Monday 10 March 2014

Jika Aku Menjadi Perempuan Berburqa

Telegraph.co.uk
Pertengahan tahun 2013, Prancis melarang perempuan mengenakan pakaian yang menutup tubuh secara keseluruhan-termasuk wajah-atau burqa (penulisannya entah “burqa” atau “burka”, dua-duanya tidak ada di kamus bahasa Indonesia). Meski diiringi kecaman dari umat muslim di Prancis, kebijakan larangan berburqa itu tetap diterapkan pemerintah.

Pemerintah Prancis beralasan, larangan berburqa tidak berkaitan dengan norma dan tradisi negara itu, sehingga tetap bisa diterapkan. Selain itu, Prancis juga menyatakan hukum itu dibuat demi melindungi perempuan (yang sampai sekarang pun, aku masih tidak mengerti melindungi dalam hal apa). Mungkinkah melindungi dari ancaman diskriminasi berdasarkan agama? Tapi, bukankah melalui larangan berburqa itu sendiri, Prancis justru memberi kesan diskriminatif dan tidak pro-keberagaman?

Mengapa saat mengambil kebijakan, para perempuan berburqa tidak dilibatkan? Bagaimana bisa suatu negara tidak mendengarkan masukan dari pihak yang bakal bersinggungan langsung dengan aturan itu? Bahkan, mengenai hukuman mengenakan burqa, pemerintah Prancis mematok denda 300 euro.

Dalam pelaksanaannya, polisi Prancis bahkan merazia dan menangkap perempuan berburqa. Setidaknya, ada dua perempuan berburqa yang ditangkap dan terkena denda. Kini, aturan yang tercetus dari ide Presiden Nicolas Sarkozy itu sampai ke Mahkamah Eropa. Belum jelas pula kelanjutan kabar dari mahkamah.

Sejatinya, aku tak tahu banyak tentang kewajiban berburqa dalam Islam. Entah itu murni ajaran agama atau telah beralkulturasi dengan tradisi. Yang pasti, setahuku, setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai agama masing-masing, asal tidak mengganggu umat agama lain.

Sekarang, aku jadi berandai-andai, bagaimana jika aku terlahir di tengah masyarakat yang berpegang pada kultur “perempuan di atas lima tahun wajib berburqa”? Bagaimana pandanganku tentang burqa?

Bagi kalian yang bukan dari kultur serupa denganku, mungkin berpikir burqa akan mengukungku dari dunia luar. Minim akses pendidikan dan kesempatan “menikmati” dunia luar. Atau secara sederhana, aku harus menahan gerah saat mengenakan burqa yang membungkus badan dan hanya mampu mengintip dunia lewat sulaman jaring-jaring penutup mata.

Dari buku karangan Agustinus Wibowo, aku tahu bahwa perempuan berburqa tidak pernah menyesali posisi mereka yang terlahir dengan kultur wajib mengenakan burqa. Kami merasa nyaman dengan kondisi anonim itu. Kami juga merasa aman bila tidak bisa dikenali saat berada di keramaian. Lebih dari itu, kami pun tetap merasa bahagia bila harus bersembunyi di balik tembok saat kedatangan tamu laki-laki.

Perempuan berburqa justru merasa kasihan pada perempuan yang harus bekerja di luar rumah, lengkap dengan identitas yang melekat dalam diri masing-masing. Kami berpikir betapa kasihannya perempuan yang harus kerja keras di luar rumah dan berbaur dengan kaum laki-laki. Kami bahkan bertanya, apakah perempuan yang kehadirannya diketahui orang lain tidak mendapat perlindungan dari keluarganya-ayah, suami, atau saudara?

Memang, saat Taliban berkuasa, burqa menjadi pakaian wajib kaum perempuan. Tapi, kini, setelah Taliban runtuh, kami para perempuan masih tetap nyaman mengenakan burqa. Kami sama sekali tidak menganggap burqa sebagai aturan warisan dari Taliban.

Tolong, berhentilah berdebat tentang pakaian yang kami kenakan. Kami nyaman mengenakannya. Kita jalani saja, tradisi dan aturan yang memang kita anut. Toh, masing-masing dari kita memang nyaman melakukannya. 


No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)