Sunday, 9 September 2012

#5 Di Tempo, Aku Belajar... Mengendalikan Emosi

Selama magang di Tempo, aku mengalami banyak peristiwa unik dan baru pertama kali. Tempo berbeda dengan kuliah. Isu yang diliput juga berbeda dengan yang aku terima di bangku kuliah. Isu di sini yang langsung berkaitan dengan “masyarakat”, terlebih Jakarta, menjadi pengalaman baru.

Nggak ada liputan yang nggak meninggalkan kesan. Kenangan tentang peristiwa dan isu yang diliput, akan lebih diingat jika menumbuhkan emosi tertentu. Senang, sedih, takut, marah, semua bisa dirasakan ketika di lapangan. Selain pengalaman yang aku tulis di #3 Di Tempo, Aku Belajar... Jurnalisme Empati , ada banyak kejadian lain yang mengaduk emosi.
Ilustrasi
Selama magang, aku sudah dua kali datang meliput persidangan kasus “Xenia Maut” dengan terdakwa Afriyani Susanti. Aku meliput di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 23 Juli lalu. Jujur saja, peliputan itu menjadi pengalaman pertama buatku memasuki ruang persidangan. Setelah duduk lama di ruangan, hakim mengatakan, sidang diundur satu minggu, karena alasan jaksa belum siap materi. Dongkol.

Mengetahui sidang dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa ditunda, bukan berarti masalah (di lokasi) selesai. Keluarga korban kecelakaan yang datang, langsung mengamuk. Mereka merasa dipermainkan, oleh sidang yang terkesan lambat dan diperlama. Berbagai umpatan untuk Afriyani dan hakim, keluar dari mulut mereka. Aku kaget dan kebingungan dengan teriakan marah itu.

Aku yang kebingungan, segera mengejar keluarga korban yang mengamuk. Ketika sidang ditunda, bukan berarti nggak ada berita. Pokoknya aku pulang ke kantor harus membawa berita. Aku langsung menghampiri seorang ibu korban yang berteriak sambil menangis bersama seorang laki-laki. Aku menyimak dengan jelas apa yang dikatakannya.

Aku tahu perasaan mereka kacau, mungkin campuran marah dan sedih. Keluhan dan umpatan meluncur dari mulut mereka. Gebrakan pintu dan tendangan ke tembok juga terjadi. Aku sangat takut jika penundaan ini berbuntut ricuh. Aku berusaha tetap tenang dan konsentrasi menyimak perkataan orang yang akan menjadi narsumber beritaku. Suasana baru kembali tenang setelah keluarga korban mulai meninggalkan gedung pengadilan. Ketika itu, rasa kaget dan takutku berangsur hilang.

Kondisi tidak jauh berbeda ketika aku kembali datang ke meliput persidangan itu seminggu kemudian. Persidangan itu berjalan seperti biasa dan jaksa membacakan tuntutan 20 tahun penjara kepada Afriyani. Aku berpikir keluarga korban tidak akan mengamuk seperti kemarin karena sidang berjalan lancar, meski tuntutan hanya 20 tahun penjara. Tapi, dugaanku meleset. Ada yang terima dengan tuntutan 20 tahun, namun ada juga yang masih berteriak; “Afiriyani harus dihukum mati” dan “Afriyani harus dihukum seumur hidup.”Menurutku, ini tetap saja peliputan yang menegangkan.

Ketika pembacaan vonis, aku tidak meliput. Dari televisi dan koran, aku tahu di sana sangat ricuh. Bayangan suasana sidang itu langsung datang ke kepala. Ada rasa bersyukur, aku tidak harus meliput persidangan yang “menyeramkan” itu. Tapi, ada juga rasa penasaran untuk menantang kekuatan mental, hehehe.

Suasana persidangan sangat berbeda dengan pasar. Ketika mahalnya kedelai berimbas pada kelangkaan tahu dan tempe di pasar, aku turut dilibatkan memantau Pasar Kebayoran. Kejadian menegangkan juga terjadi di sini.

Aku diminta Mbak Martha memantau keberadaan tahu dan tempe di pasar itu. Aku menjelajahi pasar, dari pasar tumpah di bawah jembatan layang, sampai ke lokasi utama. Aku tidak menemukan penjual olahan kedelai itu. Tapi, di dalam pasar, aku menemukan gundukan tahu yang remuk bekas diinjak. Menurut pedagang di sana, itu sisa demo malam sebelumnya.

Tapi, beranjak pulang, aku menemukan satu nampan tahu Jawa yang dijajakan seorang pedagang. Aku bertanya banyak pada Bu Endang, pedagang tahu itu, tentang dagangannya. Dia mengatakan, mendapat kiriman dari Jawa Tengah.

Ketika selesai wawancara dan mengambil gambar, aku beranjak pulang. Di tengah perjalanan, ada ambulan dan mobil bak terbuka berisi massa yang masuk ke pasar. Aku sempat kaget dan kembali ke pasar, mengikuti massa. Aku melihat mereka mengambil tahu Bu Endang. Aku yang tahu itu tahu Jawa, ikut menanyakan alasan kenapa tahu itu turut di razia. “Terserah tahu apa saja, yang penting tahu dan tempe,” kalimat itu yang menjadi jawaban massa. Dalam hati, ada rasa kesal juga, pada massa yang bertindak merugikan itu.

Aku kembali menghampiri lapak Bu Endang. Yang terjadi, justru Bu Endang menyalahkan dan menuduhku melaporkan tahu dagangannya pada massa. Kaget. Tapi, dibantu pedagang lain, aku memberi pengertian pada Bu Endang. Aku sama sekali tidak tahu akan ada razia itu. Beruntung, Bu Endang, tidak melanjutkan kemarahannya. Dia langsung menelepon seseorang dan sambil menangis, dia mengatakan tahu datangannya diambil massa. Aku semakin iba padanya, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa.

Ketika sampai di kantor, aku bercerita suasana pasar pada Mbak Martha. Kemudian, sampai aku menuliskannya dalam bentuk berita, pikiranku masih mengingat peristiwa razia itu. Aku hanya diam dan memotivasi diri, untuk membuat pikiran kembali fokus.

Itu hanya sedikit ceritaku mengendalikan emosi, karena masih ada banyak lagi.

5 comments:

  1. Cara magang di Tempo itu gimana ya kak prosedurnya? Makasih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan, dulu aku dapat kesempatan magang itu dari lomba Tempo Institute. Nah, kita juga bisa mengirim lamaran ke PSDM Tempo. Nanti jika cocok akan dihubungi. Tapi ya kita harus sabar, karena biasanya daftar antreannya panjang.
      Pengen magang di sana? Semangat yakk

      Delete
    2. Hai! Kalau boleh tanya, apakah ada honor untuk karyawan magang di tempo?

      Delete
    3. Hai! Kalau boleh tanya, apakah ada honor untuk karyawan magang di tempo?

      Delete
    4. Saat saya magang, tidak ada honornya. Tetapi, biaya transportasi kita bisa di-reimburse ke kantor. Mungkin sekarang ketentuannya bisa saja berubah. Coba saja hubungan PSDM (HRD) Tempo ya..

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)