lifenews.com |
Jujur, aku sangat
awam soal kebiasaan dan prosedur di rumah sakit. Tapi, setelah dipikir-pikir, ternyata,
ketidakpedulian kita tentang prosedur di rumah sakit bisa merugikan diri
sendiri loh. Misalnya saja, kita terlalu gampang mengiyakan setiap anjuran pihak
rumah sakit, tanpa menanyakan alternatif lain yang bisa saja diambil.
Aku baru
berpikir tentang perlunya memahami prosedur rumah sakit setelah adikku diopname
pekan lalu. Sebenarnya, adikku sama sekali tidak berencana opname. Memang, pada
Rabu, 18 Juni, dia ke rumah sakit, tapi tujuannya hanya sekadar kontrol. Dia merasa
sangat pusing sejak hari Senin. Sebelum ke rumah sakit, dia sempat berobat ke
klinik di Semarang dan ke dokter langganan di dekat rumah. Namun hingga Rabu
pagi, pusing di kepalanya masih belum hilang, sehingga dia ingin memeriksakan
diri ke rumah sakit.
Adikku ke
rumah sakit diantar tetangga (entah adikku itu anak ayah-ibu atau tetanggaku).
Sayangnya, baru mengantre pendaftaran, mendadak dia pingsan. Menggunakan kursi
roda, dia dibawa ke ruang poliklinik syaraf, tapi ternyata dokternya belum
datang. Jadilah, adikku dibawa ke instalasi gawat darurat di rumah sakit itu.
Ternyata oh
ternyata, tidak banyak yang dilakukan
pihak rumah sakit kepada adikku. Hal itu karena tidak ada yang berani
menandatangani kertas yang disodorkan petugas rumah sakit. Setelah siuman,
adikku menelepon ibu dan ayah, tapi telepon mereka sibuk dan tidak terangkat. Adikku
menghubungiku, bertanya ruangan yang akan digunakannya opname.
Pihak rumah
sakit menyatakan, semua ruangan penuh, sementara yang tersisa hanya ruang anggrek
alias VVIP. Tapi yang paling menarik adalah peraturan kalau pasien mau dirawat
di VVIP, maka si pasien tidak boleh dipindah ke ruangan yang kelasnya lebih
rendah. Aturan macam apa ini? Tapi ya, karena adikku yang sebelumnya terlihat
sehat tiba-tiba harus dirawat, jelas aku panik dong. Aku ikut bingung, karena
itu menyangkut besarnya biaya yang harus dibayarkan. Syukurlah, ibuku kemudian
bisa dihubungi dan menyetujui adikku dirawat di ruang anggrek.
Entah pikiran
dari mana, setelah melihat kondisi ruang anggrek, aku tiba-tiba berpendapat aturan
“pasien yang mau dirawat di VVIP tidak boleh dipindah ke ruangan yang kelasnya lebih
rendah” adalah strategi rumah sakit menjual produknya. Pasalnya, di sepanjang
lorong ruang anggrek, hanya ada dua ruangan yang dihuni pasien: adikku dan
seorang pasien lainnya. Sementara kamar lainnya kosong tak berpenghuni (dilihat
dari kosongnya papan identitas pasien di samping pintu dan lampu yang mati). Kemudian
aku menyimpulkan ruang anggrek tidak laku.
Adikku dirawat
di ruang anggrek sampai di hari ketiga. Di hari ketiga itu, dia rewel karena
suasana kamar yang membosankan. Boro-boro ada balkon, pemandangan di luar
jendela hanya ada genteng gedung di sebelah. Saat hari mulai siang, adikku mengeluh
pusing karena silau melihat cahaya (kata ibuku, sejak masuk rumah sakit, adikku
memang sensitif pada cahaya. Padahal dia tetap bersahabat dengan televisi). Tirai
jendela langsung ditutup dan lampu kamar diset temaram. Tapi ternyata, dia
tetap rewel, bahkan minta pindah ke ruang wijayakusuma (tahun lalu, dia pernah
dirawat di ruangan itu). Bagaimana pun caranya! Kalau tidak bisa pindah, dia
minta pulang ke rumah.
Agak siang,
ada kabar dari sahabat ibuku, bahwa kakak iparnya dirawat di ruang wijayakusuma di rumah sakit yang
sama. Rencananya, kakak-ipar-sahabat-ibuku akan keluar rumah sakit sore itu
juga. Jadi, adikku bisa dipindah ke ruang bekas kakak-ipar-sahabat-ibuku.
Ibuku segera
mengurus kepindahan itu ke perawat di ruang anggrek. Kemudian, ibuku juga
mendatangi ruang wijayakusuma. Ternyata, di sebelah kamar kakak-ipar-sahabat-ibuku
kosong alias tak berpenghuni! (entah kosongnya sejak kapan, tapi sepertinya pernyataan
rumah sakit bahwa semua ruangan kosong kecuali VVIP adalah hobong).
Akhirnya,
setelah makan siang, adikku dipindah ke ruang wijayakusuma (VIP biasa, kelasnya
lebih rendah ketimbang VVIP). Oke, aturan tentang “pasien yang mau dirawat di
VVIP tidak boleh dipindah ke ruangan yang kelasnya lebih rendah” ternyata juga
bohong.
Setelah kepindahan
kamar, aku merasakan layanan yang diberikan di ruang anggrek dan wijayakusuma jauh
berbeda. Aku tidak ingin membicarakan fasilitas, karena mungkin pembeda
masing-masing kelas adalah fasilitas (yang paling aku rasakan soal fasilitas ya
kamar dan toilet yang lebih kecil dan ketersediaan koran—di anggrek setiap pagi
ada kiriman koran sedangkan di wijayakusuma tidak). Tapi kalau turut membedakan
layanan, kok rasanya tidak adil ya, untuk si pasien.
