Wednesday 27 June 2012

Kemping Ceria (Part 2)

Posting sebelumnya: Kemping Ceria (Part 1)

Selasa (12/6), kami terbangun dari tidur gaya “pindang” di tenda sempit, hampir bersamaan. Dinginnya udara di Medini, tidak mampu menahan kami untuk bergegas beraktivitas. Iring-iringan truk yang mengangkut pemetik teh, telah banyak yang lewat di seberang tenda kami. Tak mau kalah, Dhea dan Vella bergerak menuju surau untuk mencuci peralatan makan tadi malam. Sementara saya, langsung berkutat dengan kompor dan parafin untuk merebus air.

Kemping Ceria (Part 1)


Digelarnya saringan nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) selalu memberi warna tersendiri. Bagi peserta ujian, perasaan gugup akan selalu menyertainya sepanjang mengerjakan soal. Untuk mahasiswa dari kampus yang digunakan lokasi ujian, tentu libur tiga hari, dari Senin hingga Rabu, menjadi momen istimewa. Terlebih, ada hari Sabtu dan Minggu yang juga menjadi pembuka liburan.

Mahasiswa “nganggur” ini rata-rata telah mempersiapkan rencana mengisi libur panjang. Ada yang berlibur ke suatu tempat, pulang kampung, hingga menggelar dana usaha (danus) pada lokasi digelarnya ujian. Termasuk pula saya dan kedua sahabat, Dhea dan Vella. Kami memanfaatkan liburan untuk kemping atau berkemah di Gunung Ungaran Semarang.

Senin (11/6), menjadi hari yang telah kami persiapkan untuk camping, sekitar sebulan sebelumnya. Pukul 13.00 WIB, menjadi jadwal pemberangkatan kami. Dengan mengendarai sepeda motor, kami mulai meluncur meninggalkan Tembalang, daerah tempat tinggal kami. Rute Gunung Pati, daerah kampus Unnes, kami tetapkan sebagai pilihan.

Ketika berhenti di sebuah SPBU, selain mengisi bensin, kami juga sempatkan untuk istirahat sejenak di mushola.

Tuesday 26 June 2012

Seberapa Profesional Kita?

foto: google.com
Dalam setiap aktivitas, sering diantaranya mengharuskan kita berhubungan dengan orang lain. Tentu saja, hal ini tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan selalu berkomunikasi. Setiap menjalin komunikasi, kita kerap menilai seberapa profesional seseorang ketika berhadapan dengan kita.

Lalu, bagaimana kita bersikap profesional ketika berhubungan, terlebih untuk urusan kerja, dengan orang lain? Apakah ketika teman kita sendiri yang menjadi ”klien”, kadar profesionalisme (hampir saja saya menulis “profesionalitas”, yang sebenarnya tidak ada dalam KBBI) akan berubah? Sebenarnya, profesionalisme seperti apa yang harus kita penuhi?

Suatu pagi, saya membaca tweet dari Kak Ummul, seorang kawan dari Makassar, yang berbunyi; ”Mari memuaskan klien, meski itu teman sendiri.” Kemudian saya sapa dan bertanya apa aktivitasnya saat itu. Ia menjawab, sedang ada hubungan kerja dan tengah mencoba untuk profesional.

UU Intelijen Negara, Cara Baru Bungkam Pers?

foto: google.com
Pers di Indonesia memiliki peranan penting bagi masyarakat. Selain fungsinya sebagai penyampai informasi dan sarana hiburan, pers juga berperan mengedukasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Melalui produk-produk jurnalistiknya, pers senantiasa berhubungan dengan publik, sebagai konsumennya.
    Perjalanan panjang menuju kebebasan, telah dirasakan oleh pers Indonesia. Latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan sejati, membuat pers di Indonesia mengerti benar bagaimana posisinya di tengah masyarakat. Mengemban fungsi sebagai penyampai informasi, pers dituntut untuk selalu terbuka dengan isu yang tengah berkembang, kemudian mempublikasikannya.

