Sunday 21 March 2021

Donor Darah, Lagi

Ini menjadi cerita ketiga saya tentang donor darah yang saya tulis di sini. Kejadiannya kemarin, 20 Maret 2021, ketika saya kembali donor darah dan menjumpai begitu banyak drama. 

Kemarin adalah donor darah keempat yang saya lakukan ketika pandemi Covid-19. Dalam empat kali donor itu, protokol kesehatan yang berlaku berbeda-beda.

Donor darah pertama saat pandemi, April 2020, saya datang pada malam hari, pada hari kerja. Lokasi donor darah yang biasanya di lantai dasar, dipindah ke lantai 5. Ruangannya luas, kursi berjauhan, dan nyaman sekali.

Donor darah kedua saat pandemi, Juli 2020, lokasinya kembali ke lantai dasar. Saya donor pada akhir pekan, sebagai pendonor darah pengganti untuk pasien thalasemia. Situasi agak ramai, tapi masih oke lah. 

Donor darah ketiga, Desember 2020, saya datang pada akhir pekan. Suasana sangat ramai. Ketika saya datang, sudah diatur garis antrean untuk cek suhu tubuh dan memperoleh kertas formulir. Secara umum, situasi masih normal.

Situasi jauh berbeda ketika saya datang untuk donor darah, kemarin. Ketika datang, suasana terlihat jauh lebih ramai dari biasanya. Saya harus mengantre untuk cek suhu tubuh dan mendapat kertas formulir, pada urutan nomor enam. Setelahnya, saya bisa masuk sebentar ke gedung PMI untuk mengisi formulir. Setelah menyerahkan formulir kepada petugas, pendonor diarahkan menunggu di tenda samping.

Tenda putih tersebut memang sejak lama ada di samping gedung PMI. Biasanya digunakan oleh keluarga pasien yang membutuhkan transfusi darah, atau menunggu kerabat melakukan donor darah pengganti. Kini, tenda itu juga digunakan para pendonor untuk menghindari kerumunan orang di dalam ruangan karena pengunjung benar-benar ramai. 

Dalam bayangan saya, antrean hanya akan berlangsung selama 30 sampai 60 menit. Saya benar-benar tidak menyangka jika waktu menunggu yang saya butuhkan untuk donor darah adalah lebih dari 3 jam. 

Mengantre selama lebih dari 3 jam untuk donor darah, menurut saya, bukan pilihan yang bijak. Tidak hanya menghabiskan waktu, menunggu selama itu juga memengaruhi fisik kita. Saran saya, jika Anda bukan pendonor langsung atau pengganti, hindari donor darah akhir pekan. Solusi lainnya, datang pagi sekali atau larut malam sekalian.

Ngomong-ngomong, saya pernah punya pengalaman antre panjang buat donor darah ketika bulan puasa. Malam hari sepulang kerja, dengan antrean sekitar 2 jam. Ceritanya juga ada di sini

Ketika jadwal donor kembali jatuh pada bulan puasa tahun berikutnya, saya datang jam 01.00 dini hari sepulang piket malam, dan sepi. Hanya mengantre beberapa orang. Waktu selesainya pun pas buat sekalian mampir beli makanan sahur ke warung. 

Kembali pada kejadian kemarin. Sebelum berangkat donor darah, sejak pagi saya sudah minum banyak air dan makan buah. Saat siang, juga saya makan makanan bergizi, sekitar pukul 12.30. Rencana berangkat pukul 13.00 harus tertunda karena sedang gerimis.

Saya akhirnya berangkat sekitar satu jam kemudian. Pukul 14.00 lebih sedikit, saya tiba di PMI yang sangat ramai. Pendonor harus menunggu namanya dipanggi lewat pengeras suara di tenda. 



Hampir satu jam menunggu, cuaca yang panas ternyata membuat saya cepat haus. Setelah pikir panjang, mengingat darah saya cenderung kental karena tingkat HB tinggi, saya akhirnya membeli sebotol air minum di trotorar depan, yang tentu saja harus buka masker ketika meminumnya. Rencana saya untuk tidak minum di PMI, ambyar.

