Rabu, 25 September 2013.
Ruang jurusan yang sepi dan gelap. |
Memasuki ruang jurusan, suasana masih sepi. Landai, seperti
biasanya jam-jam kuliah. Aku langsung menuju bagian belakang, di balik
bilik-bilik meja para dosen. Hap, hap hap. Segera bergegaslah, aku nyalakan
laptop dan memilah-milah contoh laporan magang dari bidang jurnalistik. Akhirnya,
aku menemukan contoh laporan dari kakak angkatan yang magang di Antara dan
Wawasan.
Bekal nongkrong di perpustakaan mini itu cuma dua bungkus
Cha-Cha. Tanpa sarapan sebelumnya. Kalau dihitung-hitung, waktu yang aku
habiskan untuk nongkrong di ruangan itu sekitar enam jam, dari pukul 10.30
sampai 16.30. Tapi terpotong waktu ngerumpi bareng Dhea dan Vella, serta beli
air minum ke kantin Fakultas Hukum, setelah 800 mililiter air di tumbler ludes.
Pukul 16.00, masih seru-serunya ngetik, tetiba beberapa
lampu mati. Refleks, aku memekik, dan menoleh ke saklar. Ternyata dosen
pembimbing magangku, Mas TL, yang mematikan lampu. “Loh, kamu masih di sini? Saya
pikir sudah tidak ada orang,” kata Mas TL. Dengan ringan, aku menjawab,“Iya,
Mas. Sebentar lagi pulang kok.”
Sembari menyalakan kembali lampu ruang jurusan, Mas TL
berpesan untuk mematikan lampu kalau sudah selesai. “Kalau sudah selesai,
lampunya dimatikan ya.” Jawabanku sih standar, “Siap, Mas. Terima kasih.”
Di lorong ruang jurusan, ternyata juga ada Mas Hedi, dosen
waliku, yang ikutan nimbrung. “Wah, Dian masih di sini toh. Pulang lah, Yan,
sudah sepi ini,” kata dia. Jawabanku masih sama, “Iya, Mas. Sebentar lagi.”
Aku kembali tenggelam dengan laporan magang. Sekitar 20
menit kemudian, lampu kembali dimatikan. Kali ini, yang mematikan adalah Mas
Parman, petugas di ruang jurusan ini. Aku sih berpikir, Mas Parman sempat
melihatku, dan mematikan lampu sebagai strategi untuk mengusirku.
Aku sadar dengan “kode” itu. akhirnya, aku mematikan laptop,
mengembalikan contoh laporan magang, dan mengemas barang dengan santai. Sampai
terdengar bunyi pintu ruang jurusan ditutup, aku masih cuek saja.
Saat hendak meninggalkan ruang jurusan, dan membuka pintu,,,
“Klek..” Pintu tidak mau terbuka. Masih penasaran, aku coba berulang-ulang,
hingga akhirnya sadar bahwa telah terkunci di ruang jurusan yang mulai gelap
itu. Ya Tuhan, apa-apaan ini???
Panik? Jelas lah.
Aku melongok ke kaca kecil yang ada di pintu. Eh, ruang
kepegawaian yang lokasinya di seberang ruang jurusan, pintunya terbuka. Sayangnya,
pintu itu ada sekitar lima meter dari pintu ruang jurusan. Dan ditunggu lima
menit, tidak ada orang yang masuk atau keluar dari pintu itu. Sialnya, ruang
jurusan Ilmu Komunikasi ada di pojok gedung, jadi seperti mustahil mengharapkan
orang lewat di depan pintu. Sebenarnya, ada sih, tangga darurat di pojokan
gedung, tapi itu sangat jarang digunakan.
Akhirnya aku mencoba menelepon kedua sahabat. Vella orang
pertama yang aku coba telepon, karena dia ada di kampus, sedang mengikuti
kuliah. Tapi sewaktu dicoba, nomornya enggak aktif. Gantian coba telepon Dhea.
Hasilnya, “ Tut, tut, tut.” Tidak diangkat. Dicoba sekali lagi, dan untungnya,
diangkat. Begini nih, dialognya:
Dhea: Halooo
Dian: Halo, Ucut. Aku terkunci di ruang jurusan, Cut. Haduh,
gimana ya? Ini sama sekali enggak ada yang lewat. Aku harus gimana ya? Aku
bingung di sini.
Dhea: Terkunci di ruang jurusan? Kok bisa? Oke, tenang, Di.
Tenang...
Dian: Haduh, masak iya aku kudu nginep di ruang jurusan?
