itu, kami para pemburu berita ikut deg-degan menanti kabar tax amnesty.

Hari Senin itu terasa sangat-sangat panjang. Rapat berlangsung sepanjang hari, dan sangat alot, hingga terpaksa diskors pukul 17.30 untuk berbuka puasa dan salat magrib. Meski pemerintah dan DPT hectic, buat kami hari itu benar-benar sepi berita. Tentu saja alasannya karena selain sidang yang masih tanpa hasil, para pejabat Kementerian Keuangan (terutama sang menteri) sangat sulit di-doorstop.

Pukul 19.00, peserta rapat mulai duduk di kursi masing-masing, sedangkan kami mulai kembali nongkrong di balkon Komisi XI. Kami kembali menyimak rapat dengan semangat 45, karena perut sudah kembali kenyang. Tetapiiii, kami masih kekhawatir rapat bakal berlangsung hingga dini hari! Kok bisa? Tentu saja, karena sampai pukul 21.00, belum ada tanda-tanda rapat berakhir. Bekal camilan mulai menipis, dan kami yang ada di balkon mulai mati gaya. Konsentrasi saya sudah bukan pada bahasan rapat, melainkan mengamati peserta rapat satu per satu, baik dari DPR maupun pemerintah. Siapa yang terkantuk-kantuk, sibuk cemal-cemil, mencoret-coret kertas, main ponsel, sampai belajar (melihat grafik-grafikan di tab). Ternyata banyak peserta rapat yang juga mati gaya.

Pukul 23.00, kami benar-benar tidak tahan. Ngantuk dan lapar lagi, maksudnya. Jadilah, kami semua pesan makanan untuk persiapan sahur.
Luar biasa kan? Hahahaha. Saya ingat ada beberapa kubu soal pilihan makanan ini, dan saya memilih makan katsu-katsuan. Dan ternyata, makanan itu tak bisa awet sampai waktu sahur, karena kami langsung melahapnya saat pesanan tiba.

Syukurlah, pukul 02.30, rapat itu benar-benar berakhir. Dan setengah jam sesudahnya, kami sudah kejar-kejaran lagi dengan Menteri Bambang. Lumayan lah.

Saya ingat betul, UU yang akhirnya disepakati bernama UU Amnesti Pajak itu, disahkan tepat saat ulang tahun ayah saya: 28 Juni 2016. Tetapi, bukan saya yang meliput sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Amnesti Pajak.

Awalnya, saya pikir bisa dapat agenda siang, karena sudah terbebas dari sidang paripurna, sehingga bisa bangun siang. Agenda sidang paripurna itu ditugaskan pada Ria, teman sekantor yang memang ngepos di DPR. Ternyataaaa.. Saya salah besar. Hari itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla malah berkunjung ke kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang justru menjadi lokasi ngepos saya. Dan, waktu kunjungannya tidak main-main, pukul 08.00. Bahkan itu jauh lebih pagi dibanding sidang paripurna yang pukul 10.00.

Sebenarnya, saya tak begitu memperhatikan agenda Menko Darmin hari itu. Saya hanya melempar agenda pada kantor, dan kembali tidur. Kejutannya adalah, saya langsung ditelepon Mas Damar, koordinator reporter di kantor, agar segera mendatangi kantor Kemenko. Karena kedasaran belum kumpul, saya cuma meng-iya-kannya saja. Dan setelah telepon ditutup, saya menyesal. Harusnya kan bisa nego dulu. Padahal saat itu sudah pukul 07.00 lebih.

Akhirnya, dengan kilat saya bersiap dan menuju ke Kemenko Perekonomian. Tetapi, acara masih belum mulai, sehingga saya bisa menulis berita hasil doorstop Menkeu dini hari tadi. Setelah berita terkirim, Mas Damar mengirim Whatsapp, "Kamu semalem sampai jam berapa di DPR?" Hyaaaaa. Dia ternyata enggak tahu kalau reporternya nongkrong di DPR sampai dini hari. Tetapi, Mas Damar akhirnya minta agar liputan sampai siang saja, terus pulang.

Hari itu, rakor memang sampai siang, tetapi sorenya ada buka bersama di Bank Indonesia. Dijanjikan ada Gubernur BI beserta semua deputinya, lengkap. Wiiiih. Akhirnya saya dan teman-teman lain yang malam sebelumnya di bedagang di DPR, tergoda juga untuk ikutan, hahaha.

Kembali ke Tax Amnesty. Kami memang antusias mengejar soal itu itu, terutama karena di awal pelaksanaannya, masih banyak aturan teknis yang belum disiapkan. Saban hari, pasti ada saja berita soal tax amnesty yang ditulis. Dari penerbitan aturan turunan undang-undangnya, komentar para stakeholders, statistik realisasi harta yang dideklarasi, sampai masa sosialisasi yang sampai dihadiri Presiden langsung. Yang terakhir itu, bukan apa-apa, tapi kami males ribet saat ke lokasi acara, biasanya di Jiexpo Kemayoran, dijaga ketat oleh Paspampres. Pada akhirnya, kami sampai bosan dan mual dengan berita itu.

