Setelah mengikuti acara launching
Menjadi Indonesia dari Tempo Institute (Baca: #1 Di Tempo, Aku Belajar... Keluarga Baru ), aku datang ke kantor Tempo di Kebayoran
pada Senin, 16 Agustus. Mbak Mardiyah, Mbak Icha, dan awak Tempo Institute lainnya yang tahu aku berminat di
jurnalistik, langsung mengusahakan agar aku bisa magang di redaksi Tempo.
Di akhir magang, Dian berfoto bersama Mas Acil, Mas Seno, Pak Komang, dan Mas Yandi (dari kiri). Sedangkan anggota keluarga lainnya, berfoto terpisah. |
Mbak Icha segera menghubungi Pak
Burhan, executive editor di Tempo, dan kami bertemu di ruang kompartemen Metro
dan Tempo.co. Waktu itu, Pak Burhan bersama Pak Komang, redaktur pelaksana
Metro dan Tempo.co. Ternyata mereka sangat terbuka dengan adanya magang,
sehingga langsung saja aku diarahkan kepada Mas Acil, redaktur Metro.
Mas Acil yang tengah sibuk waktu itu, membuat sesi perkenalan Metro beralih kepada Mas Hasim. Dia menjelaskan
semua hal tentang kerja wartawan di lapangan. Selain itu, aku juga diberi id sebagai “magang” untuk memasukkan
berita di Keranjang Mentah pada Tempo News Room melalui intranet. Wah, memang
terasa seperti wartawan sungguhan.
Selain Pak Komang, Mas Acil, dan
Mas Hasim, di kompartemen Metro, aku kenal Mas Seno dan Mbak Martha yang juga menjadi guru hebat untukku. Mereka
yang menemani, bahkan menuntunku menjalani pekerjaan wartawan “beneran” selama
sebulan ini. Kesabaran mereka menghadapi seorang bernama Dian ini, yang
membuatku menyebut mereka “hebat”.
Selain lima guru itu, ada juga
reporter dan calon reporter (Carep) Metro yang nggak kalah seru. Ada Mbak
Rafika, Mbak Wiwi, Mbak Ananda Tere, Mbak Ananda Putri, Mas Andi, Mbak Al, Mbak
Amandra, Mas Adit, Mbak Mitra, Bli Wayan, dan Mbak Pingit. Aku sering ngobrol
dengan mereka, bahkan pernah liputan tandom dengan Mbak Amandra ke Balai Kota
dan Mas Adit ke Polda.
Serunya teman-teman di Tempo Institute. Dian, Mbak Icha, Mbak Etha, dan Mas Bram (dari kiri). |
Mas Hasim, Dian, dan Mbak Amandra (dari kiri) |
Mbak Martha, Dian, dan Mbak Al (dari kiri) |
Mbak Nanda Tere, Mbak Al, dan Dian (dari kiri) |
Magang di Metro, berarti
mengharuskan aku mengerti tentang Jakarta. Sempat kaget juga, karena tidak
banyak yang aku tahu tentang kota ini, meski banyak berita di televisi dan
koran. Ketika liputan mengenai isu baru, biasanya aku berpatok pada pemberitaan
Tempo sebelumnya. Jika masih kurang, tinggal googling saja.
Tugas pertamaku adalah meliput
sidang paripurna DPRD DKI Jakarta. Suasana ruangan yang benar-benar asing
buatku. Beruntung, aku liputan tandom dengan Mbak Amandra, jadi nggak berasa
sendirian banget. Sidang yang molor hampir satu jam itu, akhirnya dibuka setelah
Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta memasuki ruangan. Dari keseluruhan orang dalam
sidang, aku hanya tahu Fauzi Bowo dan Wanda Hamidah, aktris yang juga anggota
DPRD itu. Serius.
Selain liputan, dilibatkan dalam
rapat mingguan Metro, juga menjadi hal berharga buatku. Rapat ini diadakan
setiap Kamis malam sekitar jam 08.00 sampai jam 10.00 malam. Iya, pada jam ini,
biasanya redaktur sudah selesai mengedit untuk Metro edisi koran dan reporter
di lapangan sudah kembali ke kantor.
Rapat mingguan
ini membahas isu-isu di luar insidental yang akan diangkat seminggu ke depan.