Dhea: Kamu tarik napas dulu. Kita omongin pelan-pelan.
Aku menuruti kata-kata Dhea.
Dian: Cut, aku bisa minta tolong siapa ya? Di sini cuma ada
daftar kontak dosen. Masak iya aku telepon dosen buat minta tolong dibukain
pintu jurusan?
Dhea: Kamu coba hubungi Mas Shin-Chan atau Mas Eko, deh?
*Mas Shin-Chan dan Mas Eko adalah pegawai TU di kampus, yang sudah lumayan
akrab lah.
Dian: Aku nggak ada kontaknya...
Dhea: Aku juga nggak ada kontak orang TU, Di.
Dian: Oh, gitu ya. Apa berarti aku kudu nginep di sini?
Dhea: Di, aku tanya ke anak-anak dulu ya, mungkin ada yang
bisa minta tolong ke TU untuk bukain pintu. Aku hubungi Ulil sekarang deh,
mungkin dia bisa nanyain.
Dian: Hm.. oke oke.
Dhea: Nanti segera aku kabari deh, kamu sabar dulu ya.
Dian: Siap, makasih banget ya, Cut.
***
Sembari menunggu kabar Dhea, aku mencoba pintu lain di sisi
ruang jurusan. Hasilnya sama, terkunci. (Ya iya lah)
Aku lihat ada deretan jendela di belakang kursi para dosen.
Jendela itu menghadap ke parkiran dosen. Dari ukurannya, sebenarnya muat saja untuk aku lewati. Aku menoleh ke langit-langit
ruang jurusan. Sipp, tidak ada CCTV. Tapi masih aku ragu untuk lewat jendela.
Dhea menelepon. Sambil ngangkat telepon, aku berjalan kembali
ke arah pintu.
Dian: Halo..
Dhea: Dian, kamu masih di sana?
Dian: Iyalah, aku kan masih terkunci di sini.
Dhea: Di, tadi aku sudah hubungi Ulil, dia mau minta kontak
orang TU ke Yuyun.
Dian: Hmm. Oke. Makasih ya..
Dhea: Di, kalau di sana, kamu lihat ada jendela yang bisa
dilewati nggak?
Dian: Ada, Cut. Di bagian belakang ruang jurusan.
Aku langsung beranjak kembali ke jendela.
Dian: Sekarang aku lagi di depan jendela, di belakang
mejanya Mas Yul.
Dhea: Kamu lewat jendela aja, Di.
Dian: Hah? Enggak mau ah. Masak lewat jendela? Kalau nanti
jendelanya dibuka dari dalam, berarti pas aku keluar, jendelanya enggak bisa
dikunci lagi dong? Kalau nanti malam malah kemalingan gimana?
Dhea: Asal nanti ditutup rapat enggak akan kenapa-kenapa.
Dian: Terus kalau aku lewat jendela, pas ada dosen yang di
parkiran, mereka bakal mikir apa aku lewat jendela?
Dhea: Nggak papa, daripada nggak bisa keluar?
Telepon tetiba terputus.
Aku masih mempertimbangkan ide Dhea. Aku kembali berjalan ke
meja Mas Parman yang ada di depan pintu. Di meja kaca, ada daftar telepon di
fakultas, dan salah satunya bernama: Operator Tata Usaha. Nah, ini nih yang
harusnya ditelepon. Tapi aku ragu lagi, jangan-jangan nanti malah ditertawakan.
SMS masuk, dari Yuyun: Dian, coba ini, Mas Parman (nyebutin
nomor telepon)
Naaaahhh.. Yes yes yes.
Baru mau membalas SMS Yuyun, Dhea kembali telepon.
Dian: Cut, aku dapat kontaknya Mas Parman dari Yuyun.
Dhea: Kamu mau hubungi mas-nya? Mending lewat jendela aja.
Dian: Hmm.. Dicoba Mas Parman dulu deh ya. Nanti aku kabari
lagi...
***
Telepon Mas Parman:
Mas Parman: Iyaa..
Dian: Halo, Mas Parman. Saya Dian, Mas, mahasiswa Komunikasi.
Mas, sekarang saya masih di ruang Jurusan, dan terkunci di sini. Tolong
bukain..
Mas Parman: Oh gitu, iya iya.
Dian: Wah, terima kasih sekali, mas. Saya tunggu ya..
***
Dan ketahuilah saudara-saudara, nada suaranya Mas Parman itu datar yang teramat
datar. Hmm..
