foto: google.com |
“Jangan
lihat buku hanya dari sampul”. Pesatah ini pasti pernah, atau sangat sering
teman-teman dengar. Tidak hanya dalam arti sebenaranya, “buku” sebagai obyek.
Lebih dari itu, pepatah ini juga berpesan bagaimana kita menilai orang lain
yang terdiri penampilan dan hati. Tapi, benar tidak ya, kita harus
menghilangkan kesan penampilan, atau sampul dalam buku itu?
Kenapa
buku dijadikan perumpamaan, atau bahkan parameter dalam penilaian? Padahal,
ketika kita, termasuk saya, jika ingin membaca atau membeli buku, sampul selalu
yang pertama diperhatikan. Iya, bisa jadi karena buku yang ingin kita beli
masih tersegel plastik pembungkus, memaksa kita hanya melihat sampul. Bukankah
ini tetap berarti kita hanya melihat sampul?
Akhir
April lalu, saya bersama adik, datang ke Jogjakarta untuk menghadiri sebuah
seminar tentang menulis. Sebenarnya, saya menemaninya ikut seminar ini sebatas
kado ulang tahunnya. Tapi, tetap ada hikmah dan pelajaran yang saya dapat dari
acara itu.
Dwi
Helly Purnomo, salah satu pemateri seminar, memberi saya inspirasi untuk
menulis buku (blog ini salah satu langkahnya, hehe). Tapi, buku bagus saja
tidak cukup, jika tidak dibeli dan dibaca orang. Membuat orang tertarik membaca
atau membeli saja, sulit sekali rasanya. Sampul yang menarik, menjadi cara
terefektif meluluhkan hati orang untuk menyentuk buku kita.
foto: google.com |
Pepatah
yang menyebutkan; jangan lihat buku hanya dari sampul, sangat jelas ditolak Pak
Dwi. Terang saja, ia telah berpengalaman “menjual” buku sebagai editor Gramedia
Pustaka Utama selama 15 tahun, sebelum akhirnya berhenti. Hasilnya, pepatah itu
tidak berlaku bagi “buku” yang menjadi kunci pepatah. Betapa sampul sebuah
buku, menentukan nasib suku itu sendiri, apakah memikat dan dibeli orang, atau
menumpuk-berdebu di rak hingga ditarik penerbit kembali.
Ah,
saya pun menyadari, jika apa yang dikatakan Pak Dwi memang benar adanya. Tidak
berhasil menemukan buku yang bebas dari segel, memaksa kita puas hanya membaca
sinopsis atau testimoni buku. Untuk membelinya, kita harus lama
mempertimbangkan, apakah nantinya menyesal atau tidak, telah membeli buku
bersegel itu.
Memang
pepatah itu menyantumkan kata “hanya”, yang berarti kita harus mempertimbangkan
aspek lain dalam menilai. Dalam kasus buku, bisa jadi aspek lain itu penulis,
jenis, atau materi yang diangkat. Atau dalam posisi menilai seseorang, kita
juga harus mempertimbangkan “hati”nya. Meski begitu, jangan lupakan juga peran
penting kemasan yang membungkusnya. Bukankah sampul yang menarik, secara tidak
langsung memberi kesan baik pula pada isinya.
Ini
hanya pendapat pribadi saya. Jika teman-teman pembaca masih tetap “setia”
dengan pepatah “jangan lihat buku hanya dari sampul”, saya tidak memaksa. Atau
lebih baik lagi, jika dibagi saja pengalaman dari teman-teman sekalian tentang
“sampul”. Saya selalu tertarik dan suka dengan perbedaan. Bagaimana?
kebaikan terlihat dari sikap dan perbuatan entah disalurkan melalui suara , gerakan / perbuatan dan kecerdasan bahkan dengan diam dengan maksud tidak menyakiti seseorang .
ReplyDeletetidak peduli apapun tampilan orang tsbut .#blackmetal