foto: google.com |
Pers di Indonesia memiliki peranan penting bagi masyarakat. Selain fungsinya sebagai penyampai informasi dan sarana hiburan, pers juga berperan mengedukasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Melalui produk-produk jurnalistiknya, pers senantiasa berhubungan dengan publik, sebagai konsumennya.
Perjalanan panjang menuju kebebasan, telah dirasakan oleh pers Indonesia. Latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan sejati, membuat pers di Indonesia mengerti benar bagaimana posisinya di tengah masyarakat. Mengemban fungsi sebagai penyampai informasi, pers dituntut untuk selalu terbuka dengan isu yang tengah berkembang, kemudian mempublikasikannya.
Indonesia saat ini menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Sistem ini berarti bahwa kebebasan, mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Indonesia. Tanggung jawab dalam menjalankan fungsi-fungsi pers kepada masyarakat, penting dilakukan untuk menjaga stabilitas sosial-politik negeri.
Demi menjamin kebebasan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk beragam regulasi, salah satunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini mengatur setiap pergerakan pers menjalankan prinsip jurnalisme dalam masyarakat. Selain itu, jaminan besar atas pers dalam menjalankan setiap fungsinya juga diberikan. Kemerdekaan menyajikan informasi menjadi perhatian besar dan sangat diperjuangkan dalam dunia pers Indonesia. Salah satu cara menyampaikan informasi secara lengkap dan mendalam, ditemukan pada bidang jurnalisme investigasi.
foto: google.com |
Menyebar Informasi dengan Jurnalisme Investigasi
Banyaknya fenomena yang belum banyak diketahui masyarakat, tetapi penting dan perlu untuk diketahui, melatarbelakangi lahirnya jurnalisme investigasi. Kegiatan jurnalisme ini dituntut mencari fakta di lapangan sebagai upaya menyatakan kebenaran kepada publik. Hanya saja, tidak semua objek berita layak dan memerlukan proses investigasi. Banyaknya kasus korupsi, perdagangan narkoba, berbagai pelanggaran hukum ataupun peristiwa yang merugikan banyak orang tidak bisa dinyatakan hanya dengan sepotong berita langsung (straight news) dan harus disajikan dalam bentuk komperhensif.
Kasus atau peristiwa semacam itu membutuhkan metode peliputan khusus yang dikenal dengan jurnalisme investigasi. Di balik kegiatan jurnalisme itu berdiri bangunan etika yang patut dijadikan pegangan para wartawan sebagai awak pers. Dalam menjalankan profesinya, wartawan sebenarnya telah dihadapkan pilihan etika, terutama pada saat menghadapi kasus yang merugikan kepentingan publik, yakni apakah akan memberitakan atau tidak.
Menjawab persoalan dilematis seperti ini, seorang wartawan perlu membekali diri tidak hanya kemampuan menggali fakta di lapangan dan mengartikulasikannya dalam tulisan yang baik, tetapi juga keteguhan hati untuk secara tuntas melakukan liputan hingga target pengungkapan kebenaran tercapai. Perlindungan atas profesi yang diberikan, membuat wartawan menemukan makna ”kemerdekaan” dalam menjalankan setiap tugasnya.
UU Intelijen Negara Filter Baru Jurnalisme
Kemerdekaan pers yang telah dan terus diperjuangkan, terusik dengan munculnya UU Intelijen Negara yang disahkan pada 11 Oktober 2011 lalu. UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara merupakan regulasi yang mengatur penyebarluasan informasi yang termasuk “rahasia intelijen” dan “informasi negara”. Meski mendapat kecaman dari organisasi kewartawanan dan masyarakat, UU yang dinilai lahir prematur ini menjadi semacam “pembungkam” penyebaran informasi kepada masyarakat.
Undang-Undang Intelijen Negara, nyatanya bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Regulasi ini dinilai banyak kalangan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen mudah disalahgunakan penyelenggara intelijen negara ataupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara ataupun kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa. Imbasnya pada dunia jurnalistik, menghambat penyebaran informasi kategori "sensitif" kepada masyarakat, yang biasa dilakukan para penganut jurnalisme investigasi.
