Tuesday 4 September 2012

#3 Di Tempo, Aku Belajar... Jurnalisme Empati

Menjadi wartawan tidak selamanya kaku dan formal. Wartawan harus mengetahui momen di mana dia bersikap kaku dan sebaliknya. Ketika di lapangan, wartawan tidak hanya mengejar berita, tapi juga mempelajari apa yang dia temukan.

Tanggal 27 Juli, aku diminta melihat kondisi korban kebakaran di Jembatan Besi, Tambora. Menuju lokasi itu, ternyata lumayan sulit. Berangkat dari Kebayoran, aku memilih busway karena alasan kepraktisan. Namun, rute jalan yang membingungkan, akhirnya membuatku melanjutkan perjalanan menggunakan angkot dua kali.
Foto: Antara
Tambora dikenal sebagai pemukiman terpadat se-Asia Tenggara. Di sana, rumah-rumah petak berhimpitan dan membuat sinas matahari sulit menembus masuk. Alasan rumah berhimpitan itu juga yang membuat api, ketika kebakaran, sangat mudah merembet.

Setelah turun dari angkot, aku harus rajin bertanya dan berjalan sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi bekas kebakaran. Memasuki perkampungan itu, banyak gerobak bertenaga manusia mengangkut batako dan pasir. Ketika ada gerobak lewat, pejalan kaki atau motor harus rela merapat ke pinggir, karena sempitnya jalan.

Ternyata, korban kebakaran Tambora sudah mulai berbenah. Rumah yang kebanyakan rata dengan tanah, kini sudah mulai dibangun. Medianya bisa bermacam, dan yang paling sederhana adalah tiplek dan terpal. Bagi warga yang masih memiliki tabungan, akan kembali membangun rumahnya dengan pasir dan semen. Bata bekas rumah yang terbakar, dipungut kembali untuk membangun rumah.

Di perkampungan itu, aku bertemu dengan Bu Marsiti, wanita berusia 65 tahun yang turut menjadi korban kebakaran. Dia kehilangan rumah 5x4 meter beserta isinya. Bu Marsiti mulai bercerita, waktu kebakaran terjadi, dia selesai salat tarawih di masjid dan tengah beristirahat.

Rumah yang menjadi sumber kebakaran hanya berjarak sekitar 10 meter dari rumah Bu Marsiti. Ketika banyak orang berteriak dan berlarian, dia turut keluar rumah tanpa sempat menyelamatkan barang berharganya. “Saya berpikir, yang penting nyawa selamat,” katanya.

Ketika api berhasil dijinakkan, Bu Marsiti seperti kehilangan semuanya. Nggak ada yang berhasil diselamatkan dari rumah mungilnya. Yang tersisa hanya pakaian yang dia, putri, dan cucunya kenakan. Akhirnya, keluarga Bu Marsiti dan 295 keluarga lainnya, mengungsi di SD Jembatan Besi, tak jauh dari rumahnya.

Mendengar cerita itu, aku sempat kehilangan konsentrasi mencatat apa yang dikatakan Bu Marsiti. Pikiran kacau, membayangkan warga yang kehilangan rumah dan harus mengungsi berdesak-desakan. Ketika kembali tersadar, Bu Marsiti sudah menitikkan air mata.

Aku nggak bisa berbuat banyak untuk menghibur Bu Marsiti. Aku hanya bisa mengelus dan merangkul bahu berlapis daster tipis yang dikenakan Bu Marsiti, dari hasil sumbangan. Aku tidak menyangka, Bu Marsiti justru merangkul balik dan mencium pipiku. Aku semakin tidak berkonsentrasi. Aku tahu, kegetiran yang dialami Bu Marsiti, juga dialami oleh ratusan warga lainnya.

Aku salut, ketika Bu Marsiti bercerita tentang tetangganya, pemilik rumah sumber kebakaran. Dia tahu, keluarga itu kabur setelah rumahnya terbakar menggunakan sepeda motor. Dia juga tahu, keluarga itu tidak meneriakkan peringatan kebakaran kepada warga, sehingga banyak rumah yang menjadi korban. Tapi, dia sama sekali nggak menyalahkan keluarga itu. Dia justru berpikir, ini adalah cobaan dalam menjalani Ramadan.

