Suatu malam, aku menjumpai peristiwa yang sebut saja
“menggemaskan”. Kejadiannya terjadi di sebuah kedai seafood di kawasan Pasar Kambing. Peristiwanya terkesan sederhana.
Tapi, justru karena dianggap sederhana, peristiwa ini seperti terbiasa terjadi.
Di kedai itu, aku menunggu pesanan makanan disajikan. Tak
berapa lama aku duduk, bahkan mungkin sebelum memesan makanan, ada bocah
sekitar kelas satu atau dua SD, datang ke kedai itu. Dia menghampiri salah satu
mas-mas di kedai itu dan langsung mengutarakan niatnya membeli es teh untuk
dibawa pulang (sepertinya rumahnya berada di dekat kedai).
Suasana kedai, seperti biasa sewaktu santap malam, sangat
ramai. Mas kedai hanya mengiyakan permintaan si bocah tadi. Tiga, lima, hingga
sekitar sepuluh menit berlalu, es teh pesanan si bocah itu belum juga
dibuatkan.
Sambil memainkan selembar uang Rp 2 ribu, si bocah terus
merengek minta dibuatkan es teh.
“Tuku es teeehhhhh (Beli es teh),” kata si bocah sambil
merengek.
“Iyo, mengko (Iya, nanti),” jawab mas-masnya, sambil terus
membuat es teh di gelas untuk pengunjung yang makan di tempat.
“Saiki! (Sekarang!),” kata si bocah
Mas-masnya tidak menjawab.
Dialog itu terus berulang sampai tiga kali. Mas-mas kedai
terus mengaduk es teh dan es jeruk untuk pelanggan.
Tiba-tiba bocah itu berjalan ke luar kedai. Aku perpikir
bocah itu sudah frustasi sampai akhirnya memilih balik kanan alias pulang. Tapi
ternyata, bocah itu hanya berdiri di luar kedai sambil memainkan tenda yang
memisahkan kedai dengan jalanan.
Beberapa saat kemudian, ada ibu paruh baya yang masuk ke
kedai. Di belakangnya, ada si bocah yang membuntuti. Terjadi percakapan singkat
antara ibu paruh paya dan mas-mas kedai. Tak berapa lama, es teh pesanan bocah
itu langsung tersadi dalam kantong plastik dengan sedotan warna kuning. Si
bocah itu melenggang keluar kedai sambil menyedot es teh yang memerlukan proses
penyajian sekitar 30 menit itu. Sekantong es teh yang bahkan proses meminumnya
jauh lebih cepat ketimbang penyajiannya.
Kenapa si bocah harus mendapat perlakuan seperti itu? Demi
sekantong es teh, dia memerlukan waktu sedemikian lama. Toh, dia membayar es
teh itu, tidak berbeda dengan pengunjung lainnya yang juga memesan minuman. Apa
karena yang membeli adalah anak-anak? Apakah permintaan anak-anak sedemikian
diabaikan orang dewasa? Entahlah. Tapi sikap mas kedai sama sekali tidak ramah
pada si bocah.
Kejadian berbeda terjadi di sebuah angkot. Sekitar pukul
14.00, aku menumpang angkot di kawasan kampus. Sebelum aku naik, di dalam
angkot itu sudah ada penumpang seorang mahasiswa perempuan. Aku memilih duduk
paling pojok di belakang. Tak seberapa lama angkot berjalan, ada seorang ibu
dan putrinya yang aku taksir umurnya 3-5 tahun turut naik angkot.
Aku tahu mereka. Ibu dan anaknya itu adalah pengemis yang
biasa aku temui di sekitar kampus. Pakaiannya kumal dengan rambut kemerahan
karena terlalu sering terpapar matahari.
Di dalam angkot, terjadi perbincangan antara ibu dan anak
tentang pendapatan mengemis mereka hari itu. Hasilnya tidak terlalu banyak. Mereka
juga membicarakan para pemilik toko yang angkot kami lewati. Menurut mereka,
pemilik toko itu ada yang baik, tapi ada juga yang jahat karena tidak memberi
uang. Tapi dari beberapa yang mereka sebutkan, lebih banyak jahatnya. Yang
lebih mencengangkan, si ibu memberikan perumpaan “seperti anjing” untuk salah
satu pemilik toko ponsel karena pernah mengusir mereka. Reaksi si anak, jelas
mengiyakan pendapat ibunya. Astaga, ibu itu mengajari anaknya mengumpat dengan
nama binatang. Eh bukan. Lebih tepatnya mengumpamakan orang lain seperti
binatang!
