Friday 14 March 2014

Jika Aku Menjadi Perempuan dalam Kontainer

Studlife.com
Aku ingin berbicara tentang pelacuran. Aku ingin berbicara tentang pelacuran dengan pemaksaan. Aku ingin berbicara tentang perempuan yang secara terpaksa terlibat dalam bisnis pelacuran, sebagai objek.

Aku sedang berandai-andai, berada dalam sebuah kotak kontainer yang akan menembus batas teritori negara. Aku akan diselundupkan ke sebuah daratan di seberang lautan. Di dalam kontainer ini, ada aku dan puluhan perempuan lain yang baru berusia belasan tahun. Kami dijejalkan dalam kotak gelap dan pengap, menuju sebuah daratan yang bahkan aku tidak pernah dengar namanya, selama berhari-hari.

Berbagai pertanyaan hinggap di kepala. Seperti apa negeri seberang itu, indahkah, damaikah, menyenangkankah? Kepada siapa aku akan bekerja? Seperti apa pekerjaan yang akan aku lakukan, sampai bisa membuatku kaya? Apakah memang di negeri seberang sana, aku bisa bahagia?

Sederet pertanyaan itu hanyalah upayaku menepis tembok ketakutan dalam diriku, yang semakin lama terasa semakin dekat dan siap menelanku bulat-bulat. Ada banyak cerita tentang negeri yang akan aku jejaki itu...

Kata seorang tetanggaku, yang kebetulan bekerja di kota, ada banyak pekerjaan di luar negeri sana. Jika aku mau bekerja di sana, beberapa tahun lagi aku bisa kembali ke desa dengan uang yang banyak. Aku akan mampu menghidupi keluargaku, hingga ayahku tidak perlu lagi mencangkul tanah tandus di ladang. Aku akan bisa menyekolahkan adik-adikku sampai tinggi.

Hingga suatu hari, dari hasil tabungan orang tua, aku membayar ongkos ke luar negeri kepada tetanggaku itu. Aku diangkut menuju kota, yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Aku dibawa ke sebuah rumah, yang di dalamnya ada banyak perempuan seusiaku, atau bahkan lebih muda dariku. Mereka memiliki mimpi yang sama denganku, mendapat pekerjaan bagus di luar negeri dan pulang saat sudah banyak uang. Aku melayang di atas imaji menyenangkan sebagai orang sukses dan kaya.

Tapi, di tempat itu, aku mendengar bisik-bisik tentang rencana orang-orang kota ini untuk menjualku sebagai pelacur di luar negeri. Iya, pelacur.

Kini, kami sudah berada di dalam kontainer, yang akan mengantarkan aku dan para gadis itu ke negeri nan jauh di sana.

Pikiran-pikiran buruk tentang dunia pelacuran langsung menyeruak di kepalaku.

Aku akan menjadi bagian dari  tiga juta perempuan dan anak perempuan di dunia ini yang menjadi budak seks. Menjadi alat pemuas lelaki yang frustasi akan nafsu seksualnya.

Sampai kapan aku menjadi pelacur? Sampai matikah? Mati karena pukulan mucikari atau terjangkit HIV/AIDS? Aku tidak rela mati di rumah pelacuran.

Bagaimana jika aku sampai punya anak? Anakku akan dijadikan jaminan oleh mucikari, hingga aku akan semakin berat untuk kabur meninggalkan rumah maksiat itu. Jika anakku sudah besar, dia juga akan bekerja di rumah pelacuran ini. Meneruskan pekerjaanku sebagai pelacur jika perempuan, dan menjadi pelayan jika laki-laki.

Semua ini karena aku bodoh dan keluargaku miskin. Aku tidak tahu apa-apa, tidak memiliki keterampilan sama sekali, dan tidak bisa bekerja. Bisa-bisanya aku tergoda rayuan si tetangga yang justru menjerumuskanku dalam bisnis kotor ini. Andai aku punya pilihan selain menjadi pelacur.

Aku sudah sampai di dermaga. Terbebas sudah dari kungkungan kontainer pengap yang membawaku melintasi batas negara. Menghirup udara pantai yang segar, sambil bersiap menjalani pekerjaan berat di daratan ini.


1 comment:

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)