Saya yakin semua orang akrab dengan dengan kata pengampunan
pajak, atau amnesti pajak, atau tax amnesty.
Spanduknya ada di mana-mana, dari kantor pemerintah, terminal, stasiun,
sampai bandara. Dan kini, program itu akhirnya benar-benar rampung pekan lalu.
Bagi saya, program tax amnesty ini sangat berkesan.
Kebetulan, saya mengikuti program itu sejak masih berupa wacana, pembahasan di
Parlemen, sampai pelaksanaannya yang rampung Jumat pekan lalu. Dan
ngomong-ngomong soal durasi pelaksanaannya, menurut saya juga unik, sembilan
bulan seperti usia bayi di kandungan.
Saya pertama kali mengikuti isu tax amnesty sejak Januari
2016. Kala itu, tax amnesty baru berupa draf yang masih disempurnakan Menteri
Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro. Sebulan berikutnya, Presiden sudah
selesai mempelajari draf beleid tax amnesty dan menyerahkannya pada Dewan
Perwakilan Rakyat. Namun, pembahasannya harus menunggu masa reses berakhir.
Pada awal April 2016, akhirnya rancangan undang-undang tax
amnesty mulai dibahas. Cukup alot, karena memerlukan waktu tiga bulan untuk
mengesahkannya. Ada banyak drama yang terjadi sepanjang pembahasan untuk
melahirkan program itu. Tetapi saya hanya akan ceritakan di hari terakhir
pembahasannya saja ya.
Saat itu, Senin, 27 Juni 2016, yang juga bulan Ramadan. Sejak
pagi, Komisi XI sudah sangat ramai. Pekan ini seharusnya menjadi momen krusial
soal tax amnesty, karena menjadi pekan terakhir bulan Juni. Selain itu, pekan
sebelumnya pun, baik pemerintah maupun Parlemen sudah sama-sama optimistis UU
Tax Amnesty bakal disahkan pekan ini. Alasannya, pelaksanaan program itu harus dimulai pada
triwulan ketiga 2016, atau 1 Juli 2016. Jadilah, di pekan terakhir Juni 2016
itu, kami para pemburu berita ikut deg-degan menanti kabar tax amnesty.
Hari Senin itu terasa sangat-sangat panjang. Rapat
berlangsung sepanjang hari, dan sangat alot, hingga terpaksa diskors pukul
17.30 untuk berbuka puasa dan salat magrib. Meski pemerintah dan DPT hectic,
buat kami hari itu benar-benar sepi berita. Tentu saja alasannya karena selain
sidang yang masih tanpa hasil, para pejabat Kementerian Keuangan (terutama sang
menteri) sangat sulit di-doorstop.
Pukul 19.00, peserta rapat mulai duduk di kursi
masing-masing, sedangkan kami mulai kembali nongkrong di balkon Komisi XI. Kami
kembali menyimak rapat dengan semangat 45, karena perut sudah kembali kenyang.
Tetapiiii, kami masih kekhawatir rapat bakal berlangsung hingga dini hari! Kok
bisa? Tentu saja, karena sampai pukul 21.00, belum ada tanda-tanda rapat
berakhir. Bekal camilan mulai menipis, dan kami yang ada di balkon mulai mati
gaya. Konsentrasi saya sudah bukan pada bahasan rapat, melainkan mengamati
peserta rapat satu per satu, baik dari DPR maupun pemerintah. Siapa yang
terkantuk-kantuk, sibuk cemal-cemil, mencoret-coret kertas, main ponsel, sampai
belajar (melihat grafik-grafikan di tab). Ternyata banyak peserta rapat yang
juga mati gaya.
Pukul 23.00, kami benar-benar tidak tahan. Ngantuk dan lapar
lagi, maksudnya. Jadilah, kami semua pesan makanan untuk persiapan sahur.
Luar biasa kan? Hahahaha. Saya ingat ada beberapa kubu soal
pilihan makanan ini, dan saya memilih makan katsu-katsuan. Dan ternyata,
makanan itu tak bisa awet sampai waktu sahur, karena kami langsung melahapnya
saat pesanan tiba.
Syukurlah, pukul 02.30, rapat itu benar-benar berakhir. Dan
setengah jam sesudahnya, kami sudah kejar-kejaran lagi dengan Menteri Bambang.
