Akhir pekan
kemarin, sepulang berbelanja, saya melewati pemakaman umum di daerah
Rawamangun. Saat itu, sekitar pukul 13.00, saya sedang berjalan kaki di trotoar
muka pemakaman.
Saat saya
baru mulai melangkahkan kaki di depan komplek pemakaman itu, bunyi sirine sudah
terdengar dari kejauhan. Saat saya semakin mendekati pintu masuk pemakaman,
situasi jalanan benar-benar semrawut. Dua mobil jenazah saling berlomba
membunyikan suaranya. Para pengiring berteriak meminta pengguna jalan lain
untuk minggir dan memberi jalan bagi mobil jenazah, sambil mengacung-acungkan
bendera kuning dari kertas. Kebanyakan dari mereka tidak memakai helm, dan
menggantikannya dengan topi dan kopiah.
Saya cuma
melihat dari pinggir jalan. Situasinya benar-benar ruwet. Dari arah Utankayu,
jalanan sudah dipenuhi rombongan duka yang akan ke pemakamanan. Dua jalur sudah
penuh. Sementara itu, penggunana jalan dari arah Pulogadung benar-benar mandek
di depan pemakanan karena tak mungkin menerobos rombongan mobil jenazah.
Akhirnya, ada bapak-bapak (yang sepertinya petugas parkir) bersama dua atau
tiga orang dari rombongan duka berusaha mengurai kesemrawutan itu.
Kaki saya
sampai di depan pintu masuk. Saya melihat situasi itu sekitar dua menit, hingga kemudian berjalan
santai melewati pintu itu. Tentu saja sangat santai, karena kesemrawutan di
jalan itu masih jauh dari kata terurai dan mobil jenazah ada di sekitar 5 meter
dari pintu masuk.
Saya
teringat cerita guru mengaji di kampung, namanya Pak Khamdan. Saat itu, kami
sedang belajar tentang tata cara mengurus jenazah. Pak Khamdan bilang, orang
yang masih hidup berkewajiban mengurus jenazah, dan menyegerakan pemakaman.
Tetapi, kata beliau, hajat orang yang masih hidup sebenarnya tetap lebih
penting daripada si jenazah.
Dia
kemudian mencontohkannya dengan seorang guru yang saat mengajar diberi kabar
duka tentang kematian ibunya. Guru itu hanya berucap, "Innalillahi wa inna
ilaihiwajiun", kemudian mengadahkan tangannya sambil berdoa beberapa saat.
Sesudahnya, dia meminta si pembawa kabar untuk kembali dan menitipkan jenazah
ibunya kepada para tetangga terlebih dahulu.
Saat
ditanya "Kenapa tak langsung pulang menemui jenazah ibumu?" oleh si
pembawa kabar, guru itu menjawab, dia masih punya kewajiban menyelesaikan
pelajaran. Menurutnya, hajat anak-anak didiknya tetap lebih penting, di samping
itu adalah kewajibannya, dibanding dengan segera pulang menemui jenazah ibunya.
Dari cerita
itu, Pak Khamdan ingin mengajarkan kepada kami tentang pentingnya mengurus
jenazah dengan baik dan sesegera mungkin. Namun, selain itu, jangan lupa hak
orang lain yang bisa saja bersinggungan dengan keharusan mengurus jenazah.
Soal monil
jenazah tadi, tentu situasinya berbeda dengan ambulans. Mobil ambulans
mengangkut orang yang memerlukan pertolongan medis dengan segera. Mobil itu
menyangkut nyawa orang. Sehingga, tentu saja mobil itu harus diprioritaskan.
Jadi,
sebenarnya, saya masih belum mengerti, kenapa orang begitu ribut saat mengiring
mobil jenazah? Selain mobil itu sendiri yang sudah ribut, plus mengabaikan
lampu merah? Adakah yang bisa membantu memberi penjelasan untuk saya?
*Maaf,
tulisan ini kelewat absurd.
Hi Budi, nice thought tentang jenazah. Bener juga kalau jenazah harus segera dimakamkan. Tapi bener juga kalau hajat orang yang masih hidup itu juga penting. Nah, mungkin yang suka buru-buru sampe make sirine segala itu maunya pemakaman tepat waktu sehingga bisa lanjut ke kegiatan selanjutnya yang menyangkut hajat orang banyak. Malah mblinger gini sik! Hahaha. Yang penting gak kaya orang mau nikahan yang make dikawal segala deh. Udah tau sewa gedung mahal dan hitungannya per-jam, pake gaya make dianter mobil yang bikin ribet pengguna lain (mulai nyinyir). Ah sudahlah.
ReplyDeleteOiya. Logis, dam. Biar semua tetap tepat waktu ya..hehe
DeleteDuh, soal mobil pengantin yang dikawal, kayaknya kamu punya cerita seru deh haha..
Kalau di tradisi Chinese, mobil yang bawa jenazah memang sebisa mungkin nggak boleh berhenti,Di. Menurut kepercayaan mereka, nanti ada pengaruhnya di kehidupan selanjutnya si jenazah.
ReplyDeleteTapi kalau di tradisi kita, nggak tau juga deh ya. Hehehe...memang harus disegerakan, tapi sepertinya nggak perlu gitu juga sih.