“Pada tahun 1800-an, orang-orang
Indonesia hanya bisa gigit jari, saat melihat orang Belanda naik sepeda.”
Kalimat itu mengawali dongeng berjudul
Samurai Bersepeda pada Minggu, 15 September 2013. Dongeng tentang sepeda itu, disampaikan seorang pemuda
Indonesia penggemar sepeda. Pemuda itu diperankan Rangga Riantiarno. Selain
pemuda Indonesia penggemar sepeda, dalam dongeng juga ada serdadu sepeda
Jepang, yang diperankan Yoga. Keduanya berasal dari Teater Koma.
Pemuda Indonesia penggemar Sepeda |
Pada masa 1942, sepeda-sepeda itu, digunakan oleh 50 ribu serdadu Nippon
melewati jalan perkampungan yang kecil dan sulit dilalui kendaraan tempur
biasa. Inggris dan sekutunya yang menunggu mereka di medan pertempuran
terkecoh. “Lihat ke depan, eh, malah pantatnya dicaplok Jepang...," begitulah
kalimat saat pemuda itu mendongeng. Dia menggunakan bahasa yang ringan dan kocak. Bahkan,
saat mendongeng, pemuda itu seolah-olah diawasi oleh serdadu Jepang. Jadi, saat
suara sang pemuda keras dan berisik, maka dia akan dibentak serdadu Jepang.
Lucunya, setiap dibentak, justru ditertawakan semua peserta.
Mengenang masa sepeda dianggap barang mewah, pemuda itu berkeinginan
membuat harga sepeda terjangkau oleh masyarakat. Sehingga, setiap orang bisa
memiliki sepeda dan di jalanan akan mudah ditemui masyarakat Indonesia menaiki
sepeda dengan bangga.
Pemuda Indonesia penggemar sepeda dibentak serdadu Jepang |
Meski dongeng itu diawali dengan kejayaan,
tetap ada pilu seputar sepeda. Saat ini, sepeda kian ditinggalkan sebagai alat
transportasi masyarakat. Bahkan, di pedesaan, sepeda mulai bergeser karena
kehadiran sepeda motor. Anak-anak, yang beberapa tahun lalu masih sangat akrab
dengan sepeda, kini juga telah memilih sepeda motor atau angkot sebagai alat
transportasinya.
Beruntung, masyarakat perkotaan mulai sadar
tentang manfaat sepeda, sehingga mereka ingin membangkitkan lagi alat
transportasi ramah lingkungan itu. Kehadiran komunitas sepeda menjadi bukti kesungguhan
mereka membangkitkan sepeda.
***
Dongeng Samurai Sepeda itu dihadirkan
Museum Nasional dalam rangkaian kegiatan berjudul Akhir Pekan di Museum atau @museum_weekend. Tujuannya,
untuk mengakrabkan sekaligus mengajak masyarakat mengunjungi museum. Dongeng itu
hadir setiap hari Minggu selama bulan September, dengan tema berbeda setiap pekan.
Kata panitia, tema itu disesuaikan dengan koleksi museum. Nah, Samurai
Bersepeda itu hadir di pekan kedua, setelah pekan lalu digelar dongeng berjudul
Puputan Klungkung.
Kita pasti ingat, pada Kamis, 12 September 2013, ada koleksi Museum Nasional yang dicuri. Beruntung, agenda berdongeng yang telah direncanakan dengan masak ini tetap terselenggara, karena
lokasi acara berada di gedung yang berbeda dengan lokasi pencurian. Melalui dongeng ini pula, Museum Nasional ingin menyampaikan, “Di sini kita
ingin menunjukkan, bahwa ada banyak orang yang menyukai museum, ketimbang yang
mau nyolong.”
Museum Nasional atau Museum Gajah |
Suasana yang dibangun
memang sangat meriah. Berlokasi di lantai dua Gedung Baru Museum Nasional,
anak-anak, remaja, serta orang dewasa, berkumpul dan duduk lesehan. Bila ada
aba-aba “Museum Nasional”, secara serentak, semua peserta akan berteriak, “Hebaaattt!!!!”
