Monday 17 September 2012

#6 Di Tempo, Aku Belajar... Kebutuhan Menulis

Tempo bekerja dengan menulis. Media itu berbagi informasi melalui tulisan. Ketika aku di sana, berarti aku harus menulis berita. Menuliskan fakta dengan kemasan yang Tempo “mau”.

Selama sebulan, aku sama sekali tidak mengalami kebosanan akibat rutinitas magang. Pagi berangkat liputan, siang di lapangan, sore pulang kantor, dan malam waktunya pulang kos. Monoton? Tentu saja enggak. Justru sku dapat banyak hal baru ketika berada di lapangan dan kantor. Sangat berwarna. Dari isu yang diliput, sampai tulisan yang dilaporkan.

Tapi dalam penulisan, aku masih sering mengalami kebuntuan. Ketika pulang liputan dan redaktur meminta tulisan segera, beberapa kali aku malah nggak konsen. Tapi, di situ sensasinya; dikejar deadline. Aku sangat menikmati itu.

Magang menjadi seorang wartawan “beneran”, memaksaku untuk menulis. Dulu sekali, sebelum aku mengenai dunia itu, aku nggak suka menulis. Apapun itu. Ketika memasukkan kaki ke kolam jurnalistik, aku masih jelas berkata; Aku nggak suka nulis. Namun, sekarang aku sudah bisa berkata; Aku butuh nulis.

Tempo adalah benar-benar media informasi, sehingga setiap fakta menjadi harus segera disebar, baik melalui koran atau Tempo.co. Tempo bukan tugas kuliah yang ada waktu seminggu untuk mengerjakan. Di sini, semua harus serba cepat. Nggak lagi dalam waktu sehari, tapi jam, bahkan menit.

Dalam sehari, nggak cuma satu lokasi peliputan, tapi dua, atau tiga, bahkan lebih. Sama halnya dengan tulisan yang dihasilkan, bisa lebih dari jumlah lokasi peliputan yang didatangi. Aku suka jalan-jalan ke lokasi peliputan yang baru, yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Ini berarti, aku suka liputan, tapi kalau menulis berita, tunggu dulu...

Aku di sini sangat belajar mengatur mood atau suasana hati. Sekarang, aku masih perlu memotivasi diri untuk produktif menulis. Ketika mood menulis berita sedang tinggi ketika selesai peliputan, aku langsung duduk, di mana pun itu, untuk langsung menulis. Jika waktunya mepet, di sepanjang jalan menuju kantor, aku langsung membuat coretan di kertas, sesuai outline dan hasil liputan.

Berbeda ketika mood sedang kacau. Meski masih kerepotan, aku terus berusaha mengaturnya. Aku memaksanya berkonsentrasi dengan coretan yang ketika dalam kondisi ini, pasti terlihat huruf-huruf berlarian nggak jelas. “Jam terbang” berpengaruh juga lho. Dulu, awal aku magang, menulis sebuah berita bisa sampai satu jam. Tapi sekarang, aku sudah bisa menulis dalam hitungan menit (10 menit-lah) untuk berita pendek bertipe straight.

Aku berpikir, jika memilih profesi wartawan, berarti jangan mau dikendalikan mood. Sebaliknya, kita yang harus mengendalikannya. Menuruti mood yang buruk, berarti membuat pekerjaan dilakukan setengah hati dan hasilnya, pasti nggak kalah buruknya dari mood.

Dulu, aku nggak suka menulis. Sekarang, aku sudah menikmati dan merasa butuh menulis. Semoga ke depan, aku bisa berkata; “Aku suka menulis.”

1 comment:

  1. hai dian..

    anda beruntung mendapatkan liebster award... disila mampir di http://ryuazalez.blogspot.com/2012/09/still-liebster.html#comment-form
    untuk mengambil awardnya...

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)