Narsis di dalam tenda. |
*Maaf sebelumnya, jika tulisan ini agak basi. Alasan sampai
basi, aku yakin kalian tahu jawabannya :D
Entah sudah kali keberapa Vella (Ucil), Dhea (Cucut), dan aku
merencanakan camping bersama. Mungkin
lima atau sepuluh kali *lebay. Tapi selalu saja, gagal terlaksana.
Rencana camping
sudah bulat. Kami langsung bergegas menyusun apa saja yang sekiranya
dibutuhkan. Hal paling krusial tentu saja alat. Kami langsung menghubungi Erwin.
Dari si kolektor alat outdoor itu,
kami meminjam tenda, matras, dan nesting. Untuk kompor, kami menyewa di Uluk-uluk.
Sabtu, sekitar pukul 15.00, Dhea sudah ada di kosanku. Saat
itu, aku ketiduran, dan terbangun karena Dhea tiba-tiba sudah ada di dalam
kamar. Sambil aku bersiap-siap, Dhea dan Vella akan mengambil pinjaman tenda,
matras, dan nesting.
Saat berkumpul kembali di kosanku, semua barang kami di-pack ulang. Alat dan logistik dibagi ke
dalam tiga ransel. Kompor sewaan juga kami coba, khawatir kalau justru barangnya
rusak dan tidak bisa digunakan. Di dalam kamar, kami yang terbiasa memakai parafin,
ternyata agak kesusahan menyalakan kompor gas. Saat terdengar bunyi desisan gas,
Dhea langsung memantik api. Tiba-tiba.. Wuuuuusss.. Api kompor menyala sangat
besar. Dhea berusaha mengecilkan api, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Api semakin
besar! Aku pun cuma bisa berkomentar pasrah, “Mbakar kosku...”
Sebelum meninggalkan Tembalang, kami sempatkan mengisi perut
terlebih dahulu. Barulah saat menjelang senja, kami benar-benar menuju lokasi camping. Selama perjalanan, kami harus mampir
ke beberapa tempat semisal minimarket, toko kelontong, warung bensin eceran, toko
outdoor, dan musala. Akibatnya, waktu
tempuh menuju basecamp Gunung Merbabu
meleset jauh dari estimasi.
Mungkin karena faktor lama tidak ke gunung, saat menuju
lokasi pendirian tenda, aku dan Vella mudah sekali lelah. Sangat rewel. Kemudian,
beberapa kali kami malah menyarankan mendirikan tenda di tengah jalan. Awalnya
bertanya, “Tempatnya masih jauh ya? Berapa lama lagi?”, lalu “Buat tenda di
sini aja, gimana?”, “Kalau di situ, gimana?”, hingga akhirnya dengan sotoy aku memberi
usul konyol, “Eh, kayaknya di situ lokasinya enak buat diriin tenda”. Namun
sayangnya, jawaban Dhea selalu sama, “Tanahnya miring. Kita cari yang lebih datar.”
Akhirnya, kami menemukan lokasi yang sejak tadi dicari. Kami
langsung mendirikan tenda. Tapi, tunggu dulu. Setelah dipikir-dipikir, kok tanah
tempat kami mendirikan tenda masih agak miring ya? Kami segera berpikir untuk
memindahkan tenda ke tempat yang lebih datar. Walhasil, kami bertiga secara
bersama-sama menggotong tenda yang sudah terlanjur jadi itu ke tempat datar
yang ditunjuk Dhea.
Setelah tenda beres, kami segera menyalakan kompor. Kami merebus
air untuk membuat minuman hangat, dilanjutkan memasak sarden. Kemudian, beralih
ke menu berikutnya: mi goreng.
Saat tengah merebus air untuk memasak mi, kami mendengar
suara raungan “Auuuuuu” dari kejauhan. Entah itu anjing atau serigala. Aku abai
saja dengan suara itu dan masih belum merasa khawatir sama sekali. Semakin
lama, suara itu terasa semakin dekat dan jelas.
Dhea terdiam, lalu mengambil victorinox dan mempersiapkan pisau.
Tak berapa lama, Vella ke tenda mengambil cutter. Apakah aku harus ikut ambil
senjata? Akhirnya pisau yang tadinya untuk memotong sayur langsung aku sambar.
Suara rauman masih terus terdengar. Tiba-tiba dari arah
berlawanan juga muncul suara serupa. Jadilah, kini ada semacam adegan
sahut-sahutan antara dua anjing (atau serigala) yang terpisahkan jarak,
sementara kami ada di antara mereka *duileeehhh. Di tengah suara itu, Dhea
bertanya, “Kita geser ke basecamp
gimana?” Aku masih tidak mengerti. Apakah rauman itu tanda bahaya? Bisa saja
kan, itu anjing pemburu? Tapi, kalau itu ajakan Dhea, berarti mutlak harus
diikuti. Itu bukan ide atau saran, tapi
sesuatu yang harus kami lakukan.