Asik kan?!
Dalam sehari, dongeng
itu diputar tiga kali, pada pukul 08.30, 09.30, dan 10.30, selama sekitar 30 menit. Pengunjung
yang ingin menyaksikan dongeng itu, tidak dikenakan biaya alias GRATIS! Namun,
pengunjung akan tetap dikenakan biaya masuk museum seharga Rp 5 ribu. Ah, tetap
murah lah, dibanding pengalaman dan ilmu yang bakal diperoleh saat masuk
museum. Pasalnya, usai mengikuti dongeng, pengunjung tetap bisa menjelajahi
museum dan melihat semua koleksi tanpa dikenakan biaya lagi.
Berkeliling museum, dipandu Pak Zainudin |
Nah, ini dia, setelah
mengikuti dongeng, ada pemandu museum yang menjelaskan semua koleksi kepada pengunjung. Sayangnya, karena dongeng digelar di lantai dua, pemandu
museum itu hanya menjelaskan koleksi di lantai dua. Sementara koleksi di lantai
lainnya, pengunjung akan berjelajah sendiri.
***
Saya menjadi peserta
dongeng itu dengan memuat unsur keberuntungan. Jadi, ceritanya saya telat mendaftarkan
diri sebagai peserta. Iya, karena setiap sesi, peserta hanya dibatasi 20 orang.
Nah, oleh sang admin, saya disarankan mengikuti dongeng pekan depan. Padahal, Selasa,
17 September 2013, saya harus kembali ke kampus di Semarang. He eh, magangnya
sudah selesai.
Mungkin iba atau
bagaimana, sang admin justru menyarankan saya untuk langsung hadir. Siapa tahu,
bisa nyempil-nyempil peserta yang lain, begitu katanya. Jadilah, saya langsung
jejingkrakkan karena bisa ikut mendengarkan dongeng.
Oh iya, oleh sang
admin, saya juga disarankan mengikuti sesi yang paling pagi, pukul 08.30. Jadilah,
esok harinya saya berangkat dari Kebayoran pukul 07.00 teng, langsung menuju terminal
Blok M, dan menaiki transJakarta, demi tidak ketinggalan cerita. Tidak
tahu karena terlalu semangat atau memang kurang perhitungan, saya lupa itu hari
Minggu nan sepi dan antimacet.
Saya sampai di lokasi
hanya perlu 35 menit perjalanan. Iya, 07.35 saya sudah di lokasi, dan berarti
harus menunggu hampir satu jam untuk mengikuti dongeng. Yasudah, saya nongkrong
dulu di shelter busway Monas dan sengaja tidak langsung menuju Museum Nasional.
Itu jadi tempat strategis, karena menghadap langsung ke museum. Jadi, saat museum
mulai rame, saya baru menyebrang ke lokasi, hahaha.
***
Saya ingin berterima
kasih kepada Museum Nasional, karena diberi kesempatan menyaksikan sebuah
tontonan yang benar-benar menarik dan sarat edukasi. (Selain itu, karena
mengikuti dongeng ini, saya jadi punya cerita menarik untuk teman-teman di
kantor dan di Semarang, plus bikin mereka iri. *tampar Dian* *abaikan* #plak). Semoga
acara ini bisa terselenggara lagi, atau bahkan bisa sepanjang tahun. Semoga lagi,
acara keren itu bisa diikuti oleh semua museum di Indonesia, agar secara
bersama bisa menebarkan semangat cinta museum di tengah masyarakat.
Tentunya, langkah “agresif”
para pegiat museum untuk menarik pengunjung, harus kita dukung ya. Semangat
teman-teman...
****
sampai sekarang gazel juga masih mahaaaaaal ada yang setara motor pa mobil, suka banget sama cerita dongeng nya
ReplyDeletekenalkan saya ananda ranz, ingin membawa kejayaan Sepeda kembali dengan cara yang berbeda :p
Iya, mahal. Dian pernah shock waktu nanya harga sepeda yang nyampe Rp 20 juta! Ckckck.
DeleteSip, semoga sepeda kembali berjaya! Aamiin. :D