Wednesday 20 August 2014

Hukum Rimba

Cicak berantem
Suasana meriah khas Lebaran sudah lewat. Aktivitas keluarga kami sudah kembali seperti hari biasa. Aku dan ayah, meski duduk bersebelahan, ternyata satu sama lain sibuk dengan bacaan masing-masing. Malam itu, dia kembali membuka halaman koran yang menyajikan ulasan tentang olahraga lari. Sesekali dia berdecak tidak percaya karena sarana penunjang olah raga lari, yang konon olah raga paling murah, ternyata sampai puluhan juta rupiah. Sementara aku, asyik sendiri dengan majalah bulanan yang lama jadi favoritku.

Saat sibuk membaca, terdengar suara cicak berantem. Ada dua cicak yang bertarung di plafon ruang tamu kami. Pertarungan yang sepertinya tidak imbang, mengingat ukuran tubuh mereka berbeda. Hingga beberapa menit kemudian, cicak yang berukuran kecil sudah terlihat tak berdaya.


Aku langsung bereaksi dengan berteriak, “Usir, usir. Cicak yang kecil bisa mati..”

Sementara ayahku cuma menoleh sebentar ke arah cicak, kemudian mengembalikan pandangannya pada koran. Dengan santai, dia berkata, “Itu yang namanya hukum rimba. Kalau di rumah ini sudah jarang nyamuk, sesama cicak bisa saling serang. Cicak yang lebih kecil bakal dimangsa yang besar. Atau mungkin mereka sedang rebutan wilayah.”

Ggrrr. Aku tidak tahu, ayah bicara begitu karena memang menyadari hukum rimba atau karena bersikap cuek, seperti biasanya. Yang pasti, dia kemudian berkata, “Udah, biarin aja.”

Berkaca dari pertarungan dua cicak tadi, rasanya hukum rimba memang benar adanya. Makhluk hidup memang dikaruniai kekuatan masing-masing, dan dengan kekuatannya itu dia harus bertahan hidup. Aku juga teringat beberapa film yang mengajarkan kita untuk tidak terlalu mencampuri kehidupan alam. Misalnya proyek rekayasa genetika terhadap hiu atau dinosaurus, yang belakangan justru bisa berbahaya bagi manusia.

Oke, yang di film boleh jadi memang sekadar imajinasi. Tapi, di kehidupan nyata juga ada hal-hal kecil tentang hukum rimba. Ada kawan yang bilang, manusia tidak boleh membantuk membuka cangkang telur yang menetas. Jadi, jika misalnya telur ayam, hendak menetas, pasti bayi ayam akan kesusahan memecahkan cangkangnya. Kita sebagai manusia, mungkin kasihan atau gemes, ingin membantu membuka cangkang itu. Tapi ternyata,  hal itu tidak bisa kita lakukan, karena proses pemecahan telur adalah cara ayam untuk melatih otot dan ulangnya yang masih lunak agar mampu menopang badannya.

Ayam punya caranya sendiri untuk melatih kekuatan tubuhnya. Kita sebagai manusia juga memiliki kekuatan yang bisa dilatih agar bisa bertahan hidup di tengah tujuh miliar manusia lainnya. Apa yang akan kita andalkan? Kekuatan fisik kah? Ehm, mungkin sudah tidak berlaku, karena sekarang bukan lagi zaman gladiator ala Romawi.

Ukuran badan dan kekuatan fisik tidak lagi penting di kehidupan ini (kecuali di dunia olah raga ya). Maksudnya, kekuatan yang dimiliki seseorang tidak lagi menjadi jaminan kemenangan. Sekarang saatnya berkompetisi. Manusia tercipta dengan otak yang sedemikian sempurna untuk berpikir. Sudah bukan zaman juga untuk memaksa tubuh bekerja sedemikian berat. Sekarang waktunya memikirkan solusi agar ada capaian besar “hanya” dengan sedikit kerja fisik. Dunia pun lebih mengapresiasi sikap cerdas yang manusia ditunjukkan.

Tapi memang, kita tidak bisa menutup mata, hukum rimba ala gladiator masih kerap ditemui. Saat rebutan bangku di sekolah atau perguruan tinggi, kerap kali pemenangnya adalah sosok yang berani menyodorkan uang lebih banyak. Atau kalau mau mengawang-awang yang lebih ngeri, kita bisa melihat kenyataan getir masa kampanye pemilu, baik legislatif, kepala daerah, atau kepada negara. saling jegal terjadi di sana-sini.

Kita bisa mulai berkompetisi secara  sportif kok, tanpa kekerasan, yang sering kali memang mengandalkan kekuatan fisik. Mungkin yang bisa sedikit meredam keinginan menggunakan kekuatan fisik adalah bayangan tentang akibat yang bisa ditimbulkan. Perilaku, bahkan perkataan yang sembrono bisa menimbulkan reaksi yang luar biasa. Adalah pilihan kita untuk menebar semangat damai atau semangat saling membenci.  Eh, kok sepertinya efek kolektif itu yang kini jadi hukum rimba ya?

Kelompok yang memilih mendukung salah satu kubu, bisa membela hingga sedemikian fanatik. Membesar-besarkan hal baik dari jagoannya dan abai dengan hal yang dianggap buruk. Sementara itu, sikap serba suudzon justru dialamatkan pada pihak lawan dari jagoannya. Celakanya, semua kubu memiliki gaya yang sama, mengangungkan jagoan dan merendahkan lawan jagoannya. Ah, mungkin karena gaya masyarakat kita yang sangat kolektif, sehingga mudah sekali membentuk kubu-kubu.

Suara cicak berantem sudah tidak terdengar lagi. Aku pikir cicak kecil benar-benar sudah mati. Tapi ternyata dia bisa melepaskan diri dari mulut lawannya. Syukurlah.


3 Agustus 2014

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)