Lumayan lah.
Saya ingat betul, UU yang akhirnya disepakati bernama UU
Amnesti Pajak itu, disahkan tepat saat ulang tahun ayah saya: 28 Juni 2016.
Tetapi, bukan saya yang meliput sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Amnesti
Pajak.
Awalnya, saya pikir bisa dapat agenda siang, karena sudah
terbebas dari sidang paripurna, sehingga bisa bangun siang. Agenda sidang
paripurna itu ditugaskan pada Ria, teman sekantor yang memang ngepos di DPR.
Ternyataaaa.. Saya salah besar. Hari itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla malah
berkunjung ke kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang justru
menjadi lokasi ngepos saya. Dan, waktu kunjungannya tidak main-main, pukul
08.00. Bahkan itu jauh lebih pagi dibanding sidang paripurna yang pukul 10.00.
Sebenarnya, saya tak begitu memperhatikan agenda Menko Darmin
hari itu. Saya hanya melempar agenda pada kantor, dan kembali tidur. Kejutannya
adalah, saya langsung ditelepon Mas Damar, koordinator reporter di kantor, agar
segera mendatangi kantor Kemenko. Karena kedasaran belum kumpul, saya cuma
meng-iya-kannya saja. Dan setelah telepon ditutup, saya menyesal. Harusnya kan
bisa nego dulu. Padahal saat itu sudah pukul 07.00 lebih.
Akhirnya, dengan kilat saya bersiap dan menuju ke Kemenko
Perekonomian. Tetapi, acara masih belum mulai, sehingga saya bisa menulis
berita hasil doorstop Menkeu dini hari tadi. Setelah berita terkirim, Mas Damar
mengirim Whatsapp, "Kamu semalem sampai jam berapa di DPR?" Hyaaaaa.
Dia ternyata enggak tahu kalau reporternya nongkrong di DPR sampai dini hari.
Tetapi, Mas Damar akhirnya minta agar liputan sampai siang saja, terus pulang.
Hari itu, rakor memang sampai siang, tetapi sorenya ada buka
bersama di Bank Indonesia. Dijanjikan ada Gubernur BI beserta semua deputinya,
lengkap. Wiiiih. Akhirnya saya dan teman-teman lain yang malam sebelumnya di
bedagang di DPR, tergoda juga untuk ikutan, hahaha.
Kembali ke Tax Amnesty. Kami memang antusias mengejar soal
itu itu, terutama karena di awal pelaksanaannya, masih banyak aturan teknis
yang belum disiapkan. Saban hari, pasti ada saja berita soal tax amnesty yang
ditulis. Dari penerbitan aturan turunan undang-undangnya, komentar para
stakeholders, statistik realisasi harta yang dideklarasi, sampai masa
sosialisasi yang sampai dihadiri Presiden langsung. Yang terakhir itu, bukan
apa-apa, tapi kami males ribet saat ke lokasi acara, biasanya di Jiexpo Kemayoran,
dijaga ketat oleh Paspampres. Pada akhirnya, kami sampai bosan dan mual dengan
berita itu.
Eh, ada hal menarik yang muncul di awal program itu, yakni
logo dan jingle-nya. Logo merpati emas itu sempat bikin kami terkagum saat
pertama kali melihatnya. Demikian juga waktu mendengar pertama kali jingle
Amnesti Pajak, apalagi waktu melihat pencipta sekaligus penyanyinya live show.
Percaya tidak, ada jingle amnesti pajak itu di ponsel saya! Saya tahu, saya
memang norak, hahaha.
Dan, berbagai keseruan itu justru terjadi saat penutupan tiap
periodenya. Tax amnesty kan terbagi dalam tiga periode, dengan masing-masing
pelaksanaan tiga bulan. Apabila dimulai pada 1 Juni 2016 (yang sebetulnya,
benar-benar dimulai pekan setelah libur Lebaran), berarti penutupan tiap
periode itu terjadi pada 30 September 2016, 31 Desember 2016, dan 31 Maret
2017.