Eh, ada hal menarik yang muncul di awal program itu, yakni logo dan jingle-nya. Logo merpati emas itu sempat bikin kami terkagum saat pertama kali melihatnya. Demikian juga waktu mendengar pertama kali jingle Amnesti Pajak, apalagi waktu melihat pencipta sekaligus penyanyinya live show. Percaya tidak, ada jingle amnesti pajak itu di ponsel saya! Saya tahu, saya memang norak, hahaha.

Dan, berbagai keseruan itu justru terjadi saat penutupan tiap periodenya. Tax amnesty kan terbagi dalam tiga periode, dengan masing-masing pelaksanaan tiga bulan. Apabila dimulai pada 1 Juni 2016 (yang sebetulnya, benar-benar dimulai pekan setelah libur Lebaran), berarti penutupan tiap periode itu terjadi pada 30 September 2016, 31 Desember 2016, dan 31 Maret 2017.

Pada Jumat, 30 September 2017 atau penutupan periode pertama tax amnesty, yang juga menerapkan tarif tebusan terendah, keributan dimulai sejak pagi. Ada agenda penyerahan Surat Pernyataan Harta (SPH) sebagai tanda ikut tax amnesty kepada bos Indofood Franky Welirang di kantor pelayanan pajak besar atau LTO Sudirman pukul 09.00, sedangkan sejam selang berikutnya ada penyerahan SPH kepada ustaz Yusuf Mansyur di kantor pusat Ditjen Pajak Gatot Subroto. Kejutannya, saat menjejakkan kaki di kantor LTO, saya dikabari kedua agenda itu digabung jadi satu di kantor pusat Ditjen Pajak. Beruntung, ada SCBD yang mempermudah akses ke Gatot Subroto. Dan beryukur, ternyata di kantor Ditjen Pajak itu sudah ramai teman-teman seperjuangan. Oh iya, di situ juga, saya takjub karena bertemu wartawan infotainment yang programnya beken banget di RCTI itu, hahaha.

Tak berhenti di situ, pada pukul 13.00, ada agenda pengumuman tarif cukai rokok yang baru, di kantor Ditjen Bea dan Cukai Rawamangun. Bayangkan, urusan SPH itu rampung hampir pukul 12.00, dan saya harus terbang dari Gatot Subroto menuju Rawamangun. Plus, saat itu Jakarta diguyur hujan. Acara itu menjadi penting, karena selain isu kenaikan tarif cukai yang katanya sampai bikin harga rokok Rp 50 ribu, ada Bu Menkeu juga. Singkat cerita, saya berhasil mendarat di Rawamangun, meski telat. Saya juga diberi Pak Heru petuah penting: jangan cari pasangan yang merokok. "Apek," kata Pak Heru. Padahal sebelumnya, dia juga mengakui kalau bekas perokok.

Usai acara itu, saya hanya pasrah masuk ke bus rombongan menuju kantor Kemenkeu di Jalan Wahidin. Saya tak lupa kalau malam harinya masih ada beberapa agenda: kunjungan Menkeu dan konferensi pers realisasi penerimaan tax amnesty pukul 20.30.

Sekitar pukul 18.30, saya beserta beberapa wartawan lain menumpang mobil Mas Reza (humas Kemenkeu) menuju kantor Ditjen Pajak. Dan saat masih tersendat-sendat di jalan raya, ada kabar Presiden mau memantau tax amnesty dengan berkunjung langsung ke Ditjen Pajak. Tuhan, cobaan apa lagi ini...

Betul saja, saat sampai di Ditjen Pajak, suasana sangat ramai. ribuan orang berkumpul di gedung itu, mulai dari peserta tax amnesty, pegawai pajak, Paspampres, dan tentu saja kami yang sudah sangat dekil. Sekitar pukul 20.00, Presiden datang dan meninggalkan beberapa pekerjaan untuk kami di beberapa jam berikutnya (nulis berita).

Pada 31 Desember 2016, saya bahagia. Penutupan periode kedua tax amnesty, sekaligus penutupan penerimaan pajak 2016, jatuh pada hari Sabtu. Saya libur, tetapi sebagian kawan harus meniup terompet di kantor pajak. Saya tahu, malam itu sangat berat untuk mereka.