Isu yang dibahas, bisa bermacam-macam, mulai dari kondisi sosial masyarakat
Jakarta, sampai isu Pemilukada dan isu Ramadan (kebetulan bertepatan). Semua
hal tentang Jakarta yang menurut forum menarik, akan dicatat Mas Acil dan
seorang notulen (biasanya yang sedang piket malam) untuk dijadikan agenda peliputan.
Sebagai
magangers, ternyata aku juga punya hak bicara di forum itu. Sesekali Mas Acil,
yang menjadi pemimpin rapat, menanyakan pendapat peserta rapat, termasuk aku.
Meski ada kesempatan, aku masih nggak banyak memanfaatkan. Jelas saja, karena
aku masih belum banyak mengerti situasi rapat Metro dan tergolong “buta” untuk
berpendapat tentang Jakarta, hehe. Aku kan dari Semarang.
Jangan dipikir
rapat Metro itu serius. Pikiran serius yang membayangiku selama perjalanan,
lenyap ketika memasuki ruang TNR. Ruangan itu menjadi lokasi rapat kami. Bisa berbeda
ruangan tiap minggu sih, bisa ruang TNR 1, 2, 3, atau 4.hehe.
Banyak hal lucu
yang aku temukan di tengah rapat. Salahsatunya, ketika membahas masjid Luar Batang di daerah Penjaringan, Jakarta. Pembahasan ini untuk rubrik Ramadan. Dalam rapat, Mbak Mitra yang sebelumnya ditugaskan ke masjid itu mulai
bercerita situasi di sana. Memasuki bulan Ramadan, di sana banyak musafir yang
datang untuk berdoa dan berziarah ke makam yang memang ada di area masjid.
Selain itu, ada sebatang pohon kurma yang juga menarik minat pengunjung.
Sejauh itu, nggak
ada masalah yang timbul, sampai akhirnya Mas Hasim tertarik dengan pohon kurma
dan menanyakannya pada Mbak Mitra. Eng ing eng, ternyata Mbak Mitra juga nggak
yakin dengan pohon kurma di masjid itu, karena dia nggak pernah lihat pohon
kurma secara langsung. Sontak, yang lain berkomentar; “Makanya dipastikan dulu,
jangan-jangan pohon palem biasa,” (kata seorang peserta rapat, aku lupa siapa);
“Jangan-jangan pohon salak Manado,” kata Mas Hasim. Hampir semua peserta rapat
menyuarakan pendapatnya tentang pohon mirip kurma itu, dari pohon kelapa sampai
pohon lontar. Hingga akhirnya Mas Acil berkomentar; “Atau tanaman lidah
buaya...” Nah lho, semakin ngelantur jauh.
Banyak tawa yang meledak
ketika berbicara tentang pohon mirip kurma ini. Dari perdebatan itu, ada
pekerjaan rumah buat Mbak Mitra untuk kembali ke masjid dan mengecek kebenaran
pohon kurma, hehehe.
Sebenarnya, ada
banyak cerita di ruang TNR itu. Perdebatan kocak lain juga banyak. Isu berat
seputar Ibu Kota bisa dikemas menarik dan nggak membosankan oleh teman-teman di
sini. Di tengah suara tawa kami, redaktur dan nutulen harus jeli melihat poin
dalam rapat.
Pokoknya,
terlibat dalam keluarga Metro ini memberikan pelajaran berharga buatku. Seluruh
aktivitas kejurnalistikan yang selama ini hanya aku pelajari di bangku kuliah, terasa
berbeda pada pengaplikasiannya. Sungguh menjadi pelajaran baru...
Rapat redaksi ya memang baiknya kayak begitu... Hehe...makanya di tempatku juga, kalau rapat bawaannya 35% bercanda. Biar ketegangannya melumer....
ReplyDeleteSetuju deh... Selama ini yang hanya merasakan rapat redaksi ala persma, sudah dapat gambaran juga, gimana dunia yang sebenarnya..
Deleteyup setuju sama kalian berdua :),
ReplyDeletejadi wartawan ituhhh, sesuatu ~ #mana triakannya yg mau jadi wartawaaaaaannnnnn... hahaha
ReplyDeleteDian berteriaaakk.. (yang mau jadi wartawan)
DeleteMemang sesuatu cut. Susah kalau diceritakan, hehe. Dian pengen banget, kenalin guru-guru di sana ke Cucut dan Ucil .. :)