Pada Jumat, 30 September 2017 atau penutupan periode pertama
tax amnesty, yang juga menerapkan tarif tebusan terendah, keributan dimulai
sejak pagi. Ada agenda penyerahan Surat Pernyataan Harta (SPH) sebagai tanda
ikut tax amnesty kepada bos Indofood Franky Welirang di kantor pelayanan pajak
besar atau LTO Sudirman pukul 09.00, sedangkan sejam selang berikutnya ada
penyerahan SPH kepada ustaz Yusuf Mansyur di kantor pusat Ditjen Pajak Gatot
Subroto. Kejutannya, saat menjejakkan kaki di kantor LTO, saya dikabari kedua
agenda itu digabung jadi satu di kantor pusat Ditjen Pajak. Beruntung, ada SCBD
yang mempermudah akses ke Gatot Subroto. Dan beryukur, ternyata di kantor Ditjen
Pajak itu sudah ramai teman-teman seperjuangan. Oh iya, di situ juga, saya
takjub karena bertemu wartawan infotainment yang programnya beken banget di
RCTI itu, hahaha.
Tak berhenti di situ, pada pukul 13.00, ada agenda pengumuman
tarif cukai rokok yang baru, di kantor Ditjen Bea dan Cukai Rawamangun.
Bayangkan, urusan SPH itu rampung hampir pukul 12.00, dan saya harus terbang
dari Gatot Subroto menuju Rawamangun. Plus, saat itu Jakarta diguyur hujan.
Acara itu menjadi penting, karena selain isu kenaikan tarif cukai yang katanya
sampai bikin harga rokok Rp 50 ribu, ada Bu Menkeu juga. Singkat cerita, saya
berhasil mendarat di Rawamangun, meski telat. Saya juga diberi Pak Heru petuah
penting: jangan cari pasangan yang merokok. "Apek," kata Pak Heru.
Padahal sebelumnya, dia juga mengakui kalau bekas perokok.
Usai acara itu, saya hanya pasrah masuk ke bus rombongan
menuju kantor Kemenkeu di Jalan Wahidin. Saya tak lupa kalau malam harinya
masih ada beberapa agenda: kunjungan Menkeu dan konferensi pers realisasi
penerimaan tax amnesty pukul 20.30.
Sekitar pukul 18.30, saya beserta beberapa wartawan lain
menumpang mobil Mas Reza (humas Kemenkeu) menuju kantor Ditjen Pajak. Dan saat
masih tersendat-sendat di jalan raya, ada kabar Presiden mau memantau tax amnesty
dengan berkunjung langsung ke Ditjen Pajak. Tuhan, cobaan apa lagi ini...
Betul saja, saat sampai di Ditjen Pajak, suasana sangat
ramai. ribuan orang berkumpul di gedung itu, mulai dari peserta tax amnesty,
pegawai pajak, Paspampres, dan tentu saja kami yang sudah sangat dekil. Sekitar
pukul 20.00, Presiden datang dan meninggalkan beberapa pekerjaan untuk kami di
beberapa jam berikutnya (nulis berita).
Pada 31 Desember 2016, saya bahagia. Penutupan periode kedua
tax amnesty, sekaligus penutupan penerimaan pajak 2016, jatuh pada hari Sabtu.
Saya libur, tetapi sebagian kawan harus meniup terompet di kantor pajak. Saya
tahu, malam itu sangat berat untuk mereka.
Jumat, 31 Maret 2017, saya harus kembali pada realita
menyaksikan penutupan tax amnesty. Hari itu, diawali dengan menggantikan tugas
Ria yang cuti dengan meliput di DPR. Agak nggak iklas, karena doski cuti buat
nonton Coldplay. Tapi yasudahlah, saya ke DPR untuk meliput acara pukul 08.30.
Baru kemudian sorenya baru ke ke kantor pajak besar atau LTO. Pukul 10.02, ada
kabar Ditjen Pajak mau bikin konferensi pers pada pukul 10.10. Ini serius! Saya
sampai bengong melihat agendanya. Tapi, abaikan saja. Enggak akan keburu.
Saya masih harus siaga di DPR sampai siang, doorstop pimpinan
yang keluar-masuk buat salat Jumat, dan karena kabar aksi 313 juga mengarah ke
DPR. Setelah memastikan aman, saya baru bisa bergeser ke kantor pajak.
