Bisa jadi tulisan ini adalah sebuah pengakuan, tentang otak
saya yang begitu malas berpikir. Iya, otak saya termasuk otak yang pemalas. Dia
suka malas melaksanakan tugasnya untuk berpikir. Padahal tugas otak kan memang untuk
berpikir.
Ada beberapa hal yang bisa bikin otak saya sebal dan ngambek
untuk berpikir (beberapa saat). Pertama, saat menemukan dan harus menghitung
angka-angka. Tapi sepertinya, kalau soal angka, saya tidak sendirian, haha.
Sedangkan yang kedua, saat menemukan singkatan dan akronim. Baiklah, jika
menemukan akronim sih masih lumayan, karena lebih mudah dilogika. Nah, kalau
singkatan, apalagi yang belum umum? Duh, ini sering banget bikin sebal.
Saat menemui akronim atau singkatan lewat bahasa tulis,
terutama yang terbatas karakter, saya masih bisa maklum. Tetapi, akan
mengesalkan kalau penggunaan singkatan itu terjadi dalam bahasa percakapan,
yang tanpa batasan karakter apalagi durasi. Otak saya bisa bekerja lebih dari
lima detik untuk menemukan maksud dari singkatan, misalnya WO dan WA. WO ini untuk
walkout (bukan wedding organizer) dan WA untuk WhatsApp.
Yang bikin sebal saat mendengar kata yang agak susah nyangkut
di otak adalah ekspresi saya yang langsung menunjukkan
tatapan-tidak-mengerti-alias-bingung-yang-tentu-saja-sangat-tidak-eye-cathcing.
Yasalam, kenapa harus pakai singkatan singkatan sih? Apalagi jika jumlah huruf
singkatan ternyata sama atau tak jauh berbeda dengan suku katanya. Lihat saja
walkout yang disingkat menjadi WO. Dua huruf dan dua suku kata. Begitu pula WA
untuk WhatsApp. Terus, singkatan itu untuk apa? Enggak bikin lebih praktis juga
kok.
Momen yang bikin risi juga itu saat menemukan singkatan dalam
akronim. Contohnya Basarnas, Badan Search and Rescue Nasional. Bahasanya
bercampur pula. Bahkan ada koran yang menulis Basarnas menjadi BAZARNAS pada
judul. Potongan koran itu sampai dijadikan meme. Jadi bahan tertawaan.
Jika membaca berita, kita pasti sering menemukan
singkatan-singakatan, yang sering kali belum popuper (menurut saya) dan masih
asing di telinga. Nah, ini akan jadi pengetahuan baru kalau penulisnya mau
menuliskan kepanjangan singkatan tersebut. Tetapi akan menyebalkan jika sampai
berita selesai dibaca, saya masih belum menemukan apa maksud singkatan tadi.
Biasanya sih, saat menemukan singkatan dan di awal tulisan tidak dijelaskan
kepanjangannya (penulisnya terlalu asik pakai singkatan), saya sudah tidak
berharap di bagian akhir tulisan itu akan ada penjelasannya.
Tulisan berita berbahasa Indonesia sih masih lumayan.
Kebanyakan wartawan lokal masih suka menulis kepanjangan dari sebuah singkatan
pada kalimat pertama atau kedua. Nah, yang punya kebiasaan menggunakan
singkatan tapi tidak dijelaskan kepanjangannya itu justru situs berita media
asing. Apalagi saat membaca berita ekonomi. Yasalam, sampai mau kejang-kejang.
Pada judulnya saja sudah bisa kita temukan singkatan.
Oke, contohnya begini. Baru saja saya iseng membuka
news.google.com untuk mengetahui kabar dunia. Nah, kebetulan niat belajar
ekonominya sedang kambuh, jadi langsung lah saya mengklik kanal “Business”. Judul
paling atas yang saya baca langsung ada singkatannya. GDP. Saat dibuka, tak ada
sama sekali penjelasannya. Saya hanya bisa menduga-duga apa maksud berita itu.
Tapi kemudian, saat selesai membaca berita dan mencari tahu lewat Google,
ternyata maksud GDP adalah Gross Domestic Product. Oalaaahh..
Mereka mengumpamakan pembacanya sudah tahu. Padahal ada loh,
pembaca dengan pengetahuan ekonomi jongkok seperti saya yang juga ingin
membacanya.
Akronim memang untuk meringkas. Tapi mbok ya jangan sampai
bikin ribet lah. Puspa pala Barbie...
*Ini sekadar tulisan iseng. Jangan diserusin. Kasihan otaknya
sudah kebanyakan pikiran.
Hahaha apalagi kalau udah menyangkut bahasa kekinian. Aduh, loncat-loncat kadang gak ngerti sebegitu kreatifnya orang-orang bikin singkatan yang bikin pusing. Btw (by the way) jadi inget dulu kalo nulis berita di Manunggal kalau ada akronim harus dijelasin hihi
ReplyDeleteHahahaha. Iya Dam, singkatan emang sering bikin pusing. Apalagi aku bukan anak kekinian.. :D
Delete