Saturday 26 June 2021

Buah Eksotis

Sepertinya negara-negara Asia Tenggara terkenal memiliki banyak buah eksotis. Sewaktu masih suka menonton HiHo Kids, saya juga pernah menemukan video reaksi anak-anak ketika mencicipi aneka buah eksotis, yang mungkin menurut kita sudah sangat biasa (kecuali African cucumber).


Hari ini, saya kembali bisa menemukan buah matoa. Rasanya sudah lama sekali saya tidak memakannya. Padahal, dulu saya sering menemukan buah ini di pasar tradisional atau swalayan Ada di Semarang.

Kali ini, saya menemukan matoa ketika hendak berbelanja buah di Segari. Kebetulan sekali sedang promo, harganya Rp20.000 untuk 500 gram. Soal rasa dan tekstur, masih sama. Mirip kelengkeng tetapi di hidung saya seperti tercium sedikit aroma cempedak. 

Katanya matoa ini asal Papua. Saya sering menjumpai pohonnya di kampung ayah saya di Boyolali. Sayangnya setiap kali saya ke sana, pohonnya selalu sedang tidak berbuah atau baru berbuah kecil-kecil dan banyak rontok ke tanah.



Pohon matoa di samping istana.

Saya juga menjumpai pohon matoa di samping Istana Merdeka. Saat saya menyadari keberadaannya, pohon itu sedang rimbun oleh buah yang masih kecil-kecil. Setiap kali mendatangi Istana Merdeka, saya selalu menyempatkan diri untuk mengamati perkembangannya. Harapannya ketika buahnya sudah masak, saya bisa sekalian mencari buah yang rontok dan jatuh ke tanah. Sayangnya, ada fase kami agak lama tidak mendatangi Istana Merdeka dan ketika ke sana lagi, buah-buah matoa sudah menghilang dari pohonnya. Sedih sekali.

Selain matoa, ada beberapa pohon langka yang tumbuh di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Misalnya sawo kecik dan favorit kami buah jamblang atau duwet. Saya dan teman-teman sering memungut buah jamblang yang berjatuhan. Buah jamblang ini mengingatkan kami pada masa kecil, dengan rasanya yang sepat dan manis hanya tipis-tipis. 

Kadang gemas melihat buah berwarna ungu itu bergelantungan di pohon. Ingin sekali kami melempari dengan sepatu agar buahnya berjatuhan, tapi tentu saja kami tidak berani melakukannya. Ada pula teman yang menyimpan biji buah jamblang untuk ditanam di rumah. Entah rencana itu benar-benar dia realisasikan atau tidak. 

Di kompleks itu juga ada pohon yang  buahnya unik tetapi sepertinya tidak bisa dimakan, namanya pohon sosis. Buahnya seperti sawo tetapi lebih besar dan lonjong. Buah sosis ini akan bergelantungan di pohon, dan biasanya sampai membikin orang penasaran. Saya sering melihat tamu yang penasaran pada buah itu, sehingga kemudian mereka menyentuh dan memotretnya.

Pohon sosis ini juga ada di Istana Bogor. Tetapi pohon di Istana Bogor yang membuat saya takjub adalah buah kepel. Pohonnya ada di sebelah kandang burung merak, di belakang gedung Balai Kirti.

Saya baru mengetahui eksistensi buah kepel ini ketika KKN di Magelang. Saat hendak kembali ke Semarang, bapak posko memberikan kami oleh-oleh rambutan dan buah kepel. Bentuknya seperti sawo dengan buah berwarna oranye. Rasanya manis dan ada aroma khas, sayangnya dagingnya sedikit karena bijinya besar-besar. Konon, para putri keraton Mataram suka mengonsumsinya untuk membuat badan lebih wangi.

Saya hanya sekali mencicipi buah kepel karena setelah itu tidak pernah menemukannya lagi. Ketika saya melihatnya di Istana Bogor, buahnya masih kecil-kecil dan belum bisa dimakan.

Oh iya, saya juga pernah menemukan buah menteng di depan Taman Topi, sebelah stasiun Bogor. Buahnya kecil-kecil dan rasanya asam. 

Sejak pandemi, saya lebih sering berbelanja buah secara online. Pilihannya antara melalui Happyfresh atau Segari. Nah, di Segari ini saya banyak menemukan buah-buah eksotis yang mulai langka, selain matoa. 

Pertama, buah kecapi. Saya baru sekali itu melihat dan mencicipinya. Bentuknya seperti duku tetapi memiliki ukuran lebih besar. Rasanya manis dan asam. Saya tidak berencana mencicipinya lagi karena kerepotan ketika memakannya. Soal harga, hanya Rp9.500 untuk 6 atau 7 buah atau 1 kilogram.

Kemudian, ada markisa. Saya beberapa kali memakannya sewaktu kecil, tetapi semakin jarang menemukannya saat saya dewasa. Pernah menjumpainya di toko Total dan All Fresh, tapi ya Tuhan harganya mahal sekali. Ketika di Segari, saya mendapatkannya dengan harga lebih terjangkau, yakni Rp22.500 untuk 5 buah markisa. 

Rasanya sangat enak. Saya menyesal hanya membeli satu kotak, karena ketika hendak mencarinya lagi pada pekan berikutnya, buahnya sudah menghilang dari daftar produk yang ditawarkan.

Dulu sewaktu saya kecil, sirup markisa pernah sangat populer. Ketika berkunjung ke Makassar, saya juga pernah membawanya untuk oleh-oleh, tetapi rasanya tetap lebih nikmat jika memakan buahnya langsung. 

Terakhir, ada kesemek. Sewaktu saya kecil, buah ini mudah ditemui di pasar atau tukang sayur ketika sedang musim. Belakangan, rasanya semakin sulit menemukannya.

Dari Segari, saya kembali mendapatkan buah kesemek walaupun impor dari Korea. Penampilannya lebih cantik dan mulus dari yang dulu biasa saya temukan di pasar. Kesemek impor ini juga tidak ada bijinya, sedangkan soal rasa sama-sama manis. Tetapi harganya Rp39.500 hanya untuk 2 buah, tergolong mahal buat saya. 

Katanya kesemek impor ini bisa dimakan langsung tanpa dikupas, tetapi ternyata kulitnya lumayan tebal dan tidak enak, seperti kulit pir singo.

Begitulah cerita beberapa eksotis yang saya temukan justru ketika pandemi Covid-19. Saya yakin masih banyak buah unik lain yang ada di luar sana dan belum pernah saya cicipi. 

Saya beri bonus foto bunga teratai yang cantik ini. Ada di galeri ponsel dan saya merasa sayang jika tidak mengunggahnya sekalian. 




No comments:

Post a Comment

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)