Uang lusuh dan uang receh. |
Sekitar dua bulan di pengujung tahun lalu, saya tiba-tiba
teringat lagu Aku Cinta Rupiah yang dinyanyikan Cindy Cenora. Saat itu, kondisi
rupiah yang semakin terpuruk menjadi isu pemberitaan di media massa. Kondisinya,
mirip dengan masa krisis moneter yang juga berbarengan dengan tumbangnya Orde
Baru tahun 1998. Pada masa itu, masyarakat berlomba-lomba menimbun dolar dan
menarik tabungan di bank dalam negeri untuk dipindahkan ke luar negeri.
Sempat berniat menulis tentang anjloknya rupiah, tapi saya
urungkan. Saya tak banyak mengerti tentang uang. Hampir buta, malah. Nah, beruntung,
saat ini saya tetap bisa menulis tentang uang. Bukan tentang kondisi rupiah di
mata dunia, tapi tentang cara kita sebagai warga negara Indonesia menghargai mata
uang.
Sebelumnya, saya ingin bertanya: kenapa kita bisa
berteriak-teriak marah saat rupiah anjlok? Benarkah kemarahan itu sebagai wujud
kecintaan kita terhadap rupiah? Coba juga tanya pada diri sendiri deh,
bagaimana cara kita memperlakukan uang rupiah yang bersemayan di dalam dompet?
Uang rupiah kita terdiri dari uang kertas dan logam. Apakah
kita benar-benar bisa menghargai uang kertas dan logam? Atau, apakah kita hanya
menghargai uang kertas, tetapi mengabaikan uang logam? Kebanyakan, saya justru
menemui orang yang terbiasa menyayangi uang kertas, tetapi menghindari uang
logam. Bahkan, uang kertas yang disayang pun hanya yang pecahan besar,
sedangkan pecahan Rp1.000 atau Rp2.000, akan disimpan dalam keadaan kumal
dan teremas-remas.
Saya yakin banyak orang pernah mengalami, kasir di rumah
makan atau supermarket terlihat keberatan dan terkesan terpaksa saat menerima
pembayaran dengan uang receh atau pecahan kecil. Sepertinya menghitung uang
logam atau uang pecahan kecil memang merepotkan. Jadi, mereka lebih memilih menghindarinya.
Apa iya kita sudah sedemikian parahnya tidak menghargai uang?
Padahal, bagi yang menolak pembayaran dengan uang logam, bisa dikenai sanksinya.
Negara kita sudah punya undang-undang tentang mata uang, yang di dalamnya juga
menyebutkan sanksi kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp200 juta bagi
siapa saja yang menolak menerima uang logam untuk pembayaran.
Bank Indonesia menyediakan uang logam untuk melengkapi
transaksi pembayaran. Uang logam tetaplah rupiah yang punya nilai, seperti
nominal lainnya. Rupiah itu simbol negara. kalau tidak menghargainya, bukankah
sama saja dengan tidak menghargai negara?
Saya malah pernah membaca berita tentang petugas bank yangmenolak menerima uang logam. Kemudian saat diganti pesahan kertas, petugas tersebut tidak bisa memberikan kembalian berpecahan logam karena memang diatidak punya. Nah, siapa yang menyebalkan di sini? Bahkan petugas bank, yang
seharusnya memahami semua tetek bengek soal uang, ternyata tidak dapat menghargai
uang. Jika pelaku keuangan bahkan tidak mau menerima uang logam, kenapa uang
jenis itu masih diproduksi? Jangan-jangan, langkah redenominasi memang perlu
diambil?
Jangan lupa juga, pada uang kertas rupiah terdapat gambar
presiden dan pahlawan yang sangat berjasa bagi negeri ini. Penyematan foto para
pahlawan, tentu untuk menghormati mereka. Tapi, bagaimana jadinya, jika kita
meremas uang kertas tersebut sampai lusuh? Kira-kira, bagaimana perasaan
mereka? Jika mereka bisa sakit hati, pasti pahlawan Pattimura, Antasari, dan
Imam Bondjol, adalah sosok pahlawan yang paling sering bersedih hati.
Jika uang rupiah (terutama pecahan kecil) selalu tampil
lusuh, bagaimana dengan uang dolar? Saya pernah mendengar cerita seorang kawan
tentang uang dolar yang harus selalu mulus. Jika kondisinya mulai lusuh,
nilainya bisa-bisa berkurang atau bahkan tidak bisa ditukarkan menjadi rupiah.
Ini serius loh, ada tempat penukaran uang yang sedemikian mendewakan uang dolar
hingga hanya mau menerima uang yang kondisinya mulus. Padahal, jika
dipikir-pikir, bukankah uang yang agak lusuh justru mengindikasikan keaslian uang,
karena telah dipakai bertransaksi berkali-kali.
