Bulan Puasa, Kantor PMI Ramai Sekali
Pekan lalu, sepulang liputan, saya
sengaja mampir ke kantor Palang Merah Indonesia (PMI) di Kramat. Saat turun
dari ojek, saya langsung melongo karena begitu banyaknya manusia di kantor itu.
Saya sengaja memilih hari itu untuk
mendonor karena selain memang sudah jadwalnya, tanggal itu adalah hari
kelahiran ayah saya. Saya sadari, saya memang beruntung hari itu tidak
dijadwalkan meliput ke Parlemen, setelah hari sebelumnya harus berjaga di sana
sampai dini hari. Tetapi, suasana kantor PMI yang penuh sesak, jauh di luar
ekspektasi saya. Mobil-mobil terparkir di tepi jalan raya sampai dua lapis.
Begitu masuk gerbang, di teras gedung sudah banyak orang yang duduk berjajar di
kursi plastik berwarna putih.
Saat memasuki pintu masuk, kerumunan
manusia sungguh luar biasa padat. Untuk menembusnya saja susah. Sebenarnya,
saya tidak langsung mengisi formulir, tetapi langsung berlari ke toilet, yang
ada di seberang lobi. Maklum saja, karena ini bulan puasa, saya bersiap donor
dengan meminum banyak air saat buka puasa tadi. Efeknya ya jadi sering ke
toilet begini.
Usai dari toilet, saya langsung
mengisi formulir dan menyerahkannya pada petugas. Biasanya, hanya ada dua orang
di depan saya yang menunggu namanya dipanggil. Tapi sekarang, rasanya banyak
sekali, saudara-saudara.. Saya mendapat antrean nomor 662, sedangkan saat itu
pemeriksaan hemoglobin baru sekira 630-an. Belum lagi nanti mengantre diperiksa
dokter. Kemudian mengantre lagi untuk pengambilan darah. Astagaa..
Saat itu, saya berpikir, orang
memilih mendonorkan darahnya pada malam hari karena khawatir akan lemas apabila
berdonor di siang hari. Padahal mah enggak juga, kalau sejak malam sebelumnya
sudah mempersiapkan diri. Tapi tetap saja, situasi yang luar biasa ramai ini
sama sekali tidak ada di pikiran saya. Serius, ini sangat lama.
Saya harus membunuh bosan dengan
membaca majalah yang 80 persen isinya sudah saya baca. Mau pegang ponsel, sayangnya
dayanya sudah hampir sekarat. Akhirnya, saya mencoba duduk tenang di bangku
panjang, yang beruntung, saya mendapatkannya. Situasi lobi benar-benar jauh
dari kata nyaman. Pengap dan berisik. Berisik karena bunyi dua printer dan
puluhan orang yang bersuara.
Saya harus bersabar sekitar sejam
untuk bisa dipanggil dan diperiksa hemoglobinnya. Soal hasil, saya tidak pernah
khawatir. Pasti aman, karena tiga bulan yang lalu hasilnya 14,4. Selesai cek
hemoglobin, saya harus kembali duduk sekitar sejam untuk bertemu dokter dan
memeriksakan tekanan darah. Soal tekanan darah, saya yakin juga bagus.
Usai melewati dua pemeriksaan itu,
saya bisa masuk ruang donor. Saat memasuki ruangan itu, saya hanya meletakkan
tas dan kembali berlari ke toilet. Tak lama kemudian, saya baru menyerahkan
kertas hasil pemeriksaan dokter dan mencuci tangan. Sambil menunggu, saya
membaca majalah, sampai akhirnya disapa mbak-mbak (seingat saya namanya Rima).
Mbak yang sebut saja Rima itu
bertanya, "Mbak, mau donor buat siapa?"
Saya jelas bingung mendapat
pertanyaan itu, dan hanya reaksi bodoh yang muncul di wajah saya sambil
berkata, "Ha?"
Mbak Rima mengulang pertanyaannya,
"Sekarang, mbak mau donor buat siapa?"
"Ya buat siapa saja. Saya masih
enggak mengerti dengan pertanyaan itu," saya menjawab sambil nyengir.
Mbak Rima tiba-tiba bercerita, "Aku
baru pertama kali ini donor darah, buat ibu temanku."
"Oooo. Donor pengganti ya?"
Mbak Rima cuma tersenyum, dan tak
lama kemudian namanya dipanggil petugas.
Saya cuma bisa menyemangatinya dengan
berkata, "Semoga berhasil.."
Saat diambil darah, saya sempat
mengobrol dengan petugasnya. Petugas itu menjelaskan, saat Ramadan, suasana
kantor PMI memang sangat ramai. Kebanyakan ada orang yang anggota keluarganya
sedang dirawat di rumah sakit dan memerlukan transfusi darah. Jadilah, kantor
PMI ini dipenuhi oleh para keluarga pasien, pendonor pengganti, beserta orang
yang menemaninya.
Semuanya mendadak nyambung dengan
imbauan lewat pengeras suara yang saya dengar sampai dua kali saat mengantre di
lobi tadi. Intinya, petugas PMI meminta orang yang tidak mendonorkan darahnya,
baik keluarga pasien atau teman pendonor, agar menunggu di teras dan duduk di
bangku putih yang sudah disediakan. Akhirnya, saya mengerti situasi di kantor
PMI itu.
Saya jadi ingat, pertama kali saya
mendonorkan darah juga sebagai donor pengganti, bukan donor sukarela. Saat itu,
sehabis Lebaran, ayah guru saya memerlukan darah untuk operasi. Karena golongan
darahnya cocok, saya mengajukan diri sebagai donor dan pengambilan darah
terjadi di kantor PMI Semarang di daerah Bulu. Saya pikir, itu salah satu
peristiwa yang berkesan saat saya kelas 3 SMA.
Kini, saya semakin menyadari,
kebutuhan darah akan selalu menipis saat memasuki Ramadan dan Lebaran. Situasi
itu selalu terulang, layaknya momen macet di Brebes saat arus mudik. Unit donor
darah di PMI bukannya tanpa siap-siap mengantisipasi kejadian tahunan itu.
Sebelum Ramadan, biasanya mereka menggenjot penerimaan darah dengan membuka
lapak di berbagai tempat. Saat masuk Ramadan pun, biasanya mereka roadshow ke
tempat peribadatan non-muslim untuk menjemput bola, atau di masjid saat malam
hari. Intinya, semua itu ditempuh untuk memenuhi kebutuhan darah yang tak
mungkin menipis.
Tentu saja, kebutuhan darah tak akan
pernah menipis. Pasalnya, jadwal pasien untuk cuci darah, transfusi, atau
operasi tak mungkin ditunda. Itu menyangkut nyawa seseorang. Jadi, saat stok
benar-benar tipis dan tak banyak donor sukarela, PMI akan memberlakukan donor
pengganti. Maksudnya, saat orang harus segera mendapatkan darah, maka harus ada
seseorang lainnya yang mendonorkan darah untuk menambal darah di PMI agar stok
tak sampai kosong.
Jadi, bagi yang sudah jadwalnya
mendonorkan darah, silakan mampir ke kantor-kantor PMI terdekat. Saya yakin,
sepulang dari PMI, Anda akan bahagia karena sudah berbagi...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)