Aku kembali menuju pintu. Duduk bersandar sambil ndelongsor
di tembok samping pintu. Sambil tetap makan Cha-Cha.
***
Lima menit, lewat. Sepuluh menit, lewat. Hampir 15 menit,
“Krek krek krek.”
ITU SUARA PINTU SEDANG DIBUKA!!!!
Aku langsung bangkit dari duduk dan berdiri menghadap pintu.
Jeng jeng, yang membukakan adalah Pak Satpam.
Sewaktu terbuka, aku langsung teriak, “Waaah, terima kasih
banget ya, Pak...”
Pak Satpam: Iya, Mbak. Udah, jangan nangis.
Dian: (kaget) Saya enggak nangis, Pak..
Pak Satpam: Mukanya kayak nangis gitu (enak banget nih, si
bapak kalau komentar). Di dalam masih ada orang?
Dian: Udah nggak ada orang sama sekali kok, Pak. Dikunci
lagi aja.
Pak Satpam: Nggak ada orang sama sekali? Apa jangan-jangan
Mbak-nya bukan orang?
Dian: Enak aja..
Setelah Pak Satpam mengunci pintu, kami berjalan menuju
lobi. Aku langsung terduduk di kursi, dengan tangan gemetaran. Langsung lah,
aku kabari semua orang yang tadi aku ributi selama terkunci. Respon mereka?
Jangan ditanya deh, intinya menertawakan!
Pas aku hendak keluar kampus dengan melewati pos satpam, aku
masih melihat si Pak Satpam cengar cengir.
****
Sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik menuliskan cerita
konyol ini di blog. Sama sekali. Ya, karena aku pikir itu cerita memalukan yang
tidak perlu diketahui orang banyak. Tapi, ternyata di kampus sudah banyak yang
mengetahuinya. Mereka banyak yang bertanya. Jadilah, biar saja dipostingkan,
biar mereka tidak tanya-tanya lagi. Dongkol lah, kalau aku disuruh
ngulang-ngulang cerita. Tapi, ternyata kabar terkunci sudah menyebar juga di
antara satpam kampus. Beuuhh..
Berpas-pasan sama Pak Satpam itu, dia kembali bilang,
“Jangan nangis lagi ya, Mbak.”
Ciaaaatttt. Serius. Sumpah deh, aku enggak nangis gara-gara
terkunci. Suer..
Kemudian, keesokan harinya, sewaktu meninggalkan parkiran,
semua satpam ketawa-tawa pas aku lewat. Tak lupa mereka bilang, “Awas terkunci
lagi, ya Mbak.” Hmm.. Sial ah kalau ini, masih terbawa-bawa aja kabarnya.
****
Kartu parkir nomor 900. |
Jumat, 27 September 2013. Pukul 07.00.
Memasuki parkiran bersama Vella, menerima kartu tanda
parkir. Nomor 900.
Pak Satpam Petugas Parkir: Mbak, ini saya kasih 900. Jangan
rebutan ya. Dan kalau kekunci, jangan nangis lagi.
Aku langsung melotot tuh, langsung bilang: Pak, saya enggak
pernah nangis kalau terkunci...
Bapaknya cuma kecikikan.
Selesai parkir, hendak turun ke kampus, ternyata pas-pasan
lagi dengan si Pak Satpam. Dari kejauhan, dia sudah cengar cengir.
Aku langsung berkata, “Pak, kabarnya jangan disebar-sebar
lah...”
Pak Satpam: Saya nggak nyebar, Mbak. Semua petugas yang
kemarin pulang sore, sudah tahu semua kok..
Hmmm... ini menyebalkan. Apalagi Vella yang terus-terusan
ketawa sejak masuk parkiran..
***
Pas pulang juga sama saja. Sewaktu mengembalikan kartu tanda
parkir, si Pak Satpam Petugas Parkir berkomentar, “Loh, kok uang 900-nya masih
utuh? Tadi enggak jajan? Yaudah, awas ya, kalau terkunci lagi.”
Seperti biasa, kalimat itu terulang lagi.
**********
hahahaha.....Wkwkwwkwk.....jangan menangis, Dian..... :P
ReplyDeletebahhh...penasaran sm muka dian pas panik kmrn.pasti makin kece ;P
ReplyDeletediyaaannn.. haha dasar! cubit ahh, besok sangu chacha banyak aja. kali kalo kekunci lagi bisa buat temen tidur sampe pagi *eehhh
ReplyDeletemau ga nyebar, ini malah disebar diblog,haha
ReplyDelete