Wednesday 27 March 2013

Surat untuk Perempuan



Aku perempuan, dan aku bangga terlahir sebagai perempuan.

Kata ibuku, perempuan adalah makhluk Tuhan dengan sederet keistimewaan. Keistimewaan itu tercermin dari segi fisik, psikologis, atau reproduksi. Itulah sedikit bayangan tentang anugerah Tuhan untuk perempuan. Aku juga ingat, ibuku pernah melucu dan berkata: Perempuan bisa mengenakan baju apa saja. Perempuan bisa pakai celana, sementara laki-laki tidak mungkin dong pakai rok seperti perempuan. Iya, setidaknya itu tabu dilakukan di negeriku.

Di balik keistimewaan yang tersemat pada diri perempuan, banyak pihak belum menyadarinya. bahkan, mengabaikannya. Kita tahu, di dunia ini masih banyak praktik perdagangan perempuan dan perbudakan seks, mutilasi genital anak perempuan, pembunuhan janin berkelamin perempuan, pemerkosaan, serta pembunuhan atas nama “kehormatan keluarga.” Aku yakin kalian mengetahui kondisi itu menimpa kaum kita. Cobalah untuk tidak pura-pura tuli atas kasus itu. Berbagai pencideraan itu benar-benar ada, baik yang dinilai sebagai kriminalitas atau sebuah tradisi.

Aku bahkan sampai tidak mampu banyak berkomentar, ketika mengetahui kasus kekerasan pada perempuan murni kriminalitas seperti pemerkosaan. Konyolnya, banyak dari pelaku menyalahkan perempuan sebagai mengundang nafsu. Hal yang lebih mengerikan, ada tradisi pengecilan kaki perempuan di pedalaman Cina demi mendapat penampilan seksi sang anak perempuan dan pembakaran diri istri sebagai lambang kesetiaan pada suami yang meninggal (sati). Dan, satu hal lagi, betapa di banyak negara miskin di dunia, lebih memprioritaskan kesehatan anak laki-laki dibanding perempuan. Tak hanya itu, jika sebuah keluarga memiliki makanan yang terbatas sementara punya banyak anak, maka makanan itu akan diberikan pada anak laki-laki. Perlakuan semacam ini, meski bukan suatu tindak kriminalitas, mampu menekan angka kesehatan perempuan. Akibatnya, angka kematian bayi dan anak perempuan melesat jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Itu sangat mengerikan.

Apa kalian tahu, jika kekerasan pada perempuan telah terjadi sejak lama, bahkan tertulis pula pada mitologi Yunani. Dikisahkan, Poseidon, sang Dewa Laut (atau pada mitologi Romawi bernama Neptunus) melakukan kejahatan seksual berupa pemerkosaan terhadap Medusa di lantai kuil Athena. Dengan posisi terhormat yang dimiliki Poseidon, fakta seputar peristiwa itu terputarbalik. Hingga akhirnya, Medusa dikutuk menjadi monster oleh Athena sebagai hukuman, sebelum akhirnya dipenggal oleh Perseus.

Kala mengetahui cerita ini, aku menyimpulkan betapa pandangan orang terhadap perempuan bisa dibentuk oleh kaum laki-laki. Ini bisa berbahaya, karena tidak semua kasus menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah, dan sebaliknya. Singkatnya, posisi seseorang di masyarakat dan gender, tentu saja, bisa memiliki kekuatan luar biasa untuk menghimpun dukungan dari segi apapun, termasuk hukum.

Oh iya, di berbagai media atau mendengar cerita secara langsung, banyak orang melakukan kekerasan terhadap perempuan karena mematuhi perintah agama. Aku adalah orang yang beragama, dan aku kerap mendengar kasus ketidakadilan gender dengan mengatasnamakan agama yang aku anut. Aku yakin, kalian juga demikian. Tapi aku tidak percaya, bahwa agamaku, merupakan agama yang misogini (membenci perempuan).

