Wednesday 13 February 2013

Lebih Dekat Mengenal Bosscha


Nama Bossca telah tersemat pada sebuah observatorium di kawasan Lembang sejak 1925 lalu. Observatorium yang berisi teropong pengamat bintang itu dikunjungi rubuan orang tiap tahunnya. Meski diprakarsai oleh Joan George Eradus Gijsbertus Voute, justru Bosscha yang diabadikan sebagai nama observatorium. Ternyata, penamaan itu sebagai bentuk penghormatan dan terima kasih karena Bosscha lah yang mendanai pembangunan observatorim.

Karl Albert Rudolf Bosscha merupakan seorang pengusaha perkebunan Hindia Belanda. Pada 1896, Bosscha mulai mendirikan Perkebunan Teh Malabar di Pangalengan, Bandung Selatan. Perkebunan dengan luas 1.300 hektar ini mampu menyerap banyak tenaga kerja yang berasal dari daerah sekitar.

Ketika Bosscha meninggal pada 26 November 1928, ia dimakamkan di area perkebunan itu. Ini sesuai dengan permintaan Bossca semasa hidup, karena kecintaannya pada perkebunan. Makam bosscha berbentuk lingkaran dengan atap berbentuk kubah. Bentuk topi yang sering digunakan Bosscha, menginspirasi kubah itu.
Makam Bosscha

Selama hidupnya, Bosscha dikenal sebagai sosok yang berhati baik. Setidaknya, itulah yang dikatakan Upir, 56 tahun, penjaga makam Bosscha. Ia yang juga pegawai perkebunan, menjaga dan membersihkan makam Bosscha bersama sang istri. Ia meneruskan pekerjaan almarhum ayahnya yang semasa hidupnya menjadi pegawai perkebunan dan penjaga makam Bossca.

Makam Bossca terletak di tengah perkebunan teh Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) VIII Malabar di Pangalengan, Bandung Selatan. Makam ini bisa ditempuh sekitar 15 menit dari pusat Kecamatan Pangalengan dan tiga jam dari pusat Kota Bandung.
Memasuki area pemakaman, terdapat sebuah prasasti yang bercerita jasa Bosscha. Tulisan pada prasasti menggambarkan Bossca sebagai sosok brilian dengan dedikasi, integrasi, dan berkepribadian kuat. Cukup berjalan sekitar 10 meter, pengunjung akan sampai pada bagian utama pemakaman, yang menjadi pusara Bosscha.

Tempat peristirahatan terakhir bagi Bossca itu dikelilingi pagar besi. Di dalam pagar itu, terdapat banyak pohon besar, yang menurut penuturan Upir, penjaga makam, telah berusia lima abad.
Pak Upir yang gagah.
Taman yang rapi.

Beranjak dari pemakaman, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menuju rumah Bossca. Rumah itu hanya berjarak dua kilometer dari makam, dan dapat ditempuh selama 10 menit berkendara.
Rumah Bosscha.

Beberapa bagian dari rumah kediaman Bosscha telah dibuka untuk umum dan difungsikan sebagai museum. Hampir seluruh isi rumah masih seperti aslinya, karena pemugaran hanya dilakukan seperlunya.

Arsitektur rumah masih kental nuansa Eropa. Di dalamnya, tersimpan foto-foto kuno dan miniatur gamelan yang dulu sering digunakan sebagai sarana hiburan bagi Bosscha. Rumah itu juga menyimpan piano buatan tahun 1937 yang dulu sering dimainkan Bossca.
Ruang tamu di rumah Bosscha.
Menurut Sholih, 46 tahun, penjaga rumah Bosscha, ada banyak pengunjung yang datang tiap tahunnya. Di sekitar rumah itu juga dibangun vila-vila kecil yang disewakan kepada masyarakat umum. Bahkan, pada masa Orde Baru, banyak jajaran menteri yang datang mengunjungi rumah ini untuk sekedar liburan dan bermalam.

Dari rumah Bossha, pengunjung dapat menyaksikan Gunung Nini (nenek) yang berada tepat di belakangnya. Di puncak gunung itu, terdapat bangunan kecil yang dulu digunakan Bossca memantau aktivitas perkebunan. Menurut Sholih, pemandangan Gunung Papandayan dapat terlihat dari Gunung Nini. Sehingga, pemantauan aktivitas gunung itu dapat dilakukan di Gunung Ninih.

Ketika capai berkeliling, pengunjung dapat sekedar duduk di sekitar rumah, menikmati hawa sejuk Pangalengan. Berdiri di deretan pohon pinus belakang rumah, ada kesan kesederhanaan Bossca yang dapat dirasakan. Bosscha yang notabene bukan asli Pribumi, ternyata bisa begitu cinta dengan Indonesia. Kita dapat belajar darinya, tentang arti kecintaan. Ketika Bosscha bisa begitu cinta Indonesia, kenapa kita tidak?

1 comment:

  1. ini pasti hasil ngegembel di bandung kemaren...

    issh, jgn pasang foto2nya deh. yang ada aku malah iri beart. hoho

    kapan2 ke main ke malang, dian. ke bromo bareng :)

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)