Sebotol air ukuran 600 mililiter langsung habis selama menunggu antrean itu. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya nama saya dipanggil dan diberi berkas formulir plus nomor antrean, untuk kemudian cek HB.

Ternyata di ruang tunggu itu saya harus menunggu lebih dari 20 nomor lagi untuk dipanggil. Ketika melihat berkas formulir yang telah diketik petugas, saya merasa ganjil dengan adanya nama pasien penerima darah saya. Karena kali ini saya hanya pendonor darah sukarela, bukan pengganti.

Saya kemudian iseng buka kertas formulirnya, dan ternyata, itu bukan formulir yang saya isi. Saya langsung ke teras tempat petugas dengan mikrofon yang membagikan berkas, tetapi diarahkan ke meja pendaftaran yang memasukkan data. Solusi dari petugas, saya harus mengisi ulang formulir, dan nomor antrean diganti. Dari 463 menjadi 539.

Ketika nomor antrean 462 dipanggil, saya menyadari itu adalah nama yang saya temukan di formulir tadi. Akhirnya saya tegur orang tersebut dan meminta agar mengecek formulirnya. Benar saja, itu formulir punya saya. Saya pun mengantarkannya kepada petugas pendaftaran yang memasukkan data, untuk mengubah datanya lagi.

Ketika nomor saya dipanggil, ada kebingungan petugas pengecekan HB soal bagaimana seharusnya saya mengantre. Saya tidak akan mau nomor antrean mundur jadi 539. Tapi syukurlah, nomor antrean saya tetap di 463.

Masalahnya kemudian, nomor antrean saya tidak dipanggil untuk tes dokter. Langsung terlewat ke nomor 465. Saya diminta langsung ketemu dokter, dan syukurlah bisa tertangani. 

Drama muncul lagi ketika saya mengantre untuk pengambilan darah. Karena posisi duduk saya dekat dengan meja petugas, saya mendengar suara pelan. "Ini yang nomor 463 untuk rumah sakit mana?" Saya pun harus menjelaskan lagi, kalau itu hanya donor darah sukarela.

Selama menunggu itu, saya sebetulnya khawatir donor darah kali ini akan kembali gagal, karena saya kedinginan dan mulai merasa lapar. Waktu pengambilan darah saya dilakukan sekitar pukul 17.15, terlalu jauh dari waktu saya makan terkahir kali, bukan?

Syukurlah donor darah berlangsung lancar. Sayangnya ketika saya mau mengambil kartu donor di meja dekat pintu keluar, bekas tusukan jarum kembali mengeluarkan darah. Aduuhh.

Sebetulnya ini bukan pengalaman pertama mengalami kebocoran pada bekas tusukan donor darah. Kebocoran kali ini bahkan lebih ringan dibanding yang saya alami pada 2016.

Petugas meminta saya ke wastafel untuk membersihkan darah, sebelum akhirnya mengganti plester dan ditambah selembar kain kasa. Selama proses itu, saya ditanya, "Pusing nggak, Mbak?" Tapi saya tidak merasa pusing sama sekali. 

Saya sungguh merasa tidak enak kepada petugas yang harus membersihkan tetesan darah saya. (Juga kesal sendiri karena rembesan darahnya ikut mengotori lengan baju saya yang berwarna putih). 

Masalahnya kemudian, kepala saya mulai kliyengan ketika berjalan ke kantin. Saya pun langsung meminum susu dan jus sekaligus. Saya juga sempat ketiduran sekitar 10 menit di bangku kantin. 

Setelah istirahat 30 menit, saya benar-benar pulih. Bahkan tetap sanggup berjalan kaki ke warung coto Makassar langganan untuk membeli 2 porsi coto dan sebuah barongko. Sebuah penutup drama yang indah ya. 

