Jika berbicara tentang warisan sejarah di Magelang, mungkin kita
cuma familiar dengan Candi Borobudur dan Candi Mendut. Padahal, Magelang
menyimpan banyak sekali cerita dan bukti sejarah yang luar biasa keren, selain
dua nama candi yang sudah tersohor itu. Mengusung tema Blusukan Kota Seribu
Candi, Komunitas Pecinta Sejarah Lopen Semarang mengajak masyarakat untuk
mengenal lebih dekat jejak-jejak sejarah di Magelang.
Saya menjadi bagian dari perjalanan blusukan #Kota1000Candi
bersama Lopen. Kami memulai perjalanan itu dari SPBU Undip, Tembalang. Saya
yang datang sendirian, sempat merasa disorientasi karena ada beberapa
gerombolan manusia di sana. Saya mengarahkan kaki pada segerombolan orang yang
memasang wajah paling sumringah, menebak mereka termasuk peserta blusukan
#Kota1000Candi, sama seperti saya. Dan, ya, saya beruntung tidak salah mengenali.
Mereka memang selalu sumringah.
Perjalanan dari Semarang menuju Magelang memakan waktu
sekitar dua jam. Meski Agustus lalu sudah berkunjung ke Magelang, tapi rasanya saya
sangat rindu dengan kota ini. Magelang, sungguh kota yang sangat cantik.
Sesampainya di Magelang, tepatnya di depan Masjid Agung Magelang
dan tugu kompor (bukan, sebenarnya itu adalah menara air milik PDAM), kami berjumpa
dengan kawan-kawan dari Komunitas Kota Toea Magelang di alun-alun kota. Merekalah
yang akan memandu kami berblusukan ria, dan dari mereka jugalah, kami akan
belajar tentang jejak-jejak sejarah di Magelang. Selama perjalanan, kami
dipandu Mas Indra, dari Komunitas Kota Toea Magelang yang kocak dan memiliki
ingatan luar biasa hebat, terutama soal harga.
Candi Ngawen |
Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Ngawen. Dari
acara ini, baru pertama kali saya dengar ada situs bersejarah bernama Candi
Ngawen. Sepertinya di buku sejarah yang saya baca semasa sekolah, juga tidak
memuat cerita tentang candi itu (atau mungkin memang saya yang kurang menyimak).
Tapi percayalah, Candi Ngawen memiliki pesona yang sangat elok.
Candi yang berada di Kecamatan Muntilan ini dibangun pada
masa Mataram Kuno. Candi ini terdiri dari dua candi induk dan tiga candi
pendamping (candi perwara). Sayangnya, kepala patung Budha di candi ini sudah hilang. Katanya, kepala
candi dihargai sangat mahal, sampai puluhan miliar, sehingga banyak yang
berniat mencuri. Relief Candi Ngawen bercerita tentang Kinara dan Kinari,
perwujudan burung yang berkepala manusia.
Jika mau membandingkan dengan candi Budha lainnya seperti
Candi Borobudur, Candi Ngawen ini memang tergolong imut. Meski ukurannya kecil,
Candi Ngawen memiliki beberapa keunikan dibanding candi Budha lainnya. Pertama,
corak candi ini mirip dengan candi Hindu, karena bentuknya yang ramping. Coba bandingkan
dengan kebanyakan candi Budha lainnya yang cenderung berbadan lebar, seperti
Candi Borobudur. Kedua, terdapat pancuran pada candi berbentuk singa (saya lupa
namanya) pada sudut-sudut candi. Keberadaan patung singa itu dianggap unik
karena biasanya pancuran pada candi berbentuk naga.
Pancuran singa. |
Keunikan lainnya, Candi Ngawen ini berada di bawah permukaan
tanah. Candi ini memang lebih rendah sekitar satu meter dibanding tanah di
sekitarnya, sehingga untuk turun, diperlukan beberapa anak tangga (yang saya lupa
untuk menghitungnya).