Di koran yang memberitakan sebuah persidangan kasus kekerasan dalam rumah tangga, sang suami memberikan alasan melakukan pemukulan karena mengikuti perintah pada Quran untuk mendidik sang istri. Lihatlah, laki-laki itu mengatasnamakan agama. Andai aku berkesempatan bicara di pengadilan itu, aku akan berteriak, laki-laki seperti itu adalah orang yang bodoh dan terlalu cepat menafsirkan. Ini akan sangat berbaya. Aku ingat zaman mengaji sewaktu remaja, guruku (seorang laki-laki) jelas sekali mengatakan, bahwa sebelum melakukan pemukulan-ini juga teramat harus dihindari, mengajari perempuan atau istri dengan lisan itu sebuah kewajiban. Dari sikap guru mengajiku itu, aku sangat yakin, agama yang aku anut bukanlah misogini. Aku juga yakin, jika kekerasan fisik dalam bentuk apapun adalah salah, terlebih oleh laki-laki pada perempuan.

Kasus itu hanyalah satu contoh, dan masih banyak yang lainnya. Sadar jugakah, jika di lingkungan kalian ada suami yang melarang istrinya bekerja, karena berpikir istri yang salihah adalah perempuan yang berdiam di rumah? Aku yakin, laki-laki yang berpikir seperti itu, pasti tertidur dan tidak mendengarkan waktu guru agamanya bercerita bahwa Khadijah, istri Rasulullah adalah seorang pengusaha. Bersyukur, ibuku tidak berpikir kolot seperti itu. Atau, poligami atas nama agama (dan kasus di Indonesia, istri muda itu seorang gadis muda). Iya, Rasul memang poligami, tapi semua istrinya adalah janda dan lebih tua darinya, kecuali Aisyah. Lagi-lagi, penekanan terhadap perempuan itu mengatasnamakan agama. Aha, barusan aku membaca tweet seorang news anchor (dia laki-laki) yang berbunyi: Dear Poligami-ers, wanita (perempuan) dari rusuk pria, bukan rusuk-rusuk.

Bagaimana komentar kalian? Ehm, aku berjanji untuk bercerita banyak tentang ini di lain kesempatan.

Beragam kekerasan berbasis gender itu bisa sangat dekat bagi kaum kita pada kelas ekonomi rendah, bodoh, tanpa akses pelayanan publik, apalagi kalau dalam struktur sosial-demografi berasal dari kalangan minoritas.

Ini bukan masalah sepele. Bukan perkara mudah untuk menyelesaikan permasalahan itu. Kita tidak bisa mengandalkan satu atau sekelompok orang melakukannya. Gunakan diri kita (yang aku yakini sangat istimewa ini) sebagai penggerak diskriminasi berbasis gender ini. Bukalah mata, telinga, dan hati kalian, jika banyak di antara kaum kita (atau mungkin kalian sendiri) mengalami peristiwa yang merugikan mereka. Dukungan sekecil apa pun pada lingkungan yang mengalami diskriminasi itu, akan bermakna besar bagi mereka.

Aku hanya bisa sedikit mendorong kalian agar lebih mensyukuri takdir sebagai perempuan. Percayalah, ini anugerah dan bukan kutukan. Jika kebetulan kalian mengalami tindak kekerasan itu, cobalah untuk vokal, karena aku yakin, banyak di antara saudara sekaum kita yang peduli pada nasib sesamanya.

Salam,

Dian.

7 comments:

  1. Intinya, semua manusia, sederajat di mata tuhan YME. ^_^ Dan saya percaya itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suatu kehormatan mendapat komentar dari akun Profesi Online. Terima kasih, dan saya setuju dengan kesederajatan itu. Tapi jangan ge er dulu deh ya, pasti ini ada penyalahgunaan akun... :D

      Delete
    2. Wah, wah....kayaknya saya tahu nih siapa yang komentar di atas. #lirik2

      Delete
    3. Imam: hey, kamu kan kadiv online-nya, berarti kamu tersangka utama. Kalaupun enggak, paling si Yasir. :D

      Delete
  2. saya kok mencium bauh pemberontakan yah....ckckck

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pemberontokana siapa dan dari siapa, bang? Ah, itu perasaan abang saja. Ini cuma hasil pemikiran biasa, yang dipengaruhi buku :)

      Delete
    2. seorang perempuan tenttunya kepada kaum adam...mudah-mudahan hanya perasaan saya....buku sih penting untuk referensi...tapi buku hanya sarana...kita punya pemikiran sendiri...memandang peristiwa...

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)