Sunday 14 September 2014

Tumbler


Bagi sebagian orang, kehadiran tumbler telah dianggap sebagai gaya hidup. Ada yang menggunakan tumbler karena ramah lingkungan, ada pula yang mempertimbangkan kepraktisan dan nilai ekonomis. Alasannya memang bisa saja beragam, tapi saya percaya, gaya hidup bertumbler adalah pilihan yang positif.

Saya menggunakan tumbler karena terbiasa. Maksudnya, terbiasa ingin praktis dan hemat. Meski terbiasa membawa tumbler, toh saya beberapa kali tidak bisa menghindari pembelian air minum kemasan botol. Apa mungkin itu efek niatnya masih setengah-setengah ya?


Tapi memang, saya akui, godaan membeli air minum botolan cukup besar. Misalnya, saat kita sudah menggendong ransel yang berat, rasanya akan malas sekali menambah beban dengan membawa tumbler. Kadang pula, saat tenggorokan sudah teramat kering tapi persediaan air di tumbler sudah habis. Atau bisa juga, saat cuaca sedang panas-panasnya, muncul godaan masuk ke minimarket dan melihat deretan minuman dingin di lemari pendingin. Beberapa kali saya kebobolan membeli, yang berujung pada rasa eman-eman saat harus membuang kaleng atau botolnya.

Rasanya sejak kecil, tumbler telah menjadi bagian dari hidup saya. Mungkin sejak saya duduk di Taman Kanak-Kanak. Atau mungkin lebih awal lagi, saat saya belajar di Taman Pendidikan Al-Quran di usia empat tahun. Yang pasti, saat SD dan SMP, hubungan saya dan tumbler sempat renggang. Beruntung, memasuki SMA dan kuliah, kebiasaan bertumbler tumbuh kembali.

Saya sudah beberapa kali ganti tumbler. Kita mulai saja dari SMA. Saat demam Piala Dunia 2010, saya yang tidak mengerti apa-apa tentang bola, tiba-tiba dibelikan tumbler edisi World Cup 2010 berwarna cokelat oleh ibu saya. Saya yang tidak peduli dengan motifnya, memilih asal pakai saja.

Saya memakai tumbler itu dari SMA sampai kuliah. Bahkan saya terlibat dalam kampanye bertumbler di kampus. Kebetulan, saat itu ada kakak angkatan yang membuat kampanye bertumbler untuk mata kuliah Kampanye PR. Saya pun dengan semangat mengajak teman-teman di kelas untuk membawa tumbler. Kalau tidak salah, ada 20 orang yang saya ajak membawa tumbler ke kampus dan kemudian tumblernya ditempeli stiker “Tumblerion”. Dari acara itu, saya kemudian didapuk sebagai salah satu duta tumbler, dan tumbler saya ditempel stiker “Tublerdor”. Stiker Tublerdor itu ternyata lebih awet ketimbang motif asli bergambar binatang-binatang Afrika dan logo World Cup di tumbler saya.

Saya memakai tumbler itu sampai Juli 2013. Saya ingat betul, riwayat tumbler itu bersama saya berakhir di kereta listrik commuter line karena hilang. Saya sadar telah menghilangkan tumbler itu sekitar 6 jam kemudian.

Baiklah, malang memang tak bisa ditolak, bukan? Saya segera move on dengan membeli pengganti tumbler cokelat itu, selang sehari kemudian. Di sebuah supermarket, saya mengincar tumbler Lock and Lock yang berbotol bening dan bertutup biru. Sayangnya, saya harus memperhatikan kondisi keuangan (maksudnya, pelit), jadi saya pilih model dan harganya oke dengan kantong. Akhirnya pilihan jatuh pada tumbler berwarna biru.

Umur tumbler biru juga tidak terlalu lama. Bahkan, akhir riwayat tumbler biru lumayan mengenaskan. Saat itu, sekitar pukul 19.00, saya hendak menumpang TransJakarta dari Bundaran HI menuju Blok M. Saat itu, antrean sangat panjang. Pokoknya hawanya sudah sangat tidak nyaman. Apalagi, tumbler saya sudah kosong sejak sejam sebelumnya.

Saya masih belum berhasil masuk TransJ. Tapi, saya berhasil antre di barisan paling depan, menghadap jalanan, sambil menanti datangnya bus TransJ. Oiya, kalau kondisi ramai seperti saat mengantre atau di angkutan umum, biasanya ransel akan saya gendong di depan, sementara kedua tangan terlipat di perut (belakang ransel). Kebiasaan seperti itu muncul karena posisi demikian bisa menghindarkan diri dari gesekan dengan penumpang lainnya.

Saya berdiri tepat di pintu shelter. Sebenarnya pintunya otomatis, tapi entah rusak atau diset terbuka, jadilah pintu terbuka lebar. Saya menyadarkan kepala di pintu yang terbuka. Di sebelah kiri saya ada mbak-mbak kantoran sedang teleponan. Saya setengah melamun melihat ramainya jalanan.

Tiba-tiba, mbak-mbak kantoran yang awalnya menempelkan telepon di telinga kanan, memindahkan handphonenya ke telinga kiri. Karena postur badannya lebih rendah dibanding saya, otomatis tangan kanannya sukses mendorong tumbler biru jatuh ke jalanan. Sial, tumbler kosong itu sukses meluncur bebas ke busway.