Dhea segera mematikan kompor. Memindahkan beberapa barang ke
dalam tenda, dan menyisakan beberapa di antaranya tetap berantakan di luar. Pintu
tenda belum tertutup. Aku mencoba melepaskan kaitan untuk menutup tenda, tapi Dhea
dan Vella lebih memintaku segera turun ke basecamp.
Yasudahlah, aku menurut saja.
Kami berjalan cepat. Tanpa komando, tiba-tiba kami berlari. Hingga
sampai di perkampungan, kami masih gemetaran. Di situ aku tersadar, pisau yang
tadi aku simpan di kantong celana hilang.
Kami memilih duduk-duduk di teras masjid. Setelah tenang,
kami kembali berjalan menuju basecamp.
Setelah bercerita tentang suara rauman itu, kami disarankan kembali ke tenda
untuk mengemasi barang dan tidur di basecamp saja.
Kami duduk di persimpangan jalan, memikirkan alternatif yang
harus diambil. Apakah kembali ke tenda dan bermalam di sana atau cukup
mengambil barang lalu bermalam di basecamp? Akhirnya, kami memilih mengemasi
barang, lalu bermalam di basecamp.
Saat perjalanan kembali ke tenda, hampir tidak ada pembicaraan.
Semua diam, atau mungkin aku yang mengatakan beberapa kalimat, semisal “Nyalain
senter, nggak papa kan ya?” jawaban yang aku terima juga tidak panjang-panjang
amat. Sepanjang perjalanan, kami mempersiapkan diri menjumpai tenda dalam
keadan porak poranda.
Syukurlah, tenda tidak berubah sama sekali. Tetap berantakan seperti
yang kami timbulkan sendiri. Tidak ada tanda-tanda orang atau binatang yang
menghampiri tenda kami.
Menu makan malam. |
Kami bersiap tidur. Posisinya aku dan Vella di pinggir,
sementara Dhea di tengah. Kami menyiapkan strategi berjaga secara bergilir
untuk mengantisipasi datangnya serangan. Dan, kejutannya—eh, kami sama sekali
nggak terkejut ding—saat Dhea yang tadinya bilang panik bin khawatir akibat suara
rauman, justru yang pertama tertidur dengan pulasnya. Aku dan Vella masih tetap
kesulitan memejamkan mata. Bukan karena khawatir, tapi pukul 23.00 menurutku
masih terlalu sore untuk tidur. Toh, akhirnya kami bisa tidur juga, meski
sebentar-sebentar terbangun.
Di depan tenda kami yang berupa jurang terlihat sangat jelas.
Pohon-pohon terlihat berdiri miring, dengan degradasi warna langit yang jernih,
tanpa kabut sama sekali. Pemandangan itu sangat kontras dengan yang aku lihat
dini hari tadi (ya, pukul 02.00-an, aku sempat ke luar tenda. Langitnya putih
pekat, bulannya tidak terlihat. Kabut sangat tebal).
Urusan memasak untuk sarapan, kami serahkan kepada Dhea. Dia yang paling bersemangat menyalakan kompor, merebus air, sampai memasak. Setelah itu, kami sarapan bersama. Sesekali, ada pencari rumput dan petani brokoli yang lewat di depan kami.
Usai sarapan, tentu saja, aksi foto-foto. Dan ya, seperti
yang kalian duga, pose-pose ajaib selalu muncul dari Dhea dan Vella. Aku sih, seperti
biasa aja, hahaha.
Sampai jumpa lagi, di acara Camping Cerita bulan Juni....
Bulan Juni mau kemping dimana lagi ya kita? :)
ReplyDeleteEhm, aku pikir, lebih asik kalau lokasinya ditentukan H-1 keberangkatan. Kayak kemarinnn :D
DeleteHm.....cukup keren (dan menegangkan) juga acara liburan ke gunungnya ya? Kalau kami kemarin malah ke pulau.... :D
ReplyDeleteAaaaa.. Aku udah baca tulisanmu yang ke Liukang. Kenapa ya, di Sulawesi ada banyak tempat keren kayak begitu, huhuhu..
Deleteasemm, aku mbaca ini di kantor sampe ngakak guling-guling nih.. kapan lagi nih, kapaannnn :D
ReplyDeleteHahaha. Redakturmu pasti terheran-heran.
DeleteHaduh, segerain aja deh Cut. Rencana kita yang bikin camcer bulan Juni kan udah gagal :(
good post
ReplyDelete