Perjalanan kami buat sesantai mungkin, karena kami bertiga perempuan semua. Sebuah SPBU kami gunakan lokasi istirahat, mengingat gerimis yang turun sejak di daerah Gunung Pati. Ternyata di balik tembok pembatas SPBU, terhampar sawah luas dengan latar belakang Gunung Ungaran. Cantik sekali.
Perjalanan kami lanjutkan dengan adegan Dhea yang “lupa ingatan” jalan menuju Gunung Ungaran. Terang saja, dia menjadi penunjuk jalan, karena dia yang paling sering mengunjungi Gunung Ungaran jika terserang virus “galau”. Tapi itu tidak lama, hingga kami kembali melanjutkan perjalanan
Dua jam perjalanan telah kami lewati dengan lancar. Jalanan berbatu, serta hamparan luas kebun teh dan kopi telah menjadi pemandangan kami. Ini menandakan, lokasi tujuan sudah semakin dekat. Meski badan pegal-pegal, kami tetap bersemangat menyapa dua petugas pos penjagaan kawasan Perkebunan Teh Medini, pada kaki gunung tempat kami berencana kemping.
Rewelnya motor Dhea pada jalanan menanjak dan berbatu, menjadi situasi yang cukup mengkhawatirkan. Aksi dorong motor sempat kami lakukan. Syukurlah, ada warga yang menolong menghidupkan motor, hingga sampai pada rumah Pak Min, yang juga digunakan sebagai bascamp pendakian.
Perjuangan memasak hidangan malam sangat besar. Lihatlah dari muka berantakan kami. |
Berhubung hari yang mulai gelap, kami putuskan merubah rencana lokasi kemping. Dari yang sebelumnya di kawasan Promasan, desa terakhir menuju puncak Gunung Ungaran, menjadi kawasan Medini saja. Di Medini, masih terdapat beberapa rumah warga, warung, dan sebuah surau kecil.
Tenda oranye, hasil pinjaman dari seorang kawan bernama Erwin, segera kami dirikan. Hamparan kebun teh dan kota Semarang yang berada nan jauh di sana, menjadi pemandangan kami. Dengan kompak, tenda kami dirikan, hingga hanya memakan waktu tiga puluh menit.
Tenda oranye, hasil pinjaman dari seorang kawan bernama Erwin, segera kami dirikan. Hamparan kebun teh dan kota Semarang yang berada nan jauh di sana, menjadi pemandangan kami. Dengan kompak, tenda kami dirikan, hingga hanya memakan waktu tiga puluh menit.
This is it. Menu makan malam adalah nasi, mi-sawi, dan tempe. Sederhana. |
Ketiga hidangan itu telah siap dan kami segera merapat masuk tenda, karena suhu khas pegunungan sudah membuat kami menggigil. Tirai tenda sengaja kami buka. Dari tirai itulah, kami bisa menyaksikan lampu kelap-kelip kota Semarang dari kejauhan. Suasana itulah yang menemani kami santap malam.
Selesai
makan malam, kami bernyanyi ala kadarnya dengan suara yang juga ala kadarnya. Hingga
capek menjerit-jerit, kami beralih ke
permainan ABCD, dan bagi yang kalah, harus menjawab setiap pertanyaan “gila” dari
dua pemenang dengan jujur. Dengan permainan konyol dan aksi curhat-curhatan,
kami menghabiskan malam. Tanpa disadari, Dhea mulai terlelap, meninggalkan saya
dan Vella yang masih ribut persoalan rumput di luar yang menggesek tenda. To be continued.. Kemping Ceria (Part 2)
tulisanmu koclak di.. apalagi soal Dhea yg lupa ingatan, woo pie to bocah kui.. rak nggenah tenan o hahaha :D
ReplyDeleteHeleh, Dhea tho, yang koclak. Serius, aku sempet panik, waktu kamu bilang kita salah jalan. Mana sepi banget.. Untung omonganmu yg salah, haha. Vella protes berat atas foto lho.. :D
Delete