Bagi sebagian orang, kehadiran tumbler telah dianggap sebagai
gaya hidup. Ada yang menggunakan tumbler karena ramah lingkungan, ada pula yang
mempertimbangkan kepraktisan dan nilai ekonomis. Alasannya memang bisa saja
beragam, tapi saya percaya, gaya hidup bertumbler adalah pilihan yang positif.
Saya menggunakan tumbler karena terbiasa. Maksudnya, terbiasa
ingin praktis dan hemat. Meski terbiasa membawa tumbler, toh saya beberapa kali
tidak bisa menghindari pembelian air minum kemasan botol. Apa mungkin itu efek
niatnya masih setengah-setengah ya?
Tapi memang, saya akui, godaan membeli air minum botolan
cukup besar. Misalnya, saat kita sudah menggendong ransel yang berat, rasanya
akan malas sekali menambah beban dengan membawa tumbler. Kadang pula, saat
tenggorokan sudah teramat kering tapi persediaan air di tumbler sudah habis. Atau
bisa juga, saat cuaca sedang panas-panasnya, muncul godaan masuk ke minimarket
dan melihat deretan minuman dingin di lemari pendingin. Beberapa kali saya
kebobolan membeli, yang berujung pada rasa eman-eman saat harus membuang kaleng
atau botolnya.
Rasanya sejak kecil, tumbler telah menjadi bagian dari hidup
saya. Mungkin sejak saya duduk di Taman Kanak-Kanak. Atau mungkin lebih awal
lagi, saat saya belajar di Taman Pendidikan Al-Quran di usia empat tahun. Yang
pasti, saat SD dan SMP, hubungan saya dan tumbler sempat renggang. Beruntung,
memasuki SMA dan kuliah, kebiasaan bertumbler tumbuh kembali.
Saya sudah beberapa kali ganti tumbler. Kita mulai saja dari
SMA. Saat demam Piala Dunia 2010, saya yang tidak mengerti apa-apa tentang
bola, tiba-tiba dibelikan tumbler edisi World Cup 2010 berwarna cokelat oleh
ibu saya. Saya yang tidak peduli dengan motifnya, memilih asal pakai saja.
Saya memakai tumbler itu dari SMA sampai kuliah. Bahkan saya
terlibat dalam kampanye bertumbler di kampus. Kebetulan, saat itu ada kakak
angkatan yang membuat kampanye bertumbler untuk mata kuliah Kampanye PR. Saya
pun dengan semangat mengajak teman-teman di kelas untuk membawa tumbler. Kalau
tidak salah, ada 20 orang yang saya ajak membawa tumbler ke kampus dan kemudian
tumblernya ditempeli stiker “Tumblerion”. Dari acara itu, saya kemudian didapuk
sebagai salah satu duta tumbler, dan tumbler saya ditempel stiker “Tublerdor”.
Stiker Tublerdor itu ternyata lebih awet ketimbang motif asli bergambar
binatang-binatang Afrika dan logo World Cup di tumbler saya.
Saya memakai tumbler itu sampai Juli 2013. Saya ingat betul, riwayat
tumbler itu bersama saya berakhir di kereta listrik commuter line karena hilang.
Saya sadar telah menghilangkan tumbler itu sekitar 6 jam kemudian.
Baiklah, malang memang tak bisa ditolak, bukan? Saya segera
move on dengan membeli pengganti tumbler cokelat itu, selang sehari kemudian.
Di sebuah supermarket, saya mengincar tumbler Lock and Lock yang berbotol
bening dan bertutup biru. Sayangnya, saya harus memperhatikan kondisi keuangan
(maksudnya, pelit), jadi saya pilih model dan harganya oke dengan kantong.
Akhirnya pilihan jatuh pada tumbler berwarna biru.
Umur tumbler biru juga tidak terlalu lama. Bahkan, akhir
riwayat tumbler biru lumayan mengenaskan. Saat itu, sekitar pukul 19.00, saya
hendak menumpang TransJakarta dari Bundaran HI menuju Blok M. Saat itu, antrean
sangat panjang. Pokoknya hawanya sudah sangat tidak nyaman. Apalagi, tumbler
saya sudah kosong sejak sejam sebelumnya.
Saya masih belum berhasil masuk TransJ. Tapi, saya berhasil
antre di barisan paling depan, menghadap jalanan, sambil menanti datangnya bus
TransJ. Oiya, kalau kondisi ramai seperti saat mengantre atau di angkutan umum,
biasanya ransel akan saya gendong di depan, sementara kedua tangan terlipat di
perut (belakang ransel). Kebiasaan seperti itu muncul karena posisi demikian
bisa menghindarkan diri dari gesekan dengan penumpang lainnya.
Saya berdiri tepat di pintu shelter. Sebenarnya pintunya
otomatis, tapi entah rusak atau diset terbuka, jadilah pintu terbuka lebar.
Saya menyadarkan kepala di pintu yang terbuka. Di sebelah kiri saya ada
mbak-mbak kantoran sedang teleponan. Saya setengah melamun melihat ramainya
jalanan.
Tiba-tiba, mbak-mbak kantoran yang awalnya menempelkan
telepon di telinga kanan, memindahkan handphonenya ke telinga kiri. Karena postur
badannya lebih rendah dibanding saya, otomatis tangan kanannya sukses mendorong
tumbler biru jatuh ke jalanan. Sial, tumbler kosong itu sukses meluncur bebas
ke busway.