Kalau dari dekat, kita akan melihat ada semburan air dari bawah pasir. |
Reruntuhan candi seperti potongan puzzle yang minta disusun |
Momen berkeliling Candi Ngawen sempat terhenti karena hujan
yang mengguyur Magelang. Namun, saat hujan reda, kami kembali menyusuri area itu
dan menemukan balok-balok batu yang menjadi bagian reruntuhan candi. Kata Mas
Indra, penyusunan kembali batu-batu menjadi candi sangat sulit, karena reruntuhan
itu telah bercampur menjadi satu. Mas Agung menambahkan, setiap balok batu yang menyusun candi memiliki keunikan sendiri-sendiri, sehingga tanpa paku pun, candi bisa tetap kokoh berdiri. Kami cuma mangut-mangut mendengar penjelasan itu.
Cukup berjalan-jalan keliling Candi Ngawen, kami segera
kembali ke tengah kota untuk mengunjungi Masjid Agung Magelang. Di sepanjang perjalanan dari candi menuju masjid ini, kami juga mendeklarasikan diri sebagai rombongan zaroh alias ziarah. Sesampainya di lokasi, selain salat,
di sana kami juga diajak berkeliling Masjid yang dibangun pada tahun 1779 itu. Beberapa
bagian masjid itu masih terawat keasliannya, seperti bedug yang berada di serambi
masjid. Ornamen pada atap masjid juga masih asli. Namun, ada pula yang
diperbarui, karena sudah keropos dimakan usia, seperti mimbar untuk khutbah
salat Jumat.
Mimbar yang sudah lapuk. |
Bedug dan kentongan. |
Saya merasa tidak begitu nyaman berada di dalam masjid, karena
kami berjalan di bagian depan, melewati jamaah yang tengah menunaikan salat
zuhur. Area berkeliling pun berpindah ke luar masjid. Kami ditunjukkan area
wudhu di masjid itu. Merasa tidak ada yang aneh, akhirnya Bapak Takmir masjid
yang mendampingi kami bercerita tentang suasana masjid sebelum dibangun sumur. Saat
itu, para jamaah harus berwudhu di Sungai Progo yang berada sejauh 1 kilometer
dari masjid.
Usai mengunjungi Masjid Agung Magelang, kami segera beranjak
menuju Museum Diponegoro, yang lokasinya tidak jauh dari masjid. Sayangnya,
petugas yang membawa kunci museum sedang melayat ke Semarang, sehingga kami
hanya bisa mengintip beberapa barang peninggalan Pangeran Diponegoro dari
jendela. Di sebuah ruangan dengan suasana temaran, kami bisa melihat jubah, kursi
yang terdapat bekas cengkeraman tangan, dan kursi pendek untuk minum teh.
Gedung Museum Diponegoro. |
Mengintip isi museum dari luar kaca. |
Kami juga berjalan menuju tugu Universitas Gadjah Mada yang berada
di sisi belakang area museum. Tugu itu menandai aktivitas perkuliahan jurusan
akuntansi dan keuangan yang berada di kampus Magelang pada 1964 sampai 1978. Sayangnya,
keberadaan tugu itu sangat tidak terawat. Di sekelilingnya sampai ditumbuhi
ilalang setinggi pinggang. Di belakang tugu itu, terdapat gazebo yang jika
berdiri di sana, kita bisa melihat banyak sisi Kota Magelang, seperti Sungai
Progo, Bukit Tidar, dan Bukit Giyanti.
Tugu UGM |
Tetapi, ada cerita yang tak begitu mengenakkan di balik
pendirian gedung ini. Karena area pandang dari pelataran gedung ini yang luas,
ternyata Belanda dapat memantau pergerakan Pangeran Diponegoro yang tengah bersembunyi
di Bukit Giyanti. Obor yang digunakan rombongan Pangeran Diponegoro dapat
dilihat dari situ. Dan lokasi museum juga menjadi tempat Pangeran Diponegoro “dijebak”
pihak Belanda, sekaligus tempat persinggahan terakhir Pangeran Diponegoro di
Jawa, sebelum diasingkan dan wafat di Makassar.