UU Intelijen dinilai organisasi kewartawanan penuh 'pasal karet', seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (6) yang mendefinisikan rahasia intelijen secara luas, bahkan melebihi definisi informasi yang dikecualikan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Dari sampel ayat pada UU Intelijen ini, menunjukkan kekuatan sebuah UU yang dapat menjatuhkan tuntutan pidana 10 tahun penjara kepada jurnalis tentang tugasnya sendiri menyampaikan informasi publik. Pencideraan terhadap UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik ini terang saja membuat masyarakat dan organisasi kewartawanan menolak disahkannya UU ini.
Tidak hanya organisasi kewartawanan seperti AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga menilai keberadaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara ini menjadi penyebab merosotnya peringkat kemerdekaan pers di Indonesia di mata dunia. Jurnalisme investigasi yang semestinya menjadi corong penyebaran informasi, akan dengan mudah terpatahkan oleh UU yang mengatasnamakan dirinya sebagai 'filter' rahasia negara. Menjalankan UU Intelijen Negara dapat pula diartikan sebagai memenjarakan kembali kemerdekaan pers yang selama ini diperjuangkan.
asalkan para wartawan bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik, jangan takut... semangat :)
ReplyDeleteSetuju deh.. UU pers dan kode etik dibuat kan juga untuk melindungi wartawan, bukan memenjarakan.. :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTidak ada masalah ketika UU Intelijen disahkan. Kita memiliki ranah masing-masing. Itu mungkin keresahan-keresahan segelintir orang yang merasa terkekang. Padahal selagi wartawan itu professional dan sesuai dengan kode etik tak ada masalah. Justru adanya UU Intelijen setidaknya kita ada pemantau, sehingga lebih berhati-hati dalam pemberitaan.
ReplyDeletesetuju dengan Ai,
Salam.
Betul Dewi. Setuju. Prinsip verifikasi bisa jadi salah satu cara kita berhati-hati dalam penerbitan. Tidak hanyak cover both side, tapi cover many side :)
ReplyDeletesegala sesuatu yang berkaitan dengan keintelijenan(rahasia negara,dll) memang kita sebagai orang awam tak berhak untuk mengetahuinya --,
ReplyDeleteUU intelejen bukan sebuah penghalang untuk berita investigasi.
ReplyDeletewalaupun memang ada beberapa pasal yang seolah-olah ingin merampas kebebasan pers. selagi wartawan selalu memegang idealismenya saya kira mereka bisa menerima itu.
jangan-jangan yang protes akan UU Intelejen Negara mareka belum meneliti/menganalisis lebih lanjut tentang isinya.hhehe...:-)
"UU Intelijen dinilai organisasi kewartawanan penuh 'pasal karet', seperti yang tercantum dalam pasal 1 ayat (6) yang mendefinisikan rahasia intelijen secara luas"
ReplyDeletejika memang faktanya seperti kutipan ini, maka UU intejen negara memang harus lebih spesifik, agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh "sang penguasa".
pro kontra dalam persoalan apapun selalu ada dan pasti ada, ini bukan ancaman tapi hanya cara lain untuk mengembangkan kreativitas wartawan itu sendiri.. batasan yang dibuat tak perlu dianggap sebagai penghambat kita melaksanakan tugas dan komitmen, tapi justru sebagai bahan acuan untuk dapat menemukan essensi lebih dari profesi tersebut
ReplyDeleteYa, saya kesal juga kalau tugas kewartawanan kita dibatas-batasi...
ReplyDeletebatas yang dibuat karena adanya UU tersebut saya rasa baik karena kita tau kemampuan wartawan dalam menyampaikan berita itu tidak lah sama.Ivestigasi yang sudah menjurus ke ranah pribadi mungkin bisa saja terjadi
ReplyDeleteDan disini tugas wartawan hendaknya mengedukasi para pembacanya.
Adanya Uu tersebut menjadi acuan dan batasan dalam bertindak sehingga konten berita sesuai dengan tugas wartawan, yaitu mengedukasi pembaca
#IMHO