Dari DPR, saya memilih memakai jasa ojek untuk ke kantor
pajak di Gatot Subroto. Namun, baru lima menit berkendara, langit Jakarta
mendadak gerimis. Sehingga, saya memutuskan ganti angkutan dengan Transjakarta
saat sampai di halte JCC. Uh, sialnya, setelah menaiki puluhan tangga dan
sampai di halte JCC, hujannya berhenti. Kemudian, dikabari Mbak Dinda, kalau
bus siap berangkat dari kantor pajak, sehingga disarankan langsung ke LTO.
Turun dari halte Gelora Bung Karno, saya bertemu wartawan
Detik, Mas Danang, yang lagi minum es di pinggir jalan. Dan saat itu, baru ada
kami di LTO, di antara ratusan manusia yang sibuk mengurus tax amnesty atau SPH
tahunan. Oh iya, kami harus menunggu rombongan wartawan dari pajak, hampir satu
jam. Lama banget, padahal mereka cukup menembus jalan di SCBD.
Agenda hari itu adalah peresmian gedung LTO oleh Bu Menkeu,
yang dijadwalkan pukul 15.30 harus ngaret menjadi 19.00. Tak ada doorstop, dan
kami diarahkan langsung ke kantor pajak untuk peluncuran plarform Kartu
Indonesia Satu (Kartin1). Usai peluncuran itu, langsung ada konferensi pers,
termasuk soal update realisasi tax amnesty.
Sekitar pukul 21.00, kami baru bisa benar-benar bernapas dan
duduk manis buat bikin berita. Padahal radio saya tutup tutup lapak pukul
20.00, dan tak ada program berita pagi untuk esok harinya. Semua langsung sibuk
karena diburu waktu. Wartawan online dan cetak sama-sama diburu deadline.
Adapun di luar ruangan, keriuhan semakin menjadi, karena waktu tax amnesty
tersisa tiga jam. Antrean masih panjang, nomor antrean terus disebar, dan
banyak peserta maupun kuasanya sibuk mengisi formulir untuk tax amnesty.
Pukul 23.00, suasana kantor pajak benar-benar hectic. Nomor
antrean sudah mencapai 1.800an. Oh iya, saat itu, Ditjen Pajak sudah menetapkan
status kahar sekitar sejam sebelumnya. Sehingga, peserta yang mengambil antrean
sampai pukul 24.00 akan tetap dilayani, dan dianggap ikut tax amnesty. Dan saat
itu, setiap lima menit sekali, ada seruan dari petugas pajak, agar peserta
segera mengambil nomor antrean dan membayar tebusan. Pasalnya, apabila
pengambilan nomor dan pembayaran tebusan (beserta tunggakan dan bukti
permulaan) melewati pukul 24.00 atau sudah masuk 1 April 2017, peserta tak ada
dilayani. Beberapa Pak Satpam juga berkeliling, menghampiri peserta yang masih
sibuk dengan kertas-kertasnya. Hingga, akhirnya, pukul 24.00 tepat, meja
pengambilan nomor antrean ditutup.
Sekitar pukul 01.00, Sabtu 1 April 2017, Dirjen Pajak beserta
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak, dan juru bicaranya, menggelar
konferensi pers realisasi penerimaan tax amnesty. Pak Ken yang awalnya pakai
batik pun langsung mengenakan kaos hitam bertulis "Bayar Pajak Keren"
di dada kanan. Sementara kami, sudah ngantuk dan sangat teler.
Setelah konferensi pers itu, sekitar pukul 02.00, beberapa
wartawan, terutama yang online, memilih kembali duduk dan mengetik berita.
Sementara saya dan beberapa lainnya memilih menyerah dan pulang.
Jangan lupa, pemberitaan tax amnesty tak akan seketika
rampung saat hajatan itu selesai. Setelah itu, pasti ada saja hal-hal
"pasca-tax amnesty" kan akan bermunculan, hehehe.
*Waw, saya tidak menyangka tulisannya bisa sepanjang ini.
Padahal beberapa detail sengaja saya skip. Maafkan kalau terlalu panjang...
selamat hari raya idul fitri, dian..
ReplyDeletemohon maaf lahir bathin
*ngucapinnya di sini ajah. wa lagi gangguan.