Nggak ada liputan yang nggak
meninggalkan kesan. Kenangan tentang peristiwa dan isu yang diliput, akan lebih
diingat jika menumbuhkan emosi tertentu. Senang, sedih, takut, marah, semua
bisa dirasakan ketika di lapangan. Selain pengalaman yang aku tulis di #3 Di Tempo, Aku Belajar... Jurnalisme Empati , ada banyak kejadian lain yang mengaduk
emosi.
Ilustrasi |
Mengetahui sidang dengan agenda
pembacaan tuntutan oleh jaksa ditunda, bukan berarti masalah (di lokasi) selesai.
Keluarga korban kecelakaan yang datang, langsung mengamuk. Mereka merasa
dipermainkan, oleh sidang yang terkesan lambat dan diperlama. Berbagai umpatan untuk
Afriyani dan hakim, keluar dari mulut mereka. Aku kaget dan kebingungan dengan
teriakan marah itu.
Aku yang kebingungan, segera
mengejar keluarga korban yang mengamuk. Ketika sidang ditunda, bukan berarti
nggak ada berita. Pokoknya aku pulang ke kantor harus membawa berita. Aku langsung
menghampiri seorang ibu korban yang berteriak sambil menangis bersama seorang
laki-laki. Aku menyimak dengan jelas apa yang dikatakannya.
Aku tahu perasaan mereka kacau,
mungkin campuran marah dan sedih. Keluhan dan umpatan meluncur dari mulut
mereka. Gebrakan pintu dan tendangan ke tembok juga terjadi. Aku sangat takut
jika penundaan ini berbuntut ricuh. Aku berusaha tetap tenang dan konsentrasi
menyimak perkataan orang yang akan menjadi narsumber beritaku. Suasana baru kembali
tenang setelah keluarga korban mulai meninggalkan gedung pengadilan. Ketika itu,
rasa kaget dan takutku berangsur hilang.
Kondisi tidak jauh berbeda ketika
aku kembali datang ke meliput persidangan itu seminggu kemudian. Persidangan itu
berjalan seperti biasa dan jaksa membacakan tuntutan 20 tahun penjara kepada
Afriyani. Aku berpikir keluarga korban tidak akan mengamuk seperti kemarin karena
sidang berjalan lancar, meski tuntutan hanya 20 tahun penjara. Tapi, dugaanku
meleset. Ada yang terima dengan tuntutan 20 tahun, namun ada juga yang masih
berteriak; “Afiriyani harus dihukum mati” dan “Afriyani harus dihukum seumur hidup.”Menurutku,
ini tetap saja peliputan yang menegangkan.
Ketika pembacaan vonis, aku tidak
meliput. Dari televisi dan koran, aku tahu di sana sangat ricuh. Bayangan suasana
sidang itu langsung datang ke kepala. Ada rasa bersyukur, aku tidak harus
meliput persidangan yang “menyeramkan” itu. Tapi, ada juga rasa penasaran untuk
menantang kekuatan mental, hehehe.
Suasana persidangan sangat
berbeda dengan pasar. Ketika mahalnya kedelai berimbas pada kelangkaan tahu dan
tempe di pasar, aku turut dilibatkan memantau Pasar Kebayoran. Kejadian menegangkan
juga terjadi di sini.
Aku diminta Mbak Martha memantau
keberadaan tahu dan tempe di pasar itu. Aku menjelajahi pasar, dari pasar
tumpah di bawah jembatan layang, sampai ke lokasi utama. Aku tidak menemukan
penjual olahan kedelai itu. Tapi, di dalam pasar, aku menemukan gundukan tahu
yang remuk bekas diinjak. Menurut pedagang di sana, itu sisa demo malam
sebelumnya.
Tapi, beranjak pulang, aku
menemukan satu nampan tahu Jawa yang dijajakan seorang pedagang. Aku bertanya
banyak pada Bu Endang, pedagang tahu itu, tentang dagangannya. Dia mengatakan, mendapat
kiriman dari Jawa Tengah.
Ketika selesai wawancara dan
mengambil gambar, aku beranjak pulang. Di tengah perjalanan, ada ambulan dan mobil
bak terbuka berisi massa yang masuk ke pasar. Aku sempat kaget dan kembali ke
pasar, mengikuti massa. Aku melihat mereka mengambil tahu Bu Endang. Aku yang
tahu itu tahu Jawa, ikut menanyakan alasan kenapa tahu itu turut di razia. “Terserah
tahu apa saja, yang penting tahu dan tempe,” kalimat itu yang menjadi jawaban
massa. Dalam hati, ada rasa kesal juga, pada massa yang bertindak merugikan
itu.
Aku kembali menghampiri lapak Bu
Endang. Yang terjadi, justru Bu Endang menyalahkan dan menuduhku melaporkan tahu
dagangannya pada massa. Kaget. Tapi, dibantu pedagang lain, aku memberi
pengertian pada Bu Endang. Aku sama sekali tidak tahu akan ada razia itu. Beruntung,
Bu Endang, tidak melanjutkan kemarahannya. Dia langsung menelepon seseorang dan
sambil menangis, dia mengatakan tahu datangannya diambil massa. Aku semakin iba
padanya, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika sampai di kantor, aku
bercerita suasana pasar pada Mbak Martha. Kemudian, sampai aku menuliskannya
dalam bentuk berita, pikiranku masih mengingat peristiwa razia itu. Aku hanya diam
dan memotivasi diri, untuk membuat pikiran kembali fokus.
Itu hanya sedikit ceritaku
mengendalikan emosi, karena masih ada banyak lagi.
Cara magang di Tempo itu gimana ya kak prosedurnya? Makasih :)
ReplyDeleteKebetulan, dulu aku dapat kesempatan magang itu dari lomba Tempo Institute. Nah, kita juga bisa mengirim lamaran ke PSDM Tempo. Nanti jika cocok akan dihubungi. Tapi ya kita harus sabar, karena biasanya daftar antreannya panjang.
DeletePengen magang di sana? Semangat yakk
Hai! Kalau boleh tanya, apakah ada honor untuk karyawan magang di tempo?
DeleteHai! Kalau boleh tanya, apakah ada honor untuk karyawan magang di tempo?
DeleteSaat saya magang, tidak ada honornya. Tetapi, biaya transportasi kita bisa di-reimburse ke kantor. Mungkin sekarang ketentuannya bisa saja berubah. Coba saja hubungan PSDM (HRD) Tempo ya..
Delete