Sumber: talkleft.com |
Sampai tahun ini,
sudah ada lebih dari tujuh miliar manusia yang menghuni bumi. Namun, kisaran
angka tujuh miliar sepertinya tak akan bertahan lama, sebab diperkirakan jumlah
penduduk dunia akan mencapai delapan miliar pada 2025. Ya, ada miliaran jiwa
yang semuanya tinggal di bumi. Masalahnya, meski jumlah penduduk dunia terus
meningkat, ukuran bumi sama sekali tidak bertambah besar. Tentunya, itu akan
membuat bumi semakin sesak oleh manusia.
Menurut lembaga
perdamaian dunia PBB, Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang angka
penduduk terbesar di bumi ini. Dengan jumlah penduduk mencapai 237.641.326 jiwa,
Indonesia berada pada peringkat keempat negara terpadat di dunia. Waw. Apakah
ini benar-benar sebuah prestasi? Tunggu dulu...
Setiap kali
diadakan sensus, jumlah penduduk Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Penduduk
Indonesia yang berjumlah 237.641.326 adalah hasil sensus pada tahun 2010,
dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49 persen dalam periode tahun
2000-2010. Melihat tren peningkatan jumlah penduduk yang sedemikian besar,
pemerintah bahkan memproyeksikan penduduk Indonesia di tahun 2035 mencapai 305,6
juta jiwa atau naik 28 persen.
Indonesia
memang dianugerahi wilayah yang luas untuk dihuni. Namun, apakah wilayah yang
sedemikian luas itu otomatis menjamin penduduknya hidup layak? Nyatanya, tidak
semudah itu. Perlu waktu lama untuk meratakan pembangunan di negeri ini. Perlu
waktu bertahun-tahun untuk bisa membangun aneka fasilitas di negeri kepulauan
ini.
Meski memiliki
sekitar 17.000 pulau, ternyata penduduk Indonesia hanya memfavoritkan beberapa
pulau saja untuk dijadikan tempat tinggal. Sebut saja kepadatan penduduk di Pulau
Jawa yang sudah jauh melampaui pulau-pulau di Indonesia lainnya. Bahkan sejak masa
kolonial, Gubernur Stanford Raffles telah berujar bahwa Pulau Jawa tidak lagi mampu
menampung lebih banyak penduduk. Bahan yang diperlukan bagi sebuah tata
kehidupan yang wajar semakin langka, jumlah penduduk sudah berlebih.
Selama ini,
pemerintah bukannya tanpa upaya menyelesaikan masalah itu. Melalui program migrasi,
ternyata harapan pemerataan kepadatan penduduk itu masih sulit dicapai. Ini
berarti, pemerataan jumlah penduduk juga menjadi pekerjaan rumah yang rumit.
Pemenuhan
Kebutuhan Penduduk
Tingginya
jumlah penduduk tentunya akan berbuntut panjang. Ada berbagai kebutuhan yang
harus dipenuhi, mulai dari urusan perut, tempat tinggal, akses pendidikan dan
kesehatan, sampai lapangan pekerjaan. Hingga kini, masih banyak penduduk Indonesia
yang belum bisa hidup layak karena tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan itu.
Selain aneka
kebutuhan fisik itu, kita juga perlu memikirkan kebutuhan spiritual.
Bertambahnya penduduk, harus pula ditunjang dengan bertambahnya rumah ibadah.
Sayangnya, upaya sebuah umat mendirikan rumah ibadah, tak jarang justru memicu
konflik. Kesadaran beberapa kelompok untuk bisa hidup berdampingan dengan
kelompok yang lain, ternyata masih rendah. Sampai sekarang, masih ada kelompok
yang merasa dipersulit jika ingin mendirikan rumah ibadah. Ada pula kelompok
yang yang sudah memiliki rumah ibadah, tapi dihancurkan oleh kelompok lainnya.
Intinya, belum semua penduduk Indonesia bisa dengan nyaman memenuhi kebutuhan
spiritualnya.
Bicara tentang
konflik, kita tentu tak bisa tidak melirik latar belakang Indonesia yang sangat
beragam. Ya, keberagaman yang seharusnya membuat Indonesia terasa indah,
ternyata bagi beberapa kelompok, justru dianggap sebagai pemicu konflik. Ada
kelompok agama yang tidak nyaman berdampingan dengan kelompok agama tertentu,
ada pula yang kelompok suku yang tidak bisa tenang berdampingan dengan kelompok
suku lainnya.
Mungkin karena
menganut kultur kolektivisme, penduduk Indonesia lebih nyaman jika hidup di
lingkungan yang secara latar belakang sama dengan dirinya. Kemudian, dari rasa
nyaman itu, bermunculan kelompok yang mengkhususkan diri berdasarkan suku, agama,
atau etnis tertentu. Bermunculan pula permukiman atau kampung yang hanya dihuni
oleh kelompok tertentu.
Padahal, dengan
berkelompok, bangsa ini justru rentan terhadap konflik. Masalah yang awalnya
hanya melibatkan dua orang dari kelompok berbeda, tiba-tiba berubah menjadi
konflik antarkelompok. Gesekan sedikit saja, akan sangat mungkin menimbulkan
konflik yang besar. Itu karena kelompok-kelompok di masyarakat kita saling menciptakan
jarak satu dengan lainnya.