Tetapi memang sih, dolar selalu tampil mulus. Kondisi itu
tentunya bukan tanpa alasan. Alasan dolar selalu tampak mulus, misalnya
penggunaan dolar yang terbatas. Pengguna dolar paling hanya berkisar pada
investor valuta asing, orang yang harus bertransaksi dengan dolar, atau para
pelancong. Jarang sekali dolar masuk pasar sampai bisa berupa kertas nyemek
habis dipegang-pegang penjual ikan.
Uang lusuh memang paling sering beredar di pasar. Kok bisa?
Tentu saja bisa, karena pasar yang menjadi lokasi transaksi jual beli itu
memungkinkan uang (sebagai alat tukar), dipegang oleh banyak orang dan
berpindah-pindah tangan. Kita juga tidak bisa memastikan tangan yang memegang
uang dalam kondisi bersih atau kotor. Jika menemui uang lembab, mungkin itu
efek keringat.
Memang, pendidikan tidak mengajari kita cara menghargai
rupiah secara khusus. Semasa SD kita hanya diajari tentang uang sebagai alat
tukar atau pembayaran. Hanya sebatas itu, tidak lebih. Sumpah Pemuda juga tidak
menyebut rupiah sebagai alat tukar atau pembayaran. Jadi, sepertinya memang
sulit untuk mencari momentum bagi kita untuk memperlakukan uang rupiah secara
istimewa. Eh, tetapi, bukankah kita juga punya Hari Uang Nasional yang
diperingati setiap 30 Oktober? Kenapa kecintaan kita pada uang masih
segini-gini aja?
Toh, pendidikan tinggi juga tidak menjamin penghargaan kepada
uang. Mau bukti? Coba saja naik angkot di sekitar kampus. Kebanyakan penumpang
angkot itu adalah dosen dan mahasiswa. Tapi nyatanya, tidak menjamin uang
kembalian kita usai menaiki angkot selalu mulus. Tetap ada kemungkinan, kalau
tidak mau dibilang seringkali, uang kembalian itu berupa uang lusuh yang
lembab.
Selain dari pasar dan angkot, uang lusuh juga bisa kita
dapatkan dari minimarket. Saat mendapatkan kembalian, kita bisa mendapatkan
uang lusuh. Atau bahkan uang rupiah kita digantikan oleh permen. Kalian pasti
pernah mengalaminya. Sejak kapan permen menjadi pengganti uang sebagai alat
pembayaran? Padahal, menurut saya, tidak memberi kembalian uang lusuh kepada
pembeli itu termasuk sebagai bentuk pelayanan juga.
Tetapi, jika uang dolar bisa mendapat perlakuan istimewa,
kenapa uang sendiri tidak? Apa sebegitu rendahnya kita memandang rupiah?
Coba, jika ada uang Rp100.000 lusuh dan 100 lembar pecahan Rp1.000 kondisi bagus, kamu mau pilih yang mana? Demi alasan praktis, saya hampir
bisa memastikan kita akan memilih selembar uang pecahan Rp100.000, meski
kondisinya lusuh. Kalau tidak mau berlama-lama memegang uang Rp100.000 lusuh
itu, segera saja kita belanjakan. Persoalan langsung beres, karena kembaliannya
toh tidak mungkin selusuh uang yang kita bayarkan. Gampang.
Dulu, saat menerima uang lusuh, saya akan segera
membelanjakannya. Jika dapat dari kembalian pembayaran angkot, berarti uang itu
harus dikembalikan ke angkot. Begitu pula jika saya mendapatkannya di warung
atau minimarket, maka saya akan segera membelanjakan uang itu di sana. Pokoknya
saya tidak suka jika uang lusuh itu terlalu lama mondok di dompet.
Tapi, lama-lama tidak tega juga saya membelanjakan uang lusuh
itu. Jika terus-terusan begitu, maka uang-uang lusuh itu akan mengalir ke mana?
Berputar-putar di antara pembeli dan penjual, hingga menjadi lingkatan setan
peredaran uang lusuh? Atau, kalau pemilik uang itu sedikit berniat mulia, uang
lusuh itu masuk ke kotak infaq di masjid?
Saya serius, uang yang masuk ke kotak infaq masjid atau
musala memang biasanya sudah lusuh, atau sangat lusuh. Coba kita bayangkan
betapa sabarnya takmir masjid menghitung uang-uang lusuh itu? Dulu sewaktu SMA
saya pernah membantu menghitung uang infaq yang isinya kebanyakan recehan. Uang
kertas hanya ada beberapa, yang kondisinya kebanyakan lusuh. Aktivitas menghitung
uang itu bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Menghitung uang dan kemudian
mengelompokkannya berdasarkan pecahan itu capek loh.
Saya yakin, tidak ada orang yang suka menerima uang lusuh. Makanya,
kalau merasa jengkel saat menerima uang lusuh, putuskan saja mata rantai penyebaran uang
lusuh itu. Kita bisa ambil, simpan, lalu tukarkan uang lusuh itu ke bank untuk
menggantinya dengan uang baru.