Jumat, 31 Maret 2017, saya harus kembali pada realita menyaksikan penutupan tax amnesty. Hari itu, diawali dengan menggantikan tugas Ria yang cuti dengan meliput di DPR. Agak nggak iklas, karena doski cuti buat nonton Coldplay. Tapi yasudahlah, saya ke DPR untuk meliput acara pukul 08.30. Baru kemudian sorenya baru ke ke kantor pajak besar atau LTO. Pukul 10.02, ada kabar Ditjen Pajak mau bikin konferensi pers pada pukul 10.10. Ini serius! Saya sampai bengong melihat agendanya. Tapi, abaikan saja. Enggak akan keburu.

Saya masih harus siaga di DPR sampai siang, doorstop pimpinan yang keluar-masuk buat salat Jumat, dan karena kabar aksi 313 juga mengarah ke DPR. Setelah memastikan aman, saya baru bisa bergeser ke kantor pajak.

Dari DPR, saya memilih memakai jasa ojek untuk ke kantor pajak di Gatot Subroto. Namun, baru lima menit berkendara, langit Jakarta mendadak gerimis. Sehingga, saya memutuskan ganti angkutan dengan Transjakarta saat sampai di halte JCC. Uh, sialnya, setelah menaiki puluhan tangga dan sampai di halte JCC, hujannya berhenti. Kemudian, dikabari Mbak Dinda, kalau bus siap berangkat dari kantor pajak, sehingga disarankan langsung ke LTO.

Turun dari halte Gelora Bung Karno, saya bertemu wartawan Detik, Mas Danang, yang lagi minum es di pinggir jalan. Dan saat itu, baru ada kami di LTO, di antara ratusan manusia yang sibuk mengurus tax amnesty atau SPH tahunan. Oh iya, kami harus menunggu rombongan wartawan dari pajak, hampir satu jam. Lama banget, padahal mereka cukup menembus jalan di SCBD.

Agenda hari itu adalah peresmian gedung LTO oleh Bu Menkeu, yang dijadwalkan pukul 15.30 harus ngaret menjadi 19.00. Tak ada doorstop, dan kami diarahkan langsung ke kantor pajak untuk peluncuran plarform Kartu Indonesia Satu (Kartin1). Usai peluncuran itu, langsung ada konferensi pers, termasuk soal update realisasi tax amnesty.

Sekitar pukul 21.00, kami baru bisa benar-benar bernapas dan duduk manis buat bikin berita. Padahal radio saya tutup tutup lapak pukul 20.00, dan tak ada program berita pagi untuk esok harinya. Semua langsung sibuk karena diburu waktu. Wartawan online dan cetak sama-sama diburu deadline. Adapun di luar ruangan, keriuhan semakin menjadi, karena waktu tax amnesty tersisa tiga jam. Antrean masih panjang, nomor antrean terus disebar, dan banyak peserta maupun kuasanya sibuk mengisi formulir untuk tax amnesty.

Pukul 23.00, suasana kantor pajak benar-benar hectic. Nomor antrean sudah mencapai 1.800an. Oh iya, saat itu, Ditjen Pajak sudah menetapkan status kahar sekitar sejam sebelumnya. Sehingga, peserta yang mengambil antrean sampai pukul 24.00 akan tetap dilayani, dan dianggap ikut tax amnesty. Dan saat itu, setiap lima menit sekali, ada seruan dari petugas pajak, agar peserta segera mengambil nomor antrean dan membayar tebusan. Pasalnya, apabila pengambilan nomor dan pembayaran tebusan (beserta tunggakan dan bukti permulaan) melewati pukul 24.00 atau sudah masuk 1 April 2017, peserta tak ada dilayani. Beberapa Pak Satpam juga berkeliling, menghampiri peserta yang masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Hingga, akhirnya, pukul 24.00 tepat, meja pengambilan nomor antrean ditutup.

Sekitar pukul 01.00, Sabtu 1 April 2017, Dirjen Pajak beserta Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak, dan juru bicaranya, menggelar konferensi pers realisasi penerimaan tax amnesty. Pak Ken yang awalnya pakai batik pun langsung mengenakan kaos hitam bertulis "Bayar Pajak Keren" di dada kanan. Sementara kami, sudah ngantuk dan sangat teler.

Setelah konferensi pers itu, sekitar pukul 02.00, beberapa wartawan, terutama yang online, memilih kembali duduk dan mengetik berita. Sementara saya dan beberapa lainnya memilih menyerah dan pulang.

Jangan lupa, pemberitaan tax amnesty tak akan seketika rampung saat hajatan itu selesai. Setelah itu, pasti ada saja hal-hal "pasca-tax amnesty" kan akan bermunculan, hehehe.

*Waw, saya tidak menyangka tulisannya bisa sepanjang ini. Padahal beberapa detail sengaja saya skip. Maafkan kalau terlalu panjang...


1 comment:

  1. selamat hari raya idul fitri, dian..

    mohon maaf lahir bathin

    *ngucapinnya di sini ajah. wa lagi gangguan.

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)