(Jangan) Lihat Buku (Hanya) dari Sampul

“Jangan lihat buku hanya dari sampul”. Pesatah ini pasti pernah, atau sangat sering teman-teman dengar. Tidak hanya dalam arti sebenaranya, “buku” sebagai obyek. Lebih dari itu, pepatah ini juga berpesan bagaimana kita menilai orang lain yang terdiri penampilan dan hati. Tapi, benar tidak ya, kita harus menghilangkan kesan penampilan, atau sampul dalam buku itu?

Kenapa buku dijadikan perumpamaan, atau bahkan parameter dalam penilaian? Padahal, ketika kita, termasuk saya, jika ingin membaca atau membeli buku, sampul selalu yang pertama diperhatikan. Iya, bisa jadi karena buku yang ingin kita beli masih tersegel plastik pembungkus, memaksa kita hanya melihat sampul. Bukankah ini tetap berarti kita hanya melihat sampul?
foto: google.com

Monday 25 June 2012

Mandiri itu... Harus!

foto: google.com

Memutuskan terjun dalam dunia jurnalistik, bukan sekedar keputusan “kecil” bagi saya. Sebelum sampai pada posisi sebagai mahasiswa komunikasi dan jurnalis kampus Manunggal, telah banyak hal yang saya pertimbangkan. Kemandirian, menjadi satu perhatian saya ketika hampir mengambil langkah ini. Profesi jurnalis, bagi saya mengutamakan keberanian dan kemandirian. 
       Di tahun kedua saya sebagai wartawan kampus, pentingnya kemandirian itu sangat terasa. Kapanpun harus siap liputan dan mengejar narasumber berita. Di sekitar kampus, maupun di luar kampus, siapapun yang berhubungan dengan berita, harus dikejar untuk dimintai keterangan. Jika ada teman liputan atau wawancara, beruntunglah kita. Paling tidak ada teman ngobrol sewaktu menunggu narasumber. Bagaimana jika sendirian? Disinilah kemandirian kita digunakan.

Friday 22 June 2012

Memberi dan Menerima


Saya pernah membaca sebuah kalimat dalam buku mengenai kiat menulis. Sebuah kalimat yang sangat “sakti” untuk membuat saya berhenti sejenak dalam membaca, dan memikirkannya. Dalam buku tersebut, kurang lebih tertulis seperti ini:

“Analogi untuk menulis adalah membaca, berbicara adalah mendengar, memberi adalah menerima, dst…”
foto: google.com

Jembatan Dua Perbedaan


Dalam segala hal, apapun itu pasti terdapat hal lain yang pertentangan. Setiap sisi memiliki pandangan yang menurut “kaum”nya benar. Dengan banyaknya pertentangan seperti, kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan satu diantaranya. Menanggapi hal ini, apa yang biasanya kita atau orang yang berada pada posisi ”baru tahu” itu lakukan ?

Banyak pendapat yang sering kita dengar di keseharian. “Ah, saya ambil jalan tengahnya saja”, “Lebih baik saya abstain/golput (golongan putih) saja”, “Kalau saya, cari alternatif pilihan sendiri saja”. Berbagai pendapat ini – lah yang sering muncul dalam sebuah diskusi atau bahkan sebuah “hajatan” bangsa, pemilu (pemilihan umum).

foto: kaskus.co.id
Analogi jembatan bisa jadi salah satu pemecah permasalahan tanpa menambah permasalahan baru.

Inilah, Dian...


 
Salam jumpa dan kenal semua… Saya Dian. Lahir ditengah latar belakang suku Jawa dan tumbuh pada masyarakat Jawa pula, karena memang orang tua saja juga asli Jawa, hehe. Dari SD sampai SMA, saya jalani di tanah kelahiran saya, tanpa banyak mengenal dunia luar.

Saya merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP),  Universitas Diponegoro (Undip) Semarang  angkatan 2010. Sekarang, saya sudah masuk semester empat. Memiliki ketertarikan pada dunia jurnalistik, dan menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi memberi kebanggaan tersendiri bagi saya.