Bulan lalu, karena sedang “butuh uang”, maka otak mungil ini
saya paksa berpikir kreatif dengan memanfaatkan uang lusuh dan recehan yang
saya tampung di dua botol bekas air mineral. Setelah dihitung, ternyata
jumlahnya lumayan banget, sampai Rp358.100. Lumayan kan. Uang itu saya
kumpulkan dalam kurun waktu sekitar setahun. Tetapi, kumpulan uang lusuh itu
sudah saya ambil sekitar Rp200.000 saat dompet hilang, yang tentu saja beserta
kartu debit, untuk bertahan hidup dan mengurus kehilangan kartu-kartu.
Hasil pengumpulan uang lusuh itu lantas saya tukarkan di Bank
Indonesia, yang kalau di Semarang berada di Jalan Imam Bardjo. Jadwal layanan
penukaran uang tidak layak edar (rusak atau lusuh) di Bank Indonesia Semarang
hanya ada pada Selasa dan Kamis. Tidak ada batasan minimal untuk penukaran ini,
jadi siapa saja bisa menukarkan uang lusuh menjadi uang baru. Bank Indonesia memiliki
kriteria untu bisa dikatakan tidak layak edar dan bisa ditukarkan menjadi uang
baru. Kriteria uang tidak layak edar dapat dilihat di sini. Sebaiknya diperhatikan
dulu panduannya, karena itu bisa memudahkan kita saat proses penukaran.
Sebelum ditukarkan menjadi uang baru, jangan lupa uang lusuhnya dirapikan dulu ya. Biar tidak kerepotan menghitung saat sudah di loket penukaran uang BI. |
Ambil nomor antrean dengan menekan tombol di depan pintu metal detector. |
Petugas akan mengecek kerusakan uang dan menghitung jumlah nominal yang ditukarkan. |
Taraaa.. Uang lusuh saya sudah berubah menjadi uang baru yang mulus. |
Kebijakan di Bank Indonesia, kita hanya bisa menukar uang
lusuh menjadi uang baru. Mereka tidak mau menerima uang receh karena mengusahakan
uang receh tetap beredar dan terus berputar di masyarakat. Saya sempat negosiasi
dengan petugasnya dengan bertanya, “Bukannya tugas BI untuk mengatur dan terus
mengedarkan uang receh? Kalau ada orang yang mau tukar uang jadi receh di BI,
bukannya uang itu akan tetap tersebar ke masyarakat lagi?” Tetapi si petugas
tetap teguh pada pendiriannya dan malah menyarankan menukarkan uang receh ke
minimarket.
Jadi, ayolah, hargai uang rupiah kita. Kita bisa memulai
langkah ini dari diri sendiri kok. Salam Rupiah. :D
*Sebenarnya ini tulisan yang ingin saya posting awal Januari
lalu. Drafnya betah banget memondok di laptop. Tiap kali dibuka, perkembangan
tulisannya paling cuma satu atau dua paragraf. Maafkan kalau cuma buat nulis
tulisan begini saja saya butuh waktu 1,5 bulan. Eh, maafkan lagi kalau
tulisannya kepanjangan dan temanya agak absurd, hehe.
Hahhhh...aku malah senang nyimpan uang receh. Biasanya dikumpulkan untuk nambah2 uang pulsa. Hahahaha... :D
ReplyDeleteIde bagus tuh. Tapi aku udah nggak pernah beli pulsa di konter.. Asal uang recehnya jangan lusuh juga yakk..
DeleteOh, aku malah baru tau bisa tuker uang lusuh di BI, hehe.
ReplyDeleteMampir yah diaan :D
Iya Vit, coba tukar aja di BI. Pelayanannya juga bagus kok. Itung-itung ngurangi peredaran uang lecek kan, hehe..
DeleteMakasih udah mampir.. :D
Jadi dapat banyak info baru nih dari tulisanmu ini,di :)
ReplyDeleteTernyata nolak pembayaran dengan uang logam itu bisa kena sanksi ya :D
Iya Cil. Kalau ada kasir yang nolak, langsung tegur aja. Mungkin karena mereka enggak tau.. Belajar soal duit itu menarik yak, hehe.. :D
DeleteMaaf,kalo saya pingin tukar uang kertas menjadi uang receh/koin di BI melayani atau tidak?kalau tidak melayani kira2 dimana ya tempate?
ReplyDeleteUntuk penukaran uang pecahan besar menjadi receh, dapat dilakukan di BI. Penukaran seperti itu kan banyak banget saat jelang Lebaran kemarin dan BI melayani..
DeleteMaaf, tadi siang saya ke Bank indonesia dan mendapat informasi kalau aturan yang berlaku saat ini menyebutkan lokasi penukaran uang, kecuali yang tidak layak edar, adalah di bank-bank biasa, baik negeri maupun swasta. Kebijakan itu untuk mendorong perputaran uang yang telah diedarkan BI. Penukaran uang di bank sentral hanya untuk yang tidak layak edar.
Delete