Friday, 2 November 2012

Ketika Harus Berkacamata...

Aku nggak mau berkacamata! Sejak masih kecil, aku nggak menginginkan kaca mata. Sama sekali. Sudah banyak dari keluarga besarku yang berkacamata. Aku merasa ada ketidaknyamanan ketika melihat orang berkacamata. Sekarang, aku harus jadi salahsatu dari mereka yang berkacamata.

Kaca mata merah.

Sekitar tiga minggu lalu, aku mulai merasa pandangan mata yang kabur. Membaca tulisan di baliho kota sudah nggak jelas. Sama juga ketika harus melihat wajah teman di kelas yang berjarak lumayan jauh. Aku sering menguji penglihatanku pada Dhea dan Vella, apa mereka melihat yang aku nggak jelas lihat. Dan hasilnya, mereka melihat jelas apa yang nggak aku lihat. Khawatir? Pasti!

Ketika Idul Adha, aku paksakan pulang ke rumah. Aku ceritakan semua masalah di mata pada ayah dan ibu. Anehnya, mereka nggak begitu kelihatan kaget. Oke, karena Jumat adalah libur nasional, pasti poliklinik rumah sakit tutup. Sama juga di akhir pekannya. Diputuskanlah, aku harus periksa hari Senin.

Senin pagi, aku berangkat ke rumah sakit sendirian. Daftar dan menunggu antrean sendirian. Ketika menunggu antrean pemeriksaan, aku jalan-jalan sebentar ke perpustakaan daerah. Lumayan sih, buat menghilangkan suasana nggak enak di rumah sakit. Tapi, di Perpusda nggak bertahan lama. 

Kembali lagi ke rumah sakit. Ternyata antreannya masih panjang. Menunggu lagi deh, sambil baca apa yang ada di tas. Yes, aku nemu majalah Intisari yang sebenarnya sudah sepenuhnya dibaca. Sayangnya, Cuma ada majalah itu. Yasudah, dibaca-baca saja.

Akhirnya, setelah setengah jam menunggu, aku dipanggil juga. Ketika memasuki ruangan, di dalam masih ada seorang ibu paruh baya yang hampir selesai diperiksa. Aku diminta perawat membaca tulisan huruf di dinding dengan satu mata tertutup. Hanya tiga baris huruf yang aku bisa baca. Terjadilah dialog ini;

Perawat (P)      : Wah, kayaknya udah minus. Pakai kaca mata, mau kan?
Dian (D)            : Eh, jangan. Nggak mau. Diobati bisa kan?
P                      : Nggak mau pakai kacamata? Yaudah, diobati. Tunggu di luar dulu ya..
D                     : *keluar ruangan dengan lemas*

Aku harus menunggu lagi. Ternyata nggak lagi setengah jam, seperti yang sebelumnya. Antrean dokter hampir satu setengah jam. Bosen dan khawatir, apa lagi mengingat kata-kata si Mbak Perawat. Pas masih menunggu antrean dookter, ibu datang. Thanks God, itu sangat menenangkan.

Namaku benar-benar dipanggil. Aku nggak siap masuk. Tapi, setelah melihat wajah ramah Dokter Deby Armawati, aku lumayan tenang. Basa-basi sedikit lah, dan aku ditanya kabarnya. Dokter Deby kaget, waktu baca laporan kesehatan yang ditulis Mbak Perawat tadi.

Dokter Deby    : Loh, ini pasti sudah minus. Kenapa cuma mau diobati? Nggak mau kaca mata?

Belum sempat aku geleng kepala dan menjawab, ibuku juga ikutan ngomel. Akhirnya aku cuma bisa pasrah, ketika Dokter Deby meminta Mbak Perawat memeriksa minus di mataku. Aneh sih, kenapa ibu ikut ngomel ya? padahal sebelum ke rumah sakit, aku sudah ngomong nggak mau berkacamata. Zaman secanggih ini kan teknologi sudah maju. Pakai teknologi lasik gitu, kan bisa. Pasti karena perkataan dokter dan dua perawat di ruangan itu deh... #prasangka.

Aku dipakaikan kaca mata aneh bertutup mata satu. Secara bergantian, si Mbak Perawat memasang semacam lensa kaca mata. Nggak begitu lama, disimpulkan aku minus 0,75. Kanan-kiri sama. Menurut yang di ruangan itu, angka itu nggak begitu besar. Tapi menurutku, berapapun angkanya kalau tetap berkacamata, ya sama saja. Down.

Ibuku menghibur, kalau minusnya sudah mencapai angka tujuh. Aku juga tahu, ibu pertama kali berkacamata waktu masih SD, tapi diawali dengan angka 0,25. Oke, pasrah saja, mungkin kaca mata bisa jadi tradisi keluarga *hibur diri sendiri*. Dan Dokter Deby juga bilang, kalau kaca mata sebenarnya juga bisa jadi obat.

Hasutan demi hasutan dan paksaan demi paksaan datang. Intinya, aku harus berkacamata. Dokter Deby yang memang dasarnya asik, malah ngobrol tentang hobi dan cita-cita. Kembali lagi deh, semangatku. Sekitar 10 menit obrolan itu, aku disarankan juga untuk minum jus wortel setiap hari (padahal kita tau banget, bau jus wortel murni itu busuk banget, hehe). Dan,,,, sret sret sret, Dokter Deby menulis resep dan rekomendasi kaca mata (meski tulisannya nggak kebaca).

Keluar dari ruangan, aku dan ibu melanjutkan perjalanan ke apotek untuk nebus obat. Ya elah, ternyata obat, eh bukan, semacam vitamin itu sama dengan yang dikonsumsi ibuku. RETIVIT. Harus diminum sehari satu tablet. Dan cuma nebus satu jenis vitamin itu doang, padahal antreannya malesin banget. Oke, nggak masalah.

Setelah dari apotek, lanjut lagi ke optik. Asik, pilih-pilih frame, dan tentu saja aku milih warna merah, warna favorit, hehehe. Coba ini dan itu, akhirnya dapat yang cocok. Kaca mata bisa diambil besoknya. Sial, padahal sore itu juga, aku harus balik ke Semarang. Yasudah, yang ambil ayah, dan akan diantar ke kos.

Kamis pagi, ayahku mampir ke kos, sebelum ke kantor. Jiha, kacamataku datang! Sekarang, mulai hari ini, aku resmi berkacamata. Antara senang dan sedih. Senang karena bisa melihat jelas lagi, dan sedihnya, karena sekarang mataku bergantung dengan kaca mata. Dinikmati aja...


01 01 2012

4 comments:

  1. *mbayangin dian dengan kaca mata merahnya


    dinikmatin ajah ya, dian...
    katanya kalo pake kaca mata itu terlihat lebih cantik, dewasa, trus pintar lagi... XD

    ReplyDelete
  2. Jihaaa... Nggak perlu dibayangin. Aneh pastinya.. Eh, tapi kalau terlihat dewasa, aku mau..hehe

    ReplyDelete
  3. Wah, nambah lagi nih manusia berkacamata..... Hahahahahha..... :P :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada yang salah dengan manusia berkacamata? :p
      Akun ini kan milik organisasi, tapi kok kayak mewakili opini seseorang ya? :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)