Saturday 30 August 2014

Melirik Kembali Jamu sebagai Obat Tradisional

Patung diorama pembuatan jamu di museum jamu.


Telah sejak lama, jamu menjadi obat tradisional di Indonesia. Sejak berabad tahun lalu, nenek moyang kita sudah berkreasi memanfaatkan beragam flora khas Nusantara untuk dijadikan jamu. Kini, resep dan teknologi pembuatan jamu menjadi warisan kebudayaan, yang harus kita jaga kelestariannya.

Sejak kecil, saya sudah akrab dengan jamu. Dari yang awalnya hanya berani meneguk beras kencur, beranjak remaja saya mulai beralih pada kunyit asam. Sampai sekarang, penjual jamu gendong langganan saya yang bernama Mbak Sri, masih setia berkeliling perumahan untuk menjajakan dagangannya.


Ya, di tengah gempuran obat modern, ternyata jamu tetap memiliki peminat. Buktinya, masih ada penjual dan pelanggan setia jamu gendong seperti para ibu di perumahan saya. Namun, jika kehadiran Mbak Sri masih kurang untuk dijadikan contoh, maka tengok saja perkampungan jamu Ngadirgo dan Wonopolo di Kecamatan Mijen, Semarang. Di sana, ada lebih dari 80 peracik dan penjual jamu gendong yang saban hari menjajakan dagangannya ke seantero kota.

Saya pernah berkesempatan datang dan melihat langsung aktivitas mereka. Tujuan saya saat itu adalah untuk mengerjakan tugas fotografi yang bertema warisan budaya Nusantara. Saya yang tertarik tentang jamu, memilih potret jamu gendong sebagai materi tugas.

Saya menginap di rumah salah satu penjual jamu gendong bernama Bu Suhanah. Di sana, saya mengamati aktivitas meracik jamu yang dimulai pada pukul 03.00 dini hari. Sedangkan sejak sehari sebelumnya, persiapan berupa mengumpulkan bahan dan mencuci botol sudah dilakukan.

Bu Suhanah, salah satu penjual jamu gendong
di Semarang.

Setiap hari, mereka harus meracik beberapa jenis jamu, semisal kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, sambiloto, dan air sirih. Jamu-jamu itu dibuat dari bahan alami yang terdiri dari aneka rimpang dan dedaunan. Bahan-bahan kimia sama sekali tidak ditemukan dalam jamu buatan mereka, karena bahan tambahan untuk rasa hanya berupa gula jawa dan sedikit garam. Metode peracikan juga masih tradisional, menggunakan lumpang dan pipisan. Lumpang digunakan untuk menumbuk, sedangkan pipisan untuk menggiling bahan-bahan jamu.

Bu Suhanah meracik jamu kunyit asam.

Pendapatan kotor setiap penjual jamu gendong mencapai Rp 150 ribu per hari. Inilah yang membuktikan bahwa jamu masih eksis di tengah masyarakat. Yang membuat saya kagum, ternyata para penjual jamu gendong itu juga bertekat melestarikan jamu, sekaligus mata pencaharian mereka. Demi menepis kekhawatiran akan punahnya jamu gendong, beberapa penjual jamu, termasuk Bu Suhanah, telah mempersiapkan anak perempuan mereka untuk melanjutkan usaha jamu gendong.

Khasanah tentang jamu juga saya pelajari saat mengunjungi museum jamu di Semarang. Kebetulan, di kota ini, ada tiga pabrik jamu, yang dua di antaranya memiliki museum. Museum jamu yang dikelola swasta itu terbuka untuk umum, sehingga siapa saja yang berminat, bisa datang mengunjunginya.

Museum-museum ini menyimpan berbagai pernah-pernik seputar jamu. Ada banyak foto yang menjelaskan proses pembuatan jamu, peralatan meracik jamu, dan metamorfosa pengemasan jamu sejak dulu sampai sekarang. Aneka bahan jamu yang masih asing bagi saya juga dipamerkan, seperti secang, sarinogo, gaplek polo, dan temu giring. Oiya, dari museum ini saya juga tahu, selain untuk pengobatan, ternyata jamu dimanfaatkan pula untuk kecantikan. Misalnya untuk memperhalus kulit dan memperindah rambut.

Bahan pembuatan jamu yang dipamerkan museum.

Di dua museum itu, saya melihat jamu telah berkembang sedemikian pesat. Namun, kekaguman saya tentang jamu semakin besar saat berkesempatan field trip mengunjungi pabrik jamu modern di Jalan Soekarno-Hatta, Semarang. Di sana, berbagai bahan jamu tidak lagi diolah menggunakan lumpang dan pipisan seperti di rumah Bu Suhanah, melainkan mesin-mesin raksasa yang canggih.

