Friday, 13 July 2012

Pesona Kota Tua

 Cerita sebelumnya: Liburan ala Kami

Vella, Dhea, dan saya, terbangun ketika matahari sudah muncul. Butuh waktu lama bagi kami mengumpulkan seluruh nyawa dan menjaga mata tetap terbuka. Sarapan dan mandi menjadi aktivitas pertama di rumah Vella.

Setelah kami kembali wangi, perjalanan pertama siap kami lakukan. Keluar komplek perumahan, kami segera menumpang angkot dua kali untuk sampai di Terminal Kalideres. Busway menjadi alat transportasi kami selanjutnya. Cukup membayar Rp 3,5 ribu, kami akan diantarkan menuju Kota, dengan transit di Harmoni.

Menyebut nama Kota, pasti Kota Tua sudah ada di kepala. Butuh waktu dua jam bagi kami menuju lokasi itu, dari rumah Vella. Keluar dari shelter, kami langsung memasuki Museum Bank Madiri, yang menjadi museum perbankan pertama di Indonesia. 
Pintu masuk Museum Bank Mandiri


Gedung museum ini merupakan bekas gedung Nederlandsche Handel Maatschappij NV (1929). Museum bergaya Art Deco Klasik ini menempati area seluas 22. 176 m2 dan berada di kawasan Kota Tua. Bea masuk Rp 2 ribu hanya berlaku bagi orang dewasa, dan Rp 1 ribu untuk rombongan. Untuk anak-anak, pelajar, mahasiswa, nasabah, dan pemegang kartu Mandiri, akan bebas masuk museum secara gratis. Dan kami termasuk yang gratisan masuk.

Gedung megah ini menyimpan koleksi buku-buku besar, mesin hitung, perangkat komputer, brangkas, hingga mata uang kuno. Museum ini juga dibuat dengan bilik-bilik menyerupai ruangan kerja. Di dalam ruangan itu, tidak hanya ditemui beragam koleksi peralatan kuno, namun juga diorama pegawai bank yang tengah bekerja. Ada diorama orang bekerja dengan brangkas, orang rapat, hingga mengoperasikan komputer.
Perkembangan alat hitung, mulai dari sempoa sampai kalkulator
Mesin ketik yang digunakan Bank Mandiri, sebelum beralih ke komputer.
Diorama akuntan yang tengah bekerja
Kami baru tahu, jika di lantai atas ada perpustakaan dan pameran foto. Kami menyadarinya, ketika ada sebuah lift kuno dengan pintu kaca di belakang gedung. Di depan lift tersebut, terdapat arah panah bertuliskan "pameran foto". Bentuk lift yang memperlihatkan kabel-kabel pengait, ditambah seorang mbak-mbak muncul tiba-tiba,  mampu mengagetkan kami. Segera kami kuasai kekagetan dan bergabung masuk ke dalam lift.

Naik satu lantai, ternyata kami bukan di pameran, melainkan di perpustakaan. Mbak yang satu lift tadi, ternyata petugas di sana. Lumayan besar ruangannya, dengan koleksi buku yang bervariasi. Karena perpustakaan ini berada di museum bank, saya perpikir perpustakaan ini hanya menyimpan koleksi buku akuntansi dan perbankan. Ternyata, pikiran itu melenceng, bahkan, ada ruang bermain dan membaca anak.

Namun, perpustakaan ini terkesan tidak up to date. Saya masih bisa menemui koran Kompas dan tabloid Jakarta Globe edisi Juli 2011. Selain itu, ada pula majalah Tempo edisi Rekening Gendut dan National Geographic edisi Cleopatra, yang kita tahu itu keluaran pertengahan 2011. 
Di balik pintu di pameran foto. Berantakan sekali ya,,,
Coba perhatikan edisi kedua majalah ini. Juli 2011, Boy..
Masih penasaran dengan pameran fotografi, kami bertanya dengan petugas perpustakaan. Ternyata, pameran itu ada di satu lantai di atas perpustakaan. Bergegaslah kami ke sana, mengobati rasa penasaran, dan kembali menaiki lift menyeramkan itu.

Keluar dari lift, kami disambut mozaik kaca warna-warni. Ternyata, lantai itu memang khusus kesenian. Lorongnya sepi, tapi banyak poster bagus. Ada panggung kesenian dan patung di sepanjang jalan menuju ruang pamer. Di ujung jalan, itulah ruang pameran foto. Beragam gaya foto dipamerkan, mulai dari teknik slow speed dan night shoot, hingga foto gaya jurnalistik.

Sayangnya, pameran ini seperti minim peminat, karena yang menjadi pengunjung saat itu, hanya kami bertiga. Serius. Saya tidak tahu alasannya, mungkin papan