Saturday 1 March 2014

Cerita Pejuang Ngadirejo #Wildan

Ada banyak anak usia sekolah dasar di Desa Ngadirejo. Di Dusun Pete saja, ada kisaran 30 anak usia 6-12 tahun. Merekalah yang kami dikumpulkan untuk belajar bersama setiap sore di posko Tim I KKN Undip. Salah satu di antara anak itu bernama Wildan

Wildan dan Ade
Wildan dikenal sebagai raja gengster di Dusun Pete dan sekolahya. Dia terkenal karena nakal dan kerap mengganggu temannya. Kalau bertanya apa saja bentuk kenakalan Wildan, maka aku akan menjawab: banyak!

Sebagai contoh kenalakan Wildan di sekolah adalah saat dia membawa gunting pemotong kuku berukuran besar, yang di dalamnya ada beberapa jenis pisau mini. Nah, pisau itu dia buka dan dia tempelkan ke leher teman-temannya di sekolah. Terang saja, teman-temannya panik dan ketakutan. Akhirnya, gunting kuku itu disita Frisma.

Wildan si sekolah. Dia suka difoto sambil menjulurkan lidah.
Kalau di rumah, kenalakannya tidak hanya menyasar anak-anak, tapi juga orang dewasa. Misalnya, ketika aku bersama ibu posko (Mbak Alfi), Ade, dan Frisma menunggu Bu Siti, ibu Wildan saat hendak melayat. Kala itu, sehari setelah hujan abu kiriman dari Gunung Kelud. Pepohonan di dusun yang tertutup abu itu dipukul Wildan menggunakan kayu, sehingga abu rontok ke bawah menimpa kami.

Bu Siti, ibunya Wildan sampai teriak-teriak berusaha menghentikan kenakalan anaknya. Tapi seperti biasanya, aksi nakal Wildan tidak mudah dihentikan, meski dengan teriakan ibunya.

Bagi Pejuang Ngadirejo, ada banyak kesan yang diberikan Wildan. Pasalnya, Wildan kerap bermain ke posko. Bagi pejuang perempuan, hal paling berkesan adalah saat Wildan bercerita tentang pohon mangga di depan posko (sialnya, sampai KKN berakhir, aku belum sempat memotret pohon mangga itu).

Wildan mengatakan, ada sosok yang menunggui pohon mangga. Sosok itu, yang katanya kuntilanak, kerap menampakkan diri kepada warga. Kata pejuang perempuan, cerita Wildan sangat menyakinkan.

Dua hari setelah cerita Wildan, sekitar pukul 02.00 ada suara ayam berkokok. Ade, Frisma, dan Ica langsung histeris. Aku yang melihat mereka ketakutan akhirnya malah dibikin tertawa, sampai lupa suasana sedang mencekam. Tapi gara-gara tertawa, aku jadi diomeli pejang perempuan karena dianggap merusak suasana.

Suara ayam berkokok oleh beberapa orang, dipercaya sebagai pertanda ada makluk yang baik (malaikat) sedang lewat. Namun, suara burung gagak dianggap sebaliknya, pertanda makhluk tidak baik sedang lewat (hantu dan sebagainya). Nah, karena para pejuang perempuan panik, mereka sampai terbalik mendefinisikan. Dianggapnya, suara ayam berkokok itu pertanda hantu lewat, hahaha.

Memang sih, kamar pejuang perempuan terletak paling depan. Hanya sekitar 1 meter dari jalan dusun. Sehingga, bila ada suara-suara, telinga pejuang perempuan langsung bisa menangkap. Bahkan kalau Frisma, langsung terbangun dan ketakutan sendiri.

Sebenarnya, mangga itu berada di tanah milik Akademi Militer. Cuma memang, di Dusun Pete, lahan itu ditanami berbagai tanaman semisal mangga dan singkong, yang hasilnya bisa dinikmati seluruh dusun. Pohon mangga jenis pakel itu berbuah banyak yang menggantung-gantung.

Aku sering mengutarakan niat memetik buah mangga itu, tapi selalu dicegah para pejuang perempuan. Mereka sampai teramat sangat parno pada pohon mangga itu. Pernah suatu ketika, kami menemukan buah mangga terjatuh dari pohon dan tergeletak di jalan. Aku sudah mau memungut, tapi semua pejuang perempuan melarangnya.

Beruntungnya, Mbah Kakung sering memungut buah mangga di depan rumah (karena katanya, jatuh pertanda buah matang). Saat bermain di dapur, aku sampai dikupaskan buah mangga oleh Mbak Alfi. Saat menawarkan buah mangga pada para pejuang, banyak yang tidak berani memakannya.

Terlepas dari pohon mangga, Desa Ngadirejo memang terkesan menyeramkan. Saat Ade dan Arif pulang dari membeli martabak di kecamatan, di tengah jalan Ade mengatakan melihat pocong di atap rumah warga. Beberapa hari kemudian saat siang hari, sosok putih di atap rumah tidak ada. Begitu pula saat pulang pengajian. Para pejuang perempuan mengatakan di pohon mangga depan rumah Rosyid ada sosok gulungan putih. Tapi saat esok hari diperiksa, ternyata sosok itu juga tidak ada.

Kembali ke Wildan. Menjelang kami pulang ke Semarang, Wildan jadi agak manis loh. H-1 pulang, saat di posko cuma ada segelintir orang, Wildan bermain sambil ngemong Alif (anak bapak posko). Wildan dan Alif melihat gambar kambing di layar laptop dan bermain mobil-mobilan. Wildan pun menurut saat dilarang bermain ke luar rumah, karena masih hujan abu. Saat diberi satu bar coklat pun, dia mau berbagi dengan Alif.

Pernah pula saat berlajar matematika, bocah kelas satu SD itu tekun mengerjakan tugasnya. Padahal dia tidak diberi iming-iming apa pun. Meski pada akhirnya dia menginginkan kertas origami saat tugasnya sudah terselesaikan, hahaha.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)