Mendengar kalimat itu, aku langsung menoleh ke si ibu. Begitu
pula mbak penumpang yang duduk di belakang pak sopir. Kami lantas berpandangan,
tapi tidak berkomentar apa-apa.
Si anak mengalihkan perhatian dengan memainkan gelas berisi
uang recehan. Tapi, si ibu segera menegur.
“Ojo dinggo dolanan. Mengko nak kecer (Jangan dibuat mainan.
Nanti tercecer),” kata si ibu.
Benar saja uang recehan itu tercecer ke lantai angkot hingga
menimbulkan bunyi gemerincing.
“Lho kan. Dikandani kok ngeyel (Loh kan. Dibilangi kok
ngeyel),” ujar si ibu. Tetapi, sebelum membantu anaknya memungut uang, ibu itu
menyempatkan tangannya memukul paha si bocah. Si bocah cuma bisa meringis
sambil terus memunguti uang.
Setelah uang terkumpul, si anak menawarkan menyimpan uang di
tas kecil yang terselempang di bahunya. Tas itu hanya berisi topi kumal warna
merah jambu. Ibunya tidak bereaksi, sehingga si anak langsung memasukkan uang ke
tas. Sayangnya, uang recehan itu kembali tercecer. Cubitan kecil segera
mendarat di paha si anak, sambil si ibu berkata, “Bocah kok ndableg men (Bocah
kok bandel banget).”
Tak seberapa lama kemudian, si ibu berkaata “Medun saiki yok
(Turun sekarang yok).”
“Halah. Mengko wae, neng kono (Halah. Nanti saja, di sana).”
Aku menyimpulkan si anak masih betah duduk di angkot.
“Neng kene iso entuk akeh (Di sini bisa dapat (uang)
banyak),” kata si ibu.
“Mengko wae (Nanti saja),” si anak tidak mau kalah.
“Pokokke nak mengko neng kono ora entuk duit, awas kuwe. Tak
ajar lho ya.. (Pokoknya kalau nanti di sana tidak mendapat uang, awas kamu. Aku
hajar loh ya), si ibu mulai mengancam.
“Yawes, ayok saiki (Yasudah, ayok sekarang),” si anak menurut
perintah ibunya.
Mereka turun dari angkot. Setelah itu, si ibu berkata kepada
pak sopir, “Ongkosnya nggak usah ya, Pak?”
Aku tidak bisa melihat reaksi si bapak angkot. Tetapi sewaktu
angkot mulai berjalan, ibu tadi setengah berteriak berkata, “Makasih..”
Aku bingung harus berkomentar seperti apa. Pada kenyataannya,
masih sulit mencapai setiap hal yang ramah anak-anak. Permainan yang ramah
anak, sekolah yang ramah anak, transportasi umum yang ramah anak, rumah tinggal
yang ramah anak, sampai perlakuan orang tua yang ramah anak.
Iya, Budi. Kadang kita nggak sadar kalau anak-anak itu pengingat yang ulung. Apa yang dibawa dari kecil, bisa nggak sadar dipakainya sampai tua. Jadi karakter mereka sampai dewasa nanti #sedih
ReplyDeleteIya. Kayaknya anak kecil memang jadi "menyadar" buat orang-orang dewasa tanggung kayak kita ini, Ay..
DeleteSedihnya banyak orang dewasa yang mengabaikan karakter anak-anak..
Hehehe...aku jadi inget kejadian di cerita yang pertama. Keren, seorang anak kecil bisa sesabar itu buat ngedapetin maunya. Aku sendiri pasti udah langsung balik kanan itu mah :D
ReplyDeleteIya, kejadian pertama itu pas kita lagi bertiga ya..
DeleteIya, demi es teh usahanya sampai segitunya. kalau aku sih mending pulang..
Newest Casino with Slots with Casino Bonus Codes - DrMCD
ReplyDeleteThe first online 동해 출장샵 casino has the 안동 출장안마 most famous slot machines. · 청주 출장안마 Red 군포 출장마사지 Dog Casino has the highest RTP and fastest 안동 출장마사지 withdrawals. · SuperSlots Casino has a