Tuesday 26 June 2012

(Jangan) Lihat Buku (Hanya) dari Sampul

“Jangan lihat buku hanya dari sampul”. Pesatah ini pasti pernah, atau sangat sering teman-teman dengar. Tidak hanya dalam arti sebenaranya, “buku” sebagai obyek. Lebih dari itu, pepatah ini juga berpesan bagaimana kita menilai orang lain yang terdiri penampilan dan hati. Tapi, benar tidak ya, kita harus menghilangkan kesan penampilan, atau sampul dalam buku itu?

Kenapa buku dijadikan perumpamaan, atau bahkan parameter dalam penilaian? Padahal, ketika kita, termasuk saya, jika ingin membaca atau membeli buku, sampul selalu yang pertama diperhatikan. Iya, bisa jadi karena buku yang ingin kita beli masih tersegel plastik pembungkus, memaksa kita hanya melihat sampul. Bukankah ini tetap berarti kita hanya melihat sampul?
foto: google.com
Akhir April lalu, saya bersama adik, datang ke Jogjakarta untuk menghadiri sebuah seminar tentang menulis. Sebenarnya, saya menemaninya ikut seminar ini sebatas kado ulang tahunnya. Tapi, tetap ada hikmah dan pelajaran yang saya dapat dari acara itu.

Dwi Helly Purnomo, salah satu pemateri seminar, memberi saya inspirasi untuk menulis buku (blog ini salah satu langkahnya, hehe). Tapi, buku bagus saja tidak cukup, jika tidak dibeli dan dibaca orang. Membuat orang tertarik membaca atau membeli saja, sulit sekali rasanya. Sampul yang menarik, menjadi cara terefektif meluluhkan hati orang untuk menyentuk buku kita.
foto: google.com
Pepatah yang menyebutkan; jangan lihat buku hanya dari sampul, sangat jelas ditolak Pak Dwi. Terang saja, ia telah berpengalaman “menjual” buku sebagai editor Gramedia Pustaka Utama selama 15 tahun, sebelum akhirnya berhenti. Hasilnya, pepatah itu tidak berlaku bagi “buku” yang menjadi kunci pepatah. Betapa sampul sebuah buku, menentukan nasib suku itu sendiri, apakah memikat dan dibeli orang, atau menumpuk-berdebu di rak hingga ditarik penerbit kembali.

Ah, saya pun menyadari, jika apa yang dikatakan Pak Dwi memang benar adanya. Tidak berhasil menemukan buku yang bebas dari segel, memaksa kita puas hanya membaca sinopsis atau testimoni buku. Untuk membelinya, kita harus lama mempertimbangkan, apakah nantinya menyesal atau tidak, telah membeli buku bersegel itu.

Memang pepatah itu menyantumkan kata “hanya”, yang berarti kita harus mempertimbangkan aspek lain dalam menilai. Dalam kasus buku, bisa jadi aspek lain itu penulis, jenis, atau materi yang diangkat. Atau dalam posisi menilai seseorang, kita juga harus mempertimbangkan “hati”nya. Meski begitu, jangan lupakan juga peran penting kemasan yang membungkusnya. Bukankah sampul yang menarik, secara tidak langsung memberi kesan baik pula pada isinya.

Ini hanya pendapat pribadi saya. Jika teman-teman pembaca masih tetap “setia” dengan pepatah “jangan lihat buku hanya dari sampul”, saya tidak memaksa. Atau lebih baik lagi, jika dibagi saja pengalaman dari teman-teman sekalian tentang “sampul”. Saya selalu tertarik dan suka dengan perbedaan. Bagaimana?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)