Kuliah masih berjalan biasa saja,
berkisar kilas materi dan kontrak kuliah. Di awal pertemuan ini, Mas Narto mulai memperkenalkan
mata kuliah yang akan kami jalani satu semester ke depan. Kepada kami, dia
telah menularkan virus semangat perjuangan perempuan.
Foto: google.com |
Selama ini, perempuan seperti
menempati posisi yang sangat tidak nyaman di masyarakat. Saya yakin, di antara
kalian pasti pernah mendengar, atau bahkan mengalami pertanyaan seperti ini; “Kapan
menikah?” Dan ketika sudah menikah, maka pertanyaan akan berubah menjadi; “Kapan
punya anak?”
Dalam kasus itu, perempuan
seperti tidak memiliki pilihan, selain menuruti pertanyaan lingkungannya. Saya
sangat terbiasa mendengar pertanyaan itu. Biasanya, pertanyaan itu ditujukan
kepada perempuan (yang bagi sang penanya) telah layak untuk menikah atau
memiliki anak. Saya yakin, pertanyaan itu, secara alamiah akan menciptakan
target tersendiri bagi perempuan yang ditanya. Kapan waktunya menikah dan
memiliki anak.
Kondisi itu seharusnya bisa
dihindari dengan pilihan yang dimiliki perempuan. Ketegasan dalam mengungkapkan
pilihan yang tidak merugikan diri sendiri. Perempuan, ayo gunakan pilihan yang kalian
miliki. Kita memiliki pilihan, tapi kenapa seperti tidak ada?
Mas Narto juga bercerita mengenai
sahabatnya, seorang perempuan, yang memiliki permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga. Perempuan itu menanyakan solusi kepada Mas Narto. Diskusi panjang
terjadi, dan berakhir dengan putusan, perempuan itu membicarakan secara
baik-baik kepada suaminya. Jelaskan kalau merasa keberatan dengan perlakuan
kasar dari suami, dan jika tetap tidak ada perubahan, cerai dapat menjadi
pilihan.
Setelah pembicaraan suami-istri
itu terjadi, tidak ada yang berubah. Suami tetap berlaku kasar terhadap
istrinya. Perempuan itu kembali datang kepada Mas Narto. Dia datang dengan
membawa pilihan; tetap seperti itu atau cerai dan mendapat kebebasan. Ternyata,
perempuan yang secara finansial bisa mandiri itu tidak mau menggugat cerai
suaminya, karena takut menjadi seorang janda.
Di negeri ini, sudah terbentuk
stigma bahwa janda merupakan status yang tidak bagus. Sementara duda, menjadi
status yang justru seperti kebanggaan. Terlebih ada sebutan “duren” atau duda
keren. Kenapa perempuan tidak? Mas Narto berpendapat jika itu sangat
menguntungkan laki-laki. Sementara perempuan yang menyandang status janda,
dalam masyarakat seperti tidak memiliki pilihan untuk bahagia di atas kakinya
sendiri. Pikiran Mas Narto itu, akhirnya tertular kepada kami.
Selain alasan takut berstatus
janda, perempuan tidak menggunakan pilihannya karena merasa tergantung kepada
suaminya. Ini biasa terjadi pada perempuan yang tidak bekerja. Ketika menghadapi
permasalahan dengan suaminya, perempuan ini akan pasrah dan tidak berani
menggugat cerai. Dia perpikir, ketika suaminya diadili dan dipenjara, tidak ada lagi yang memebrikan topangan finansial untuk anak dan dirinya. Tidak tahu mau makan apa.
Permasalahan perempuan yang tidak
bekerja dan ketakutannya kehilangan pegangan hidup ini sering menyulitkan
lembaga swadaya masyarakat yang hendak membantu. Ketika LSM menawarkan pilihan,
banyak perempuan yang tidak memanfaatkan kesempatannya karena takut kehilangan
penopang hidupnya.
Banyak kejadian, laki-laki
merendahkan perempuan dengan mengatasnamakan agama. Ini pikiran yang salah. Agama
bukan inspirasi untuk merendahkan perempuan. Ketika ada yang mengatakan; istri
harus menghargai dan menghormati suami, pengertian tidak berhenti sebatas itu. Harus
ditumbuhkan relasi yang sama; suami juga harus menghargai dan menghormasi
istri.
Dari perkuliahan pertama itu,
kami sudah memiliki gambaran tentang semangat feminisme. Lebih dari itu, kami
juga memiliki semangat meluruskan tradisi yang memberatkan perempuan. Pendapat perempuan
harus kalah dari laki-laki memang didukung tradisi dan kepercayaan mayoritas
orang. Namun, bukan berarti tidak bisa diluruskan. Teman-teman sesama
perempuan, kita memiliki pilihan. Jangan bersikap seolah-olah tidak
memilikinya. Agama dan hukum ada di pihak kita.
Dari perkuliahan pertama itu
pula, kami memiliki semangat untuk terus belajar tentang semangat feminisme. Kami
memiliki kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Kami juga semangat
ketika Mas Narto memberikan buku berjudul “Feminist Thought” karya Rosemarie
Putnam Tong dengan tebal 499 halaman, untuk dipelajari. Kami siap belajar dan
memperjuangkan apa yang seharusnya kami miliki. Kebebasan memilih.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)