Saya kaget, dan seketika melongo tidak percaya. Saya kembali
tersadar saat si mbak-mbak kantoran itu berkata, “Haduh, maaf ya, Mbak, enggak
sengaja.” Saya langsung menelan ludah dan menyahut, “Iya, nggak papa.”
Kemudian, mbak-mbak kantoran itu kembali asik teleponan dan saya juga kembali
meratapi tumbler yang jatuh. Entah bagaimana nasib si tumbler setelah itu. Saya
agak ngeri membayangkan, si tumbler biru terlindas bus TransJ tipe Zhong Tong
yang segede gaban itu.
Hilangnya tumbler biru membuat saya kembali menyusuri lorong
tumbler di Carrefour Blok M malam itu juga. Kali ini pilihanku jatuh pada
tumbler berwarna hijau. Alasan ekonomis dan model lumayan tetap menjadi pegangan.
Tapi saya berjanji, saat kembali ke Semarang, saya akan membeli Lock and Lock.
Tumbler hijau bertahan sampai saya mengakhiri masa magang di
Jakarta. Tapi baru beberapa minggu di Semarang, riwayatnya juga tamat. Bukan
secara keseluruhan, sebenarnya, karena yang hilang hanya tutupnya.
Suatu sore, saya dan Hanum janjian wawancara dengan seorang mahasiswa
yang berwirausaha. Karena pembicaraan yang terlalu melebar, wawancara baru berakhir
sekitar pukul 18.30. Oiya, sesaat sebelum berpamitan, saya sempat meminum air
di tumbler dan menutupnya kurang rapat.
Saya dan Hanum mengebut, mengejar magrib yang hampir pergi.
Namun, sesampainya di kosan, saya kembali melongo, karena tumbler hijau itu
sudah tak bertutup. Ah, ya sudahlah...
Beberapa hari kemudian, bersama Vella, saya ke Carrefour
Srondol untuk kembali melihat-lihat tumbler. Aku berencana memilih Lock and
Lock. Tapi kemudian, Vella memeriksa label segitiga di bawah botol. Oh, damn,
angka 7!
Kata Vella (yang kemarin ada orang Tupperware bertandang ke
kosannya dan memberi ceramah kode segitiga), bahan plastik terbaik untuk
makanan adalah yang angka segitiganya 5. Ah, karena tidak ada yang sesuai
akhirnya saya batal membeli. Justru, Vella yang niat awalnya hanya mengantar,
malah membeli, haha.
Seminggu kemudian, ada tante datang berkunjung. Kami kembali
ke Carrefour Srondol dengan niat membeli guling. Saya yang masih belum memiliki
tumbler, kembali berjalan di lorong tumbler. Saat itu, saya menyadari, ternyata
Lock and Lock juga punya varian tumbler lain yang bentuknya mirip keinginan
saya. Bahkan, warnanya lebih beragam. Sayangnya, botol tumbler ini lebih keruh
dan ada lapisan plastiknya. Tapi karena label segitiganya bertanda 5, aku
akhirnya membeli yang bertutup hijau.
Sampai sekarang, tumbler bertutup hijau itu masih aman. Tapi,
saya terpaksa kembali menambah koleksi karena tumbler itu sempat ketinggalan di
rumah. Saat menyambangi Hypermart Jalan Pemuda, saya baru tahu ternyata seri
Lock and Lock ada beragam ukuran, mulai dari 350 ml, 500 ml, sampai 700 ml.
Tumbler tutup hijau saya berukuran 500 ml, jadi akhirnya saya memilih tumbler
tutup biru berukuran 700 ml.
Saya terbiasa membawa tumbler ke mana-mana. Termasuk saat
makan di tempat makan, saya sengaja tidak memesan minum karena ingin memanfaatkan
air dalam tumbler. Partner saya untuk berhemat dengan membawa tumbler adalah
Vella. Terkadang pula, saya meminta izin mengisi ulang tumbler saya saat
menemukan dispenser. Misalnya saat di kantor
PMI, kantor PT. KAI, dan apotek. Saat berkunjung ke rumah kerabat juga
saya selalu mengisi ulang tumbler. Apakah kebiasaan saya ini udik? Mungkin
saja, tapi saya begitu menikmatinya.
Sayangnya, dukungan terhadap gaya hidup bertumbler masih
kurang. Sekitar setahun yang lalu, ada petisi yang meminta perusahaan air minum
kemasan menyediakan mesin mengisi air isi ulang berbayar di tempat umum.
Konsepnya, para pemakai tumbler bisa membeli air yang langsung ditampung di
tumbler. Jadi, tidak perlu buang-buang botol, kan? Sayangnya, sampai sekarang
ide itu belum kesampaian.
Di luar negeri banyak keran air siap minum di tempat umum.
Sayangnya, di Indonesia masih sangat jarang. Satu-satunya tempat yang saya tahu
menyediakan keran air semacam itu hanyalah Kebun Binatang Ragunan (mungkin di
tempat lain ada juga, tapi saya tidak tahu).
Semoga kebiasaan bertumbler semakin tumbuh subur di
Indonesia. Selain untuk asalan lingkungan, menurut saya, pemakaian tumbler juga
bisa mengerek kadar keren seseorang sebesar sekian persen. Entahlah, hehehe.
Hubunganmu sama si tumbler kok romantis banget sih, Di? :v Aku jadi ngiriiiii~
ReplyDeleteDibilang romantis coba? Hahaha. Tapi emang ya, tumblernya ada yang datang dan ada yang pergi.. *makin ngelantur
Delete