Pemandangan kece dari gazebo. |
Selesai berkeliling Museum Pangeran Diponegoro, kami melanjutkan
perjalanan menuju Masjid Trasan alias Masjid Tiban. Masjid yang berada di Desa
Trasan ini dinamakan Masjid Tiban karena tidak ada satu pun orang yang
mengetahui kapan pendirian masjid. Jadi, seolah-olah masjid itu “tiba” atau jatuh
dari langit. Nama Masjid Tiban lebih populer, ketimbang nama yang tertulis di
masjid itu: Masjid Jami Baitul Muttaqin.
Masjid Tiban dari jarak 200 meter. |
Hal lain yang bikin saya melongo takjub adalah cerita tentang
masjid yang dipindahkan secara gaib sejauh 200 meter dari lokasi semula. Awalnya,
masjid ini terletak di tepi jalan, tetapi sekarang keberadaannya lebih menjorok
ke dalam. Dari kejauhan, masjid ini seperti tidak berbeda dibanding masjid
kebanyakan. Namun, setelah memasuki masjid, kita akan menemui kerangka kayu
yang berada di langit-langit. Bedug dan kentongan masjid juga unik. Bedugnya memang
berukuran kecil, tetapi kulitnya sangat tebal. Sementara kentongannya, berbentuk
seperti lesung untuk menumbuk beras.
Bedug dan kentongan berbentuk lesung. |
Kunjungan kami di Magelang diakhiri di Candi Selogriyo yang
berada di Kecamatan Windusari. Baiklah, dari acara Lopen ini, saya juga baru pertama
kali mendengar ada candi itu. Pokoknya, candi ini berada di atas bukit,
sehingga kita harus berjalan di jalur yang menanjak. Langit Magelang yang gerimis
menambah tantangan kami untuk menaiki bukit. Terlebih, suhu Magelang juga
teramat dingin dibanding Semarang. Padahal, saat itu masih sekitar pukul 14.00.
Celakanya, saya tidak membawa jaket.
Di bawah langit yang gerimis itu, kami mulai melangkahkan
kaki menuju candi. Awalnya, jalur yang masih
berada di permukiman warga, berupa jalan aspal yang mulus. Memasuki persawahan,
jalur berubah menjadi paving. Kemudian, usai melewati pos, jalur pendakiannya
berubah menjadi tangga-tangga dari batu dan semen. Kalau jalurnya sudah begini
sih, enak banget. Apalagi pemandangan yang, gila, amazing banget. Di sebelah kiri ada tembok tebing, sementara
di kanan jalan ada hamparan terasering sawah milik penduduk. Kata pemandu kami (yang belakangan saya tahu namanya Mas Anjar),
pemandangan akan lebih indah kala sunrise tiba di fajar hari.
Pemandangan yang amazing banget! Apalagi kalau sunrise. |
Sesampainya di candi, kata pertama yang keluar dari mulut saya
adalah, “Surgaaa...!!!” Area Candi Selogriyo indah banget! Serius, kaki pegal
setelah berjalan mendaki bukit, langsung terbayar setelah sampai lokasi candi. Sukses
menemukan candi ini adalah blusukan yang sesungguhnya.
Candi Selogriyo. |
Tak berapa lama setelah sampai candi, kami langsung diajak
santap siang. Menunya spesial, cuma ada di Magelang: sup senerek. Hayo, apa
itu? Sup senerek adalah sup kacang merah khas Magelang. Rasanya memang seperti
sup kebanyakan, tapi keberadaan kacang merah plus suasana syahdu di pinggir
candi yang masih gerimis, menjadikan makanan itu sangat istimewa. Konon, sup
senerek adalah makanan favorit bangsawan Belanda pada zaman penjajahan dulu.
Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, kami diajak
berkeliling Candi Selogriyo. Candi ini beraksitektur Hindu yang menghadap ke
barat. Di empat sisi candi, terdapat relung yang berisi arca perwujudan dewa,
meliputi Durga Mahisasuramardini, Ganesha, Agastya, serta Nandiswara dan
Mahakala. Jika diperhatikan, candi ini tidak memiliki banyak detail relief. Entah
karena memang dari sononya begitu atau efek pemugaran. Dan ternyata, Candi
Selogriyo pernah mengalami longsor hingga bangunannya hancur. Penyusunan ulang
pun dilakukan, di lokasi yang lebih landai dan berada lebih di atas bukit.
Tak jauh dari candi, ada lingga dan yoni. Biasanya, lingga
dan yoni itu tersimpan di dalam candi. Sehingga, diduga, lingga dan yoni yang
berada di dekat candi itu awalnya berada di dalam Candi Selogriyo. Selain itu,
ada pula cetakan waffle berbentuk kembang goyang (entahlah, ini bahasanya Mas
Indra) yang bernama pipih. Dari bawah peripih itu, pernah ditemukan emas.
Peripih, lingga, dan yoni. |
Karena hari mulai sore, kami bergegas kembali turun. Tetapi,
sebelum turun, saya menyempatkan diri lari menuju mata air di dekat candi untuk
mengisi tumbler. Suasananya asik banget. Bentuk pancurannya pun unik, seperti
bagian dari candi. Sayang, saya lupa memotretnya karena terburu-buru, khawatir
ditinggal rombongan turun bukit. Kata Mas Anjar, rasa mata air itu manis. Awalnya
saya tidak merasakan manis sama sekali. Rasanya segar, memang, tapi tidak ada
rasa manis. Tetapi, setelah sampai di Semarang, saya jadi bisa menikmati rasa manis
mata air itu. Serius, airnya enak, sampai saya awet-awet dengan meminumnya sedikit demi sedikit. Memar dan lecet yang menjadi oleh-oleh sewaktu kepeleset pas turun dari Candi Selogriyo, langsung sembuh loh berkat air itu (ini lebay, jangan percaya).
Sungguh, ini pengalaman yang luar biasa keren. Terima kasih kepada
Lopen atas ajakan dan kesempatan bagi saya mengikuti acara yang luar biasa kece
ini. Terima kasih juga untuk Komunitas Kota Toea Magelang yang mengenalkan
lokasi-lokasi yang kerennya luar biasa ini. Ini adalah blusukan yang sangat
sangat sangat keren.
Baiklah, ini adalah keberuntungan tiada tara yang saya dapatkan di bulan
November. Saya sangat berterima kasih pada seseorang yang membatalkan diri
mengikuti acara #BlusukanKota1000Candi ini. Bagaimana pun, kursi kosong yang
Anda tinggalkan di acara ini, akhirnya bisa saya pakai. Sebagai gantinya, Anda
bisa membaca tulisan ini kan, sambil membayangkan pengalaman kece yang baru
saja saya rasakan. Di saat kepala hampir meledak karena lebih dari seminggu
berjibaku dengan ebook dari Mas TL, acara #BlusukanKota1000Candi adalah obat
yang sangat manjur.
*Buset, tulisannya jadi panjang begini ya. Maaf kalau sampai
kelelahan membaca. Nanti lah, kita bisa berlelah-lelahan tracking untuk
menikmati surga di Candi Selogriyo bersama-sama. Foto-fotonya juga enggak bagus. Maafkan.
Budi mbok aku diajakin kalo ada acara kek gini hehe
ReplyDeleteMaaf, madame, kemaren nggak ngajak-ngajak, soalnya aku bisa ikut acara ini aja karena pas ada satu peserta yang mengundurkan diri, hehe.
DeleteBulan Januari ada lagi kok, nanti lah, kita ikutan bareng :D
kha kha kha benar - benar blusukan di selogriyo apalagi ke toilet tanpa pintu nya jiaaah
ReplyDeleteIya, blusukan banget deh. Penuh perjuangan pula.
DeleteEh, kakak nyobain toiletnya? Waw...