Kualitas jamu juga tetap menjadi nomor satu. Saya melihat gudang penyimpanan bahan baku yang sangat rapi dan bersih, lengkap dengan tanggal kadaluwarsa yang disematkan di setiap karung. Semua proses peracikan dan pengemasan sudah menggunakan mesin. Demi menjaga kebersihan, saya hanya diperbolehkan melihat proses-proses itu di balik kaca.

Saya jadi penasaran tentang bahan-bahan pembuatan jamu, karena konon, di negeri ini terdapat ratusan tanaman yang dipercaya dapat digunakan untuk pengobatan. Dari website lembaga pengujian tanaman obat bernama Pusat Studi Biofarmaka, saya jadi tahu ada banyak sekali tanaman yang terbukti secara ilmiah sebagai obat. Beberapa nama tanaman bahkan sangat asing di telinga dan sebelum melihat gambarnya, saya bahkan tidak memiliki bayangan sama sekali ihwal bentuk tanaman itu.

Selain itu, dari website ini juga, saya baru tahu ternyata ada banyak sekali bahan herbal di sekitar kita yang bisa dimanfaatkan sebagai jamu. Sering kali kita abaikan, tapi ternyata menyimpan khasiat yang luar biasa. Misalnya, pohon tanjung yang biasanya kita kenal sebagai peneduh di pinggir jalan, ternyata daunnya menyimpan khasiat mencegah kerusakan otak, antioksidan, sampai menyembuhkan penyakit lambung.

Ada pula tanaman lidah mertua yang sering kita lihat sebagai penghias di teras rumah. Ternyata, melalui penelitian, diketahui bahwa lidah mertua memiliki khasiat mengobati diabetes, gangguan pernapasan, sampai kanker ganas. Pohon beringin yang terkenal horor juga tidak kalah berkhasiat. Ternyata daunnya bermanfaat untuk membersihkan darah dan antioksidan. Itu hanya tiga contoh, karena masih banyak sekali tanaman di sekitar kita yang bermanfaat sebagai obat. Luar biasa, bukan?
Tanaman binahong di samping rumah.
Tanaman sirih di samping rumah.
Kini, saya sekeluarga sudah mulai melirik kembali tanaman herbal yang bermanfaat itu. Kami mulai menghindari penggunaan obat kimia, dengan pertimbangan efek samping. Contoh sederhananya, saat sedang masuk angin, saya suka mencampur jeruk nipis dengan air hangat, yang kemudian ditambah beberapa sendok madu. Sementara ayah saya, saat kurang enak badan, dia suka memetik tanaman binahong (kami menyebutnya biahong) di samping rumah untuk direbus yang kemudian airnya diminum. Dari resep sederhana itu, kami memang merasakan khasiatnya, ditambah bonus tanpa khawatir ada efek samping.

Bagaimana, apakah sudah tertarik memanfaatkan kembali bahan herbal untuk kesehatan? Hitung-hitung melestarikan warisan budaya dari nenek moyang. Toh, kita sendiri juga yang merasakan khasiatnya. 

Referensi
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection
http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal

9 comments:

  1. Bagus tulisannya :)
    Btw,alat peracik jamu "pipisan" itu gimana bentuknya ya? Baru denger deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pipisan itu alat untuk menggiling bahan-bahan jamu, Vey. Coba deh, kamu perhatikan gambar pertama di tulisan ini. Di diorama itu, perempuan yang berbaju biru sedang memperagakan penggilingan jamu dengan pipisan :D

      Delete
  2. Salut ya..akan perjuangan penjual jamu gendong dalam upayanya mempertahankan warisa budaya ini. Salam kenal dari saya...Silahkan mampir juga di blog saya http://sulistyoriniberbagi.blogspot.com/2014/08/melestarikan-jamu-memajukan-budaya.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Terasa sekali semangat mereka untuk melestarikan jamu gendong. Tugas kita adalah mendukungnya :)

      Delete
  3. Wih, wih, makin bangga ya dgn kekayaan budaya bangsa kita. Jamu, salah satunya
    Good luck ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Tugas kita sekarang adalah melestarikannya :D

      Delete
  4. penjual jamu gendong makin sedikit di kota besar...untungnya kini ada jamu kemasan yang aman . btw, sukses kontesnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba deh berkunjung ke Semarang. Nanti bisa berkunjung ke perkampungan jamu di Mijen. Atau mengunjungi pabrik jamu kemasan juga bisa..
      Iya, terima kasih.. :)

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)