Cicak berantem |
Suasana meriah khas Lebaran sudah lewat. Aktivitas
keluarga kami sudah kembali seperti hari biasa. Aku dan ayah, meski duduk
bersebelahan, ternyata satu sama lain sibuk dengan bacaan masing-masing. Malam
itu, dia kembali membuka halaman koran yang menyajikan ulasan tentang olahraga
lari. Sesekali dia berdecak tidak percaya karena sarana penunjang olah raga
lari, yang konon olah raga paling murah, ternyata sampai puluhan juta rupiah.
Sementara aku, asyik sendiri dengan majalah bulanan yang lama jadi favoritku.
Saat sibuk membaca, terdengar suara cicak
berantem. Ada dua cicak yang bertarung di plafon ruang tamu kami. Pertarungan
yang sepertinya tidak imbang, mengingat ukuran tubuh mereka berbeda. Hingga
beberapa menit kemudian, cicak yang berukuran kecil sudah terlihat tak berdaya.
Aku langsung bereaksi dengan berteriak, “Usir,
usir. Cicak yang kecil bisa mati..”
Sementara ayahku cuma menoleh sebentar ke arah
cicak, kemudian mengembalikan pandangannya pada koran. Dengan santai, dia
berkata, “Itu yang namanya hukum rimba. Kalau di rumah ini sudah jarang nyamuk,
sesama cicak bisa saling serang. Cicak yang lebih kecil bakal dimangsa yang
besar. Atau mungkin mereka sedang rebutan wilayah.”
Ggrrr. Aku tidak tahu, ayah bicara begitu
karena memang menyadari hukum rimba atau karena bersikap cuek, seperti
biasanya. Yang pasti, dia kemudian berkata, “Udah, biarin aja.”
Berkaca dari pertarungan dua cicak tadi,
rasanya hukum rimba memang benar adanya. Makhluk hidup memang dikaruniai
kekuatan masing-masing, dan dengan kekuatannya itu dia harus bertahan hidup. Aku
juga teringat beberapa film yang mengajarkan kita untuk tidak terlalu
mencampuri kehidupan alam. Misalnya proyek rekayasa genetika terhadap hiu atau
dinosaurus, yang belakangan justru bisa berbahaya bagi manusia.
Oke, yang di film boleh jadi memang sekadar imajinasi.
Tapi, di kehidupan nyata juga ada hal-hal kecil tentang hukum rimba. Ada kawan
yang bilang, manusia tidak boleh membantuk membuka cangkang telur yang menetas.
Jadi, jika misalnya telur ayam, hendak menetas, pasti bayi ayam akan kesusahan
memecahkan cangkangnya. Kita sebagai manusia, mungkin kasihan atau gemes, ingin
membantu membuka cangkang itu. Tapi ternyata, hal itu tidak bisa kita lakukan, karena proses
pemecahan telur adalah cara ayam untuk melatih otot dan ulangnya yang masih
lunak agar mampu menopang badannya.
Ayam punya caranya sendiri untuk melatih
kekuatan tubuhnya. Kita sebagai manusia juga memiliki kekuatan yang bisa
dilatih agar bisa bertahan hidup di tengah tujuh miliar manusia lainnya. Apa yang
akan kita andalkan? Kekuatan fisik kah? Ehm, mungkin sudah tidak berlaku,
karena sekarang bukan lagi zaman gladiator ala Romawi.
Ukuran badan dan kekuatan fisik tidak lagi
penting di kehidupan ini (kecuali di dunia olah raga ya). Maksudnya, kekuatan
yang dimiliki seseorang tidak lagi menjadi jaminan kemenangan. Sekarang saatnya
berkompetisi. Manusia tercipta dengan otak yang sedemikian sempurna untuk
berpikir. Sudah bukan zaman juga untuk memaksa tubuh bekerja sedemikian berat. Sekarang
waktunya memikirkan solusi agar ada capaian besar “hanya” dengan sedikit kerja
fisik. Dunia pun lebih mengapresiasi sikap cerdas yang manusia ditunjukkan.
Tapi memang, kita tidak bisa menutup mata,
hukum rimba ala gladiator masih kerap ditemui. Saat rebutan bangku di sekolah atau
perguruan tinggi, kerap kali pemenangnya adalah sosok yang berani menyodorkan
uang lebih banyak. Atau kalau mau mengawang-awang yang lebih ngeri, kita bisa
melihat kenyataan getir masa kampanye pemilu, baik legislatif, kepala daerah,
atau kepada negara. saling jegal terjadi di sana-sini.
Kita bisa mulai berkompetisi secara sportif kok, tanpa kekerasan, yang sering
kali memang mengandalkan kekuatan fisik. Mungkin yang bisa sedikit meredam keinginan
menggunakan kekuatan fisik adalah bayangan tentang akibat yang bisa
ditimbulkan. Perilaku, bahkan perkataan yang sembrono bisa menimbulkan reaksi
yang luar biasa. Adalah pilihan kita untuk menebar semangat damai atau semangat
saling membenci. Eh, kok sepertinya efek
kolektif itu yang kini jadi hukum rimba ya?
Kelompok yang memilih mendukung salah satu
kubu, bisa membela hingga sedemikian fanatik. Membesar-besarkan hal baik dari
jagoannya dan abai dengan hal yang dianggap buruk. Sementara itu, sikap serba suudzon
justru dialamatkan pada pihak lawan dari jagoannya. Celakanya, semua kubu
memiliki gaya yang sama, mengangungkan jagoan dan merendahkan lawan jagoannya. Ah,
mungkin karena gaya masyarakat kita yang sangat kolektif, sehingga mudah sekali
membentuk kubu-kubu.
Suara cicak berantem sudah tidak terdengar
lagi. Aku pikir cicak kecil benar-benar sudah mati. Tapi ternyata dia bisa
melepaskan diri dari mulut lawannya. Syukurlah.
3 Agustus 2014
salam sehat selalu...
ReplyDelete