Cerita yang sama kembali terulang ketika aku meliput korban kebakaran Karet Tengsin di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, pada 6 Agustus. Para korban di sini tidak lebih beruntung dibanding korban di Jembatan Besi, bahkan lebih buruk. Ketika pengungsi Jembatan Besi mendatangi sekolah, warga di sini hanya bisa mengistirahatkan badannya di kuburan.

Ketika sampai di lokasi, ternyata sedang ada kerumunan pengungsi dan tengah memilah pakaian sumbangan. Mereka terlihat sangat menikmatinya, bahkan sesekali ada teriakan girang ketika mendapat potongan pakaian yang menurut mereka “layak”. Ada pula seorang bocah yang tengah dimandikan ibunya di pompa air manual di tepi jalan pemakaman.

Aku tidak bisa berpikir jauh, dan memutuskan segera mencari narasumber untuk beritaku. Akhirnya, aku bertemu dengan Pak Ayat, sesepuh di perkampungan itu. Dia bercerita banyak tentang kondisi pengungsian, yang ternyata masih sangat kekurangan tenda. Jika malam tiba, para bapak harus mengalah tidur di luar tenda, dan kebanyakan tanpa selimut, meski hanya selembar sarung.

Pak Ayat menceritakan kondisi pengungsian yang jauh dari pikiranku sebelum datang ke sini. Setelah obrolan itu, aku berjalan melihat kondisi pengungsian secara langsung. Aku bertemu Bu Rohayati, ibu dari seorang bocah bernama Zain, yang masih berusia 18 bulan.

Bu Rohayati menceritakan kesulitannya tinggal di pengungsian itu. Dia harus mengurusi dua anak dan salahsatunya masih bayi dengan kondisi keterbatasan. Dia mengungkapkan kesedihannya ketika melihat sang bayi tidur dengan dikerubuti nyamuk di dalam tenda.

Meliput dua lokasi itu, memberikan banyak pelajaran buatku. Sebagai orang yang masih belajar sebagai wartawan, dalam kondisi itu, aku lebih banyak menunggu momen. Ketika terlibat dalam sebuah obrolan atau wawancara, kerap aku biarkan mereka diam. Biasanya narasumber akan mengatur sendiri emosinya, dan membuka diri dengan cerita lainnya.

Aku jadi berpikir, wartawan yang tengah bekerja dalam situasi ini, tidak seharusnya terlalu “kasar” dalam mengorek informasi dari narasumbernya. Mereka bukan obyek yang tidak memiliki rasa. Jangan terkesan mengeksploitasi penderitaan mereka demi tulisan atau berita yang bagus, yang konon jika sarat human interest.

Empati bisa memiliki arti merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sebagai orang yang memiliki perasaan, coba kita bayangkan berada dalam kondisi mereka. Kita bisa mengembalikan semangat dan senyum mereka kok.

Aku juga teringat, ketika selesai liputan dan berniat pulang ke redaksi, ada ibu tua di jalan yang menyapa.

“Mbak, bawa makanan buat kita?,” tanya ibu itu.
Aku hanya mampu tersenyum kecil dan menggeleng. “Maaf Bu, enggak.”

Dalam kondisi pikiran yang masih kacau, aku kembali ke kantor dengan tetap diam. Aku bersyukur, memiliki kesempatan mendatangi dan merasakan apa yang dialami para korban. Aku telah mendapat gambaran, bagaimana wartawan harus bersikap ketika terlibat dalam peliputan seperti ini.

4 comments:

  1. Aku juga pernah lupitan empati tiga kali, dan mereka seneng kita datang kesana, dan pastu ungun menitikan air mata Semangat Dian.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, setuju Ai... Ada banyak pelajaran yang bisa digali di sana, terlebih tentang kekuatan menghadapi cobaan :)

      Delete
  2. haha kalo soal nurani sih yaa tiap orang mah beda-beda.. ada juga yg emang kurang peka dan meliput sekedar meliput lalu hanya melihat dari sudut pandang profesi, bersyukur aja kalo bisa menikmati sesuatu yg lebih dian.. keep fight ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, aku cuma berusaha "membaca" kok Cut.. Makasih yak, Three Journ harus tetep semangat :)

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)