Saturday 10 April 2021

Nyadran

Bagi masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah, acara ziarah kubur sebelum bulan puasa atau nyadran sudah menjadi tradisi. Istilah nyadran sepertinya lebih banyak digunakan masyarakat di selatan Jawa seperti Solo, Boyolali, dan Temanggung. Sementara di bagian utara Jawa seperti Semarang, Demak, dan Kudus, lebih akrab dengan istilah ruwahan (dari kata bulan Ruwah atau Syakban).

Keluarga besar saya termasuk yang rutin menjalankan tradisi ini. Ketika sudah bekerja, beberapa kali saya menyempatkan diri untuk pulang dan mengikuti acara nyadran. Biasanya kalau saya harus piket sewaktu Lebaran, berarti saya harus cuti dan pulang sebelum bulan puasa untuk nyadran. Tapi kalau saya bisa cuti Lebaran, ya artinya tidak bisa ikut nyadran.

Ketika situasi normal, maksudnya sebelum pandemi Covid-19, keluarga besar ibu saya di Demak akan berkumpul untuk nyadran. Ramainya hampir sama seperti hari raya Idulfitri, dengan persiapan yang sudah dilakukan beberapa hari sebelum acara ziarah kubur.

Saat saya kecil, acara nyadran selalu diadakan di rumah kakek-nenek saya. Sekitar satu atau dua hari sebelum acara, sudah ada anggota keluarga yang pergi berbelanja bahan makanan di pasar. Pada H-1 acara, anggota keluarga besar beserta anak-anaknya mulai berdatangan dan menginap di sana. 

Hari H nyadran, pagi-pagi sekali, kesibukan sudah mulai terasa. Kadang ada acara potong kambing yang menjadi tontonan anak-anak, walaupun lebih sering beli daging di pasar. Selain itu, seorang hafiz juga datang untuk melafalkan Alquran.

Bagi anak-anak, acara nyadran menjadi momen untuk bermain dengan sepupu-sepupu. Sementara bagi orang dewasa, kesibukan lebih terasa di dapur. Sebagian lainnya, pergi ke makam untuk mulai bersih-bersih.

Setelah asar, kami semua akan ziarah dan mendoakan para leluhur di makam. Peserta bisa lebih dari 50 orang atau bahkan mencapai 100 orang, baik anggota keluarga maupun para tetangga yang juga diajak. Usai berdoa, di ujung gang pemakaman akan ada mobil pengangkut nasi berkat untuk dibagikan kepada para peserta nyadran.

Belakangan, acara masak-memasak untuk acara nyadran dibuat bergilir ke rumah para anggota keluarga besar. Setiap tahun berpindah-pindah, tetapi tetap ramai. 

Sayangnya, kebiasaan itu harus berubah karena pandemi. Sejak nyadran tahun lalu, acara masak-memasak bersama sudah tidak ada, melainkan langsung memesan kepada jasa katering. Peserta dipangkas menjadi hanya keluarga, yang acara berdoanya juga dibuat beberapa sesi. 

Nyadran tahun ini digelar pada Senin, 5 April 2021. Ibu saya yang mengurusnya. Karena peserta yang ke makam tidak banyak, nasi berkatnya kini langsung dikirim ke rumah-rumah tetangga.

Tradisi nyadran di Demak tentu berbeda dengan kampung ayah saya di Boyolali. Saya tidak pernah mengikuti rangkaian acara puncak untuk nyadran di sana, melainkan hanya mendengar cerita saja. Katanya, acara nyadran di sana diadakan bersama-sama oleh warga satu kampung, bukan per keluarga. Dulunya, juga ada kebiasaan mengadakan pertunjukan wayangan di sebelah pemakaman, tetapi kini sudah diganti dengan pengajian.

Keluarga kami selalu datang untuk nyadran di Boyolali ketika bertepatan dengan hari libur, jadi bukan pas acara puncak. Acara di sana juga hanya bersih-bersih, tabur bunga, dan berdoa. 

Oh, soal bebersih makam, tentu situasi di kampung ayah saya di Boyolali berbeda dengan TPU Bonoloyo Solo yang ramai pembersih makam ketika nyadran. Ketika mobil parkir, biasanya memang ada ibu-ibu yang sigap mengambil sapu dan menyapa peziarah. Rumah ibu ini persis ada di depan pemakaman.

Ibu ini akan bertanya kami mau meziarahi siapa. Setelahnya, dia akan langsung mendatangi makam yang ingin kami kunjungi dan langsung bebersih. Saya sangat takjub dengan kemampuannya mengingat lokasi makam yang ada di sana. 

Ketika makam sudah bersih, ibu saya tinggal menabur bunga saja. Biasanya kami ke sana hanya untuk menziarahi makam kakek-nenek dan buyut. Tetapi si ibu pembersih makam ini akan otomatis bercerita silsilah keluarga kami yang bahkan ayah saya saja tidak paham, dan kemudian menunjukkan makam-makamnya. Dari kakak-adik kakek saya, sampai saudara-saudara kakek buyut saya. 

Sepertinya ibu ini sangat hafal dengan silsilah keluarga semua warga di kampung. Dan setelah bebersih dan mendapat upah, ibu itu akan pergi sehingga kami bisa berdoa dengan tenang. 

Saya sudah beberapa tahun tidak ikut nyadran di Boyolali. Apalagi ketika pandemi, ikut acara di Demak juga tidak bisa saya lakukan. Semoga pandemi segera berlalu. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)