Ada banyak
contoh kok. Pertama tentang kebersihan. Di ruang anggrek, sebelum pukul 06.00
pagi, sudah ada petugas yang membersihkan kamar, sedangkan di ruang
wijayakusuma pukul 07.30 pagi. Selain itu, soal seprei ranjang pasien (di
anggrek seprei rutin diganti sedangkan selama tiga hari di wijayakusuma, seprei
adikku tidak diganti). Kedua, tentang keramahan perawat. Di anggrek, setiap
pagi dan sore ada rombongan perawat yang mengunjungi kamar dan sepanjang hari ada
saja perawat yang menengok pasien, sedangkan di wijayakusuma perawat hanya
datang saat dipanggil dan ada kunjungan dokter (menurutku, keramahan perawat
bisa memperbaiki mood pasien loh).
Ketiga, layanan
memandikan pasien. Di ruang anggrek, tanpa dipanggil, setiap pagi dan sore hari
akan ada perawat yang berkata, “Mbak, sekarang waktunya mandi yaaa”, sedangkan di
wijayakusuma harus memanggil perawat terlebih dahulu (aku sempat bingung saat
harus memandikan dan mencuci rambut adikku sebelum menjalani rekam otak. Keran air
panas di kamar mandi mati, tapi kemudian tertolong berkat tanteku yang membawa
termos air panas di hari sebelumnya. Aku hampir saja mencuci rambut adikku di
wastafel tapi posisinya tetap tidak nyaman, tapi kemudian ada perawat pengantar
makanan yang bisa aku tanyai soal layanan itu).
Ternyata,
lumayan banyak kan, perbedaan pelayanan itu. Tapi, oke, kita cukupkan saja
pembicaraan tentang fasilitas dan layanan. Hal lebih penting adalah anjuran
tentang obat, termasuk infus. Aku selalu risih dengan pemberian obat yang
sedemikian banyak kepada pasien yang dirawat di rumah sakit. Ada yang diminum
dan diinjeksikan ke infus. Aku selalu ingin bertanya tentang keharusan pasien
mengonsumsi sekian banyak obat yang diberikan. Tidak ada diskusi tentang obat,
termasuk obat yang bisa dijadikan alternatif, misalnya kalau harganya terlalu mahal.
Kegunaan obat yang diberikan saja pasien tidak diberi tahu. Tiba-tiba saja ada
secawan obat yang harus diminum.
Ada juga
tentang infus. Apakah pasien yang dirawat di rumah sakit harus diinfus? Setahuku
(sebagai awam) infus itu sebagai tambahan nutrisi untuk pasien. Apakah sebelum
memberikan infus, konsumsi makanan pasien juga diperhatikan? Untuk kasus
adikku, aku melihat makanan yang masuk ke perutnya termasuk banyak. Sangat
banyak, malah. Apakah tetap perlu dikasih infus?
Selain itu,
soal jarum dan selang infus, aku masih bertanya-tanya tentang waktu penggantiannya.
Ada yang bilang tiga, empat, lima, dan enam hari. Untuk kasus adikku, perawat
akhirnya menganti jarum dan selang infus, setelah diminta ibuku. Aaaahhh, aku
masih belum mengerti tentang itu.
Hal terakhir
yang agak mengganggu adalah saat rumah sakit seperti mendorong pasien agar
berlama-lama dirawat di rumah sakit. Selain pasien yang bosan (adikku sampai
ngambek), berlama-lama di rumah sakit juga berimbas pada biaya loh. Aku merasakan
sulitnya kepulangan adikku kemarin. Alasan rumah sakit mulai dari izin dokter
sampai klaim asuransi yang tidak bisa diurus di akhir pekan. Beruntung, ibuku memilih
membayar lunas biaya rumah sakit terlebih dahulu dan mengurus klaim asuransi di
kemudian hari.
Aku pikir,
itu hanya beberapa catatan tentang urusan di rumah sakit. Tulisannya agak
panjang ya, tapi ya memang begitu keadaan yang aku amati. Hal terpenting adalah
cobalah pahami apa yang disarankan dokter maupun pihak rumah sakit, kalau perlu
tanyakan alternatif yang bisa ditempuh. Aku tahu, saat ada anggota keluarga
yang sakit, yang ada di pikiran kita hanya tentang kesembuhannya. Apa saja asal
orang yang kita sayangi sembuh. Tapi cobalah tidak abai pada hal-hal kecil di
sekitarnya yang siapa tahu justru bisa jadi masalah besar (terutama soal
biaya).
Adek kamu sakit apa Di? cepet sembuh ya buat adeknya Dian
ReplyDeleteYah begitulah rumah sakit di. Semoga pelayanannya memuaskan ya. Aku juga masih sedih masalah makan pasien yang sudah lama menjadi momok bagi para ahli gizi. Masih banyak pasien yang sudah dapat makan dari rumah sakit tapi tetap jajan di luar karena katanya masakan rumah sakit kurang enak di lidah hehe
Cuma drop aja kok, madame. Alhamdulillah, ini sudah sehat :D
DeleteEh iya. Ternyata tulisanku dibaca Bu Gizi nih. Tapi tenang madame, kekhawatiranmu soal pasien yang nggak suka makanan rumah sakit, enggak terjadi pada adekku kok. Dia menikmati semua makanan yang dikasih. Kalau soal dia minta jajanan, itu bukan karena makanan rumah sakit nggak enak, tapi perutnya itu yang minta terus diisi, hahaha :D
makasih pencerahannya....
ReplyDelete