Aku pernah malu banget dengan Mas
Acil karena bangun kesiangan. Waktu itu tanggal 2 Agustus, dan jam 07.30 pagi,
ada SMS dari Mas Acil yang menanyakan alamat email. Tapi, aku baru bangun, buka
SMS, dan membalasnya setengah jam kemudian. Saat itu, aku masih berjuang
mengumpulkan nyawa dari tidur yang hanya 2 jam 30 menit. Nggak berapa lama (dua
menit), ada balasan dari Mas Acil; “Coba cek, saya sudah kirim. Kabari ya.”
Gleger...!!! Aku langsung
melompat dari tempat tidur dan menyambar laptop. Langsung lupa dengan kebiasaan mengumpulkan nyawa. Dengan jaringan Flash yang
sedikit menguji emosi, aku menemukan email dari Mas Acil. Isinya, aku diminta
membantu Mas Andi liputan di Jakarta Pusat dengan agenda pemusnahan minuman
keras di Kemayoran dan SMA 68 Jakarta tentang biaya operasional pendidikan
(BOP).
Baiklah, sudah tahu tujuan
liputan, sekarang harus buka maps.google untuk tahu lokasinya. Lumayan susah
ternyata, apa lagi aku belum pernah ke daerah di mana dua lokasi itu berada.
Ngutak-atik maps.google belum ada hasil, aku teringat jadwal pemusnahan miras
jam 10.00 pagi. Alamak, sekarang sudah 08.25, aku belum mandi, dan perjalanan
ke lokasi perlu minimal dua jam.
Mandi dan siap-siap kilat ala
Dian. Jam 08.45 aku sudah meluncur keluar kos dan setengah berlari menuju halte
busway Pasar Kebayoran Lama. Busway aku pilih, karena aku tidak tahu rute sama
sekali. Maps.google belum mengeluarkan kesaktiannya.
Sepanjang perjalanan, aku berdoa
agar macet Jakarta nggak parah dan bisa sampai Kemayoran tepat waktu.
Sayangnya, doa itu belum terkabul. Sampai halte Harmoni, waktu sudah
menunjukkan jam 10.00. Nggak mungkin lagi lanjut pakai bus. Aku memilih keluar
halte dan memakai jasa ojek. Di tengah kondisi segenting itu, aku masih sempat
menawar ongkos ojek lho, dan berhasil turun Rp 5 ribu, hehe.
Diperlukan perjuangan keras untuk
mencapainya, karena nggak banyak orang yang tahu lokasi pemusnahan. Singkatnya, aku masih bisa
liputan pemusnahan minuman keras dan petasan itu. Di situ juga, pertama kali
aku mencium aroma alkohol. Unik.
Malu gara-gara kesiangan bangun
juga terjadi ketika aku diminta menggantikan piket pagi Mbak Pingit yang sedang
sakit. Malam sebelumnya, Mas Acil memintaku ke kantor pukul 07.00 pagi. Secara
tersirat, aku sih menyatakan keberatan dan nego. Akhirnya, Mas Acil memundurkan
waktu setengah jam. “Yaudah, setengah delapan nggak papa deh,” kurang lebih
begitu kata Mas Acil.
Jam 07.30 pagi di kantor
menurutku masih berat, tapi mau nego lagi kan nggak mungkin. Aku cerita ke Mas
Acil, kalau aku susah tidur malam. Sarannya, aku harus berusaha tidur malam. Tapi
aku yang nggak yakin, malah mengusulkan diri nggak tidur sama sekali. Usul yang
konyol, tapi beberapa kali memang ampuh. Akhirnya aku setuju dan menyelipkan
kata “mudah-mudahan”.
Sepulang kantor, aku telepon
keluarga dan teman untuk membangunkanku jam 06.00 pagi. Itu aku jadikan
antisipasi kalau ketiduran.
Benar saja, insomnia ini
membuatku nggak bisa tidur sepanjang malam. Waktu sahur, imsak, dan subuh sudah
lewat. Aku masih aman dengan mata terbuka. Sekitar jam 05.30 pagi, aku nggak
sengaja tidur di meja belajar. Celakanya, aku baru bisa bangun tiga jam
kemudian!!!
Waktu mengecek hand phone, ada 8
panggilan dan 5 SMS berisi seruan bangun tidur. Langsung aku keluarkan semua notif, dan segera mengirim
SMS Mas Acil untuk meminta maaf. Haduh, malu banget pokoknya.
Kembali, jurus mandi dan
siap-siap kilat ala Dian, aku gunakan. Hanya butuh waktu sekitar setengah jam dari
bangun tidur dan sampai di kantor. Memang sih, jarak kantor dengan kos, sangat
dekat. Cukup jalan kaki keluar gang dan menyeberang Jalan Kebayoran Baru.