Sebenarnya,
masyarakat yang hidup berkelompok bukanlah hal yang aneh. Ada rincian tentang dua
makna berkelompok. Salah satunya adalah setiap orang memang dilahirkan dalam
masyarakat yang terus berkembang dan telah mempunyai suatu struktur yang pasti,
yang kemudian bisa memengaruhi kepribadian seseorang tersebut.
Sadarkah kita,
bahwa dengan menciptakan kelompok-kelompok berdasarkan agama, etnis, atau suku itu,
Indonesia justru akan terlihat lemah? Ini tak lepas dari sejarah, yang
menceritakan tentang strategi pemerintahan Belanda untuk membentuk
kampung-kampung khusus berdasarkan status sosial dan etnis. Misalnya ada
Pecinan untuk etnis Tionghoa dan Pekojan Kauman untuk keturunan bangsa Timur
Tengah. Sementara penduduk asli Indonesia juga sudah disediakan tempat pemisah.
Pemisahan tempat
tinggal berdasarkan kelompok status sosial dan etnis itu dilakukan Belanda
untuk memecah-belah bangsa Indonesia. Dengan adanya jarak, maka kekuatan yang
besar untuk melawan Belanda akan sulit tercapai. Sayangnya, kebiasaan membentuk
kelompok berdasarkan etnis dan suku masih terbawa sampai sekarang. Misalnya dengan
keberadaan Kampung Bugis, Kampung Jawa, dan Kampung Ambon.
Jadi, Kita Harus Bagaimana?
Unsur
kebudayaan merupakan bagian dari Indonesia. Kebudayaan itu adalah hasil warisan
zaman dulu, yang mengandung ciri khas keindonesiaan. Sayangnya, biasanya,
perbedaan kelompok itu juga berdasarkan pada tradisi budaya yang dianut. Suatu
kelompok dengan latar belakang suku yang memiliki tradisi tertentu, merasa
tidak nyaman dengan tradisi yang dijalankan kelompok lainnya. Sehingga,
perbedaan itu menjadi kian jelas di mata mereka.
Tapi, dengan
kekuatan yang serupa, orang-orang dengan kesamaan misi bisa juga membentuk
gerakan sosial. Gerakan sosial konsepnya mengenai kesadaran kolektif yang
mengikat individu-individu melalui simbol dan norma sosial. Kesadaran kolektif
menjadi unsur mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok. Memang, melalui
kesadaran kolektif, gerakan sosial bisa memunculkan berbagai ketegangan dan
konflik. Namun, gerakan sosial juga bisa bersifat positif.
Kesadaran
kolektif yang dimiliki setiap anggota bisa digiring ke arah yang lebih baik.
Bisa apa saja. Jika kelompok itu sangat perhatian pada budaya, maka mereka bisa
mendirikan gerakan sosial yang khusus di bidang kebudayaan. Atau pada kelompok
yang peduli pada lingkungan, bisa juga secara bersama menjadi pegiat
lingkungan. Hal yang sama juga berlaku untuk bidang-bidang lainnya.
Leluhur kita mewariskan
semangat Bhineka Tunggal Ika, yang sekaligus menjadi cita-cita untuk mencapai
kesatuan, meski dalam kondisi masyarakat yang heterogen dan berbeda karakter. Jika
dulu, para leluhur berkeinginan membangun kesatuan untuk merdeka dari penjajah,
kini kita bisa menggunakan semangat yang sama untuk memajukan negeri tercinta
ini.
Semangat kesatuan
itu tidak boleh luntur. Kita bisa memulai langkah dengan saling berbaur tanpa
membedakan agama, etnis, atau suku. Biarlah jutaan penduduk Indonesia ini hidup
dengan keanekaragaman tradisi masing-masing, tapi saling menghargai satu sama
lain. Karena pada dasarnya, sikap saling menghormati adalah langkah paling
mujarab untuk mengatasi konflik. Kita bisa membaharui diri dan kembali
mengingat tujuan mulia para leluhur, dengan pengharapan Indonesia semakin maju.
Ayolah, bumi
kita sudah sangat renta untuk memikul beban yang justru terus bertambah. Pemerintah
sudah memiliki pekerjaan sendiri untuk menekan pertumbuhan penduduk. Sedangkan
kita, yang menjadi penduduk negeri ini, sudah seharusnya turut memperindahnya
dengan semangat kebhinekaan yang dicita-citakan leluhur.
Dian Kurniati (diankurniati28@gmail.com)
Dian Kurniati (diankurniati28@gmail.com)
Suka sama tulisan ini :)
ReplyDeleteSemoga makin banyak orang yang sadar akan pentingnya persatuan. Karena semangat Bhineka Tunggal Ika saat ini, sepertinya hanya sekedar menjadi semacam tagline saja ya,Di..
Iya. Semoga saja. Rasanya sudah bosen banget ya Vey, membaca berita tentang perpecahan yang terjadi di masyarakat. Semoga semangat kebhinekaan segera terwujud :D
Deletegood post
ReplyDelete