Apakah dramanya sudah selesai? Belum, masih ada satu lagi. Ketika sampai kos, saya iseng mengecek kartu donor yang plastiknya mengkerut karena kepanasan bersama coto. Ternyata, petugas belum memberikan stempelnya pada kartu saya. Tanggal donor terakhirnya masih 27 Desember 2020. 



---

Di tengah pandemi Covid-19, kebutuhan darah memang terasa sangat tinggi, baik dalam bentuk utuh maupun plasma konvalesen. Pada darah utuh, biasanya dibutuhkan oleh pasien yang mengalami pendarahan, menjalani operasi, atau yang harus rutin melakukan transfusi seperi pasien thalasemia.

Karena kebutuhan darah yang tinggi itulah, biasanya akan ada banyak orang yang mencoba mendonorkan darah untuk pertama kalinya demi kerabatnya. Beberapa di antaranya bahkan belum tahu golongan darahnya akan cocok dengan pasien atau tidak.

Kejadian ini sempat saya temukan kemarin. Seorang ibu ketika di meja cek HB dites dan hasilnya memiliki golongan darah B, sedangkan yang dibutuhkan pasien adalah darah bergolongan AB. Petugas sempat menawarkannya menjadi donor darah sukarela walaupun bukan untuk sang kerabat. Tetapi ibu itu memilih tidak melakukannya, walaupun telah mengantre 2 jam.

Kejadian nyesek lainnya, pendonor darah dengan HB terlalu rendah. Ini kejadian pada mbak-mbak yang nomor urutnya persis di belakang saya, sama-sama pendonor sukarela juga. Dia akhirnya gagal donor darah, dan kasus serupa juga saya temukan pada seorang ibu lainnya.

---

Oh iya, saya juga memiliki beberapa info yang lumayan penting soal donor darah kali ini.

- Sekarang ini frekuensi donor darah cukup 2 bulan sekali, bukan lagi 2,5 bulan. 

- Tidak ada lagi mi instan dalam bungkusan makanan setelah donor darah di PMI DKI Jakarta, tetapi diganti Roma Malkist. 

Melebar sedikit ya. Soal info yang terakhir itu, sebetulnya ada cerita lucu. Dulu, setelah donor darah, saya selalu membayangkan akan langsung menyantap Indomie rebus plus telur yang disediakan di kantin, berpasangan dengan susu cokelat hangat. Sekitar 2017-2018, menu Indomie tiba-tiba menghilang dan digantikan dengan makanan yang menunya berganti-ganti, misal nasi+ayam bakar atau bihun goreng.

Saat pertama kali tidak menemukan Indomie, saya langsung protes pada ibu kantin. "Indomie-nya mana, Bu?"

Kemudian ibu kantin menjawab, "Sudah nggak ada. Enggak dibolehin dokter. Harus makanan sehat."

Yah. Saya pun menerima nampan berisi ayam bakar dan susu cokelat sambil merengut. Eh, tiba-tiba ada bapak-bapak yang sedang makan di meja sebelah counter kantin nyeletuk, "Nyari Indomie ya Mbak? Sama, saya juga."

Saya duduk di meja yang tidak jauh dari bapak itu. Tidak lama kemudian, ketika tengah makan, telinga kami mendengar ada mas-mas yang juga menanyakan Indomie pada ibu kantin. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja saya dan bapak itu tertawa, hahaha. 

Walaupun menu Indomie sudah dicoret, sebetulnya saat itu untuk bungkusan makanan ringan yang dibawa pulang masih terdapat mi ABC kemasan cup. Tapi kemarin, mi kemasan cup itu juga sudah berganti dengan Roma Malkist. 

Waw, ternyata panjang juga ya ceritanya, melebar ke mana-mana. 

Selalu jaga kesehatan, dan selamat berdonor darah. 

2 comments:

  1. Wow. Aku aja belum pernah donor darah~ 🤣

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo mam. Kalau donor di jakarta, pulangnya bisa makan coto dan buras..

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)