Dua pengalaman konyol karena waktu
tidur yang berantakan, mampu membuatku sebal. Bahkan, aku sempat merasa
tersindir ketika Mas Acil berkata; “Kalau besok, nggak perlu pagi-pagi banget
kok,” waktu aku akan ditugaskan safari ke Terminal Pulogadung lho, hahaha.
Tapi, aku bisa membuktikan bisa
siap liputan pagi lho, ketika harus datang ke pelepasan mudik bareng Sidomuncul
di area Pekan Raya Jakarta, serta ngecek geliat mudik di Stasiun Pasar Senen
dan Gambir. Waktu itu H-7 Lebaran dan aku sudah bersiap berangkat liputan jam 7
pagi! Acara pelepasan yang dijadwalkan jam 10 pagi, bisa aku jangkau tanpa
telat, hehehe...
Memang sih, Dian belum sukses menguasai kebiasaan buruk itu. Janji deh, aku akan selalu mengusahakannya. Hari Kamis dan Jumat, aku jadikan sarana bangun pagi untuk mengejar kuliah jam 06.30. Bangun pagi bisa, tapi tidur normal masih belum bisa, hehehe...
Memang sih, Dian belum sukses menguasai kebiasaan buruk itu. Janji deh, aku akan selalu mengusahakannya. Hari Kamis dan Jumat, aku jadikan sarana bangun pagi untuk mengejar kuliah jam 06.30. Bangun pagi bisa, tapi tidur normal masih belum bisa, hehehe...
Di balik Di Tempo, Aku Belajar...
· Email+SMS dari Mbak Icha Tempo Institute, Mas
Acil, dan Mas Hasim, menjadi pengingat paling ampuh perjalanan sebulan yang
berharga itu. Di situ tertulis penugasan dan cerita liputan.
· Email dari dan ke Dhea juga jadi pengingat yang
keren. Bahkan, lebih detail, karena mencakup perasaan dan semua emosi ketika
magang. Tercatat 49 email antara aku dan sahabatku ini.
· Nggembel sendirian di kota sebesar Jakarta,
memang perlu sedikit “nekat”. Kalau kata Mas Hasim; “Senjata jurnalis itu
mulut.” Bertanya.
· Sampai sekarang, aku masih mengingat jelas
peristiwa-peristiwa unik ketika liputan. Nggak cuma itu, kalau Kamis malam,
juga ingat kalau itu jadwal rapat Metro, hehe.
Ketika magang, aku seperti punya keberanian
ekstra, dengan perasaan yang biasa saja ketika keluar kantor sampai jam 01.30
dini hari. Luar biasa banget kalau di Semarang. Aku juga suka jalan-jalan
sendirian (di luar liputan) seperti ke Bendungan Hilir ketika hari Minggu.
· Banyak momen dan cerita di Semarang yang aku lewatkan karena magang,
mulai dari serunya kuliah Semester Pendek, konsultasi perkuliahan ke dosen wali
(Mas Hedi), liburan keren Dhea-Vella ke Pantai Maron, sampai kondisi kacau ketika Dhea masuk rumah sakit karena demam berdarah. Maaf ya, Cut, cuma Ucil
yang bisa nemenin... Tapi, dia justru menguatkanku, bahwa hidup memang selalu berupa pilihan. Magang ini yang harus menjadi prioritas.
· Aku ingin berterimakasih pada Tempo Institute (Mbak
Mardiyah, Mbak Icha, Mbak Etha, Mbak Maya, Mas Bram, dan Mas Bimo) yang telah
memberi kesempatan berharga ini. Mas Acil, Mas Hasim, Mbak Martha, dan Mas Seno,
atas bimbingannya. Pak Burhan dan Pak Komang, atas kesempatan belajar di
redaksi dan penempatan di kompartemen Metro. Teman-teman reporter dan carep
Metro yang rame, Dian sangat menikmati itu. Teman-teman di Tempo.co atas keramahannya. Sahabat di Semarang, Dhea (Cucut)
dan Vella (Ucil) yang masih tetep seru di dunia maya. Mbak Mama, yang sering
Dian ributi dan numpang tidur kalau kesepian. Ai Chintia dan Imam juga, karena
kesabaran kalian menemani Dian begadang untuk chating. Dan yang pasti, kepada
keluarga di rumah. Untuk semuanya, Dian sangat berterimakasih atas support yang
diberikan...
Waduh, thanks kembali, namaku termasuk dalam ucapan terima kasih skripsi ya???
ReplyDelete#nah loh?
Yakin, Imam yang aku tulis itu kamu? hehehe. Makasih yak.
DeleteSkripsi, amin, kalau didoakan secepatnya.. :)
Mbak dian sekarang di media mana ni??
ReplyDeleteSaya sekarang di radio berita kak..
Delete