Saya kaget, dan seketika melongo tidak percaya. Saya kembali tersadar saat si mbak-mbak kantoran itu berkata, “Haduh, maaf ya, Mbak, enggak sengaja.” Saya langsung menelan ludah dan menyahut, “Iya, nggak papa.” Kemudian, mbak-mbak kantoran itu kembali asik teleponan dan saya juga kembali meratapi tumbler yang jatuh. Entah bagaimana nasib si tumbler setelah itu. Saya agak ngeri membayangkan, si tumbler biru terlindas bus TransJ tipe Zhong Tong yang segede gaban itu.

Hilangnya tumbler biru membuat saya kembali menyusuri lorong tumbler di Carrefour Blok M malam itu juga. Kali ini pilihanku jatuh pada tumbler berwarna hijau. Alasan ekonomis dan model lumayan tetap menjadi pegangan. Tapi saya berjanji, saat kembali ke Semarang, saya akan membeli Lock and Lock.

Tumbler hijau bertahan sampai saya mengakhiri masa magang di Jakarta. Tapi baru beberapa minggu di Semarang, riwayatnya juga tamat. Bukan secara keseluruhan, sebenarnya, karena yang hilang hanya tutupnya.

Suatu sore, saya dan Hanum janjian wawancara dengan seorang mahasiswa yang berwirausaha. Karena pembicaraan yang terlalu melebar, wawancara baru berakhir sekitar pukul 18.30. Oiya, sesaat sebelum berpamitan, saya sempat meminum air di tumbler dan menutupnya kurang rapat.

Saya dan Hanum mengebut, mengejar magrib yang hampir pergi. Namun, sesampainya di kosan, saya kembali melongo, karena tumbler hijau itu sudah tak bertutup. Ah, ya sudahlah...

Beberapa hari kemudian, bersama Vella, saya ke Carrefour Srondol untuk kembali melihat-lihat tumbler. Aku berencana memilih Lock and Lock. Tapi kemudian, Vella memeriksa label segitiga di bawah botol. Oh, damn, angka 7!

Kata Vella (yang kemarin ada orang Tupperware bertandang ke kosannya dan memberi ceramah kode segitiga), bahan plastik terbaik untuk makanan adalah yang angka segitiganya 5. Ah, karena tidak ada yang sesuai akhirnya saya batal membeli. Justru, Vella yang niat awalnya hanya mengantar, malah membeli, haha.

Seminggu kemudian, ada tante datang berkunjung. Kami kembali ke Carrefour Srondol dengan niat membeli guling. Saya yang masih belum memiliki tumbler, kembali berjalan di lorong tumbler. Saat itu, saya menyadari, ternyata Lock and Lock juga punya varian tumbler lain yang bentuknya mirip keinginan saya. Bahkan, warnanya lebih beragam. Sayangnya, botol tumbler ini lebih keruh dan ada lapisan plastiknya. Tapi karena label segitiganya bertanda 5, aku akhirnya membeli yang bertutup hijau.

Sampai sekarang, tumbler bertutup hijau itu masih aman. Tapi, saya terpaksa kembali menambah koleksi karena tumbler itu sempat ketinggalan di rumah. Saat menyambangi Hypermart Jalan Pemuda, saya baru tahu ternyata seri Lock and Lock ada beragam ukuran, mulai dari 350 ml, 500 ml, sampai 700 ml. Tumbler tutup hijau saya berukuran 500 ml, jadi akhirnya saya memilih tumbler tutup biru berukuran 700 ml.

Saya terbiasa membawa tumbler ke mana-mana. Termasuk saat makan di tempat makan, saya sengaja tidak memesan minum karena ingin memanfaatkan air dalam tumbler. Partner saya untuk berhemat dengan membawa tumbler adalah Vella. Terkadang pula, saya meminta izin mengisi ulang tumbler saya saat menemukan dispenser. Misalnya saat di kantor  PMI, kantor PT. KAI, dan apotek. Saat berkunjung ke rumah kerabat juga saya selalu mengisi ulang tumbler. Apakah kebiasaan saya ini udik? Mungkin saja, tapi saya begitu menikmatinya.

Sayangnya, dukungan terhadap gaya hidup bertumbler masih kurang. Sekitar setahun yang lalu, ada petisi yang meminta perusahaan air minum kemasan menyediakan mesin mengisi air isi ulang berbayar di tempat umum. Konsepnya, para pemakai tumbler bisa membeli air yang langsung ditampung di tumbler. Jadi, tidak perlu buang-buang botol, kan? Sayangnya, sampai sekarang ide itu belum kesampaian.

Di luar negeri banyak keran air siap minum di tempat umum. Sayangnya, di Indonesia masih sangat jarang. Satu-satunya tempat yang saya tahu menyediakan keran air semacam itu hanyalah Kebun Binatang Ragunan (mungkin di tempat lain ada juga, tapi saya tidak tahu).

Semoga kebiasaan bertumbler semakin tumbuh subur di Indonesia. Selain untuk asalan lingkungan, menurut saya, pemakaian tumbler juga bisa mengerek kadar keren seseorang sebesar sekian persen. Entahlah, hehehe.

2 comments:

  1. Hubunganmu sama si tumbler kok romantis banget sih, Di? :v Aku jadi ngiriiiii~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dibilang romantis coba? Hahaha. Tapi emang ya, tumblernya ada yang datang dan ada yang pergi.. *makin ngelantur

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)