![]() |
Narti tengah menggendong kubis. Dalam sekali gendong, beban di punggungnya bisa mencapai 70 kilogram. |
Bersama 50 orang kuli panggul
lain, yang kebanyakan perempuan, Narti, sapaan Asih Minarti, menjalani
pekerjaannya. Waktu masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari, ketika Narti,
sampai di pasar. Dengan bersenjatakan selendang usang, Narti siap menembus dinginnya
pasar demi mengais rupiah.
Narti bekerja selama tiga jam,
dari pukul 02.00 sampai 05.00 pagi. Sekali berjalan, Nanti mampu menganggukut
beban seberat 50 hingga 70 kilogram. Sekali mengangkut itu, jasanya dihargai Rp
2 ribu. Dalam sehari, ia mampu mengangkat barang hingga 15 kali, dan pulang
dengan upah Rp 30 ribu.
Pengguna jasa Narti, ternyata
sudah menjadi langganan sejak lama. Barang yang diangkut bisa bermacam, mulai
dari buah, sayuran, hingga beras. Barang itu Narti angkut ke sebuah truk dan
akan diantar ke Demak.
Narti mengisahkan, saat pertama
kali menginjakkan kaki di Semarang, dia hanya berbekal satu lembar pakaian.
Beruntung, waktu itu ada seorang ibu yang berniat membantunya dengan menawarkan
pekerjaan. “Dia bilang, ‘Nak dewekan, kerjo neng kene wae (kalau sendirin, keja di sini saja),”
kata Narti.
Kini, sudah 30 tahun Narti
bergelut dengan pekerjaan yang nenuntut kekuatan fisik itu. Ia mengaku tidak
memiliki keahlian apapun, sehingga hanya mampu bekerja sebagai kuli panggul.
“Pokoknya selama saya masih kuat nggendong barang, saya tetap bekerja,” ujarnya
dengan mantap. Terlebih, ia menambahkan, masih ada seorang anak yang belum
menikah. “Masih ada tanggungan satu (anak),” katanya.
Sejak suaminya meninggal 12
tahun silam, praktik tumpuan hidup berada di tangan Narti. Semua upah yang ia
hasilkan, bisa langsung habis ketika itu juga. “Semua habis untuk biaya hidup.
Cuma bisa untuk makan, nggak bisa nabung,” kata nenek dari tiga cucu ini.
Meski Narti bergelut menjadi
kuli panggul selama lebih dari setengah usianya, ia tidak berharap sang anak
mengikuti jejaknya. Baginya, pekerjaan berat ini yang menghidupi keluarganya,
namun tidak untuk diteruskan pada anak-anaknya. Ia tetap berharap anaknya
menetap dan hidup bahagia di kampung, di Kecamatan Banaran, Boyolali.
Seusai menjalani aktivitas kuli
panggul, ia tak bisa berlama-lama istirahat. Pukul 07.00 pagi, Narti harus
segera bergegas kembali ke pasar untuk menjaga sebuah kios sembako dan penyedia
jasa penggilingan. Aktivitas menjaga toko itu ia jalani sampai pukul 05.00
sore. Ia di tempatnya mengabdi selama 20 tahun itu, Narti diupah Rp 500 ribu
per bulan.
kadang kita bisa belajar tentang hal-hal luar biasa dari sesuatu yang sederhana, great :)
ReplyDeleteDhea dan Dinna: Sepertinya aku, atau mungkin kita, terlalu sempit dalam belajar ya. Ada banyak hal hebat di luar sana... :)
Deletedan ini sisi lain dari perempuan yang lembu. kuat dan pantang menyerah.
ReplyDeleteIya, Din. Pasti semakin bangga dong, ditakdirkan sebagai perempuan. Yoporak... :)
DeletePASAR JOHAR, keren si ibunya kita harus belajar banyak dari seseorang yang kadang tidak kita lihat
ReplyDeleteNanti kalau kamu ke Semarang lagi, aku ajak ketemuu Bu Narti. Jam 2 pagi lah, kita meluncur ke Johar, :D
Deleteibunya super bgt ini, patut dicontoh perjuangannya
ReplyDeletesubhanallahh...
ReplyDeletesalut deh buat ibu itu
Iya, di pasar, kita bisa nemu banyak sosok dengan cerita yg keren :)
Deletesalut sama orang yang bekerja keras seperti ibu ini.. banyak yang dluar sana orang sehat tetapi bermental pengemis.. saluuuuutt pokoknya!!!
ReplyDeleteIyes, bener banget, Ndah. Di usia yg udah nggak muda, Bu Narti tetep setia dengan pekerjaannya... Patut dicontoh nih,
Deleteemang jagonya nulis feature nih orang,bagus,pemilihan judulnya menarik :)
ReplyDeleteHahaha, ini masih belajar yo.. Sama-sama belajar, kita :D
Deleteya ampun, beratnya hampir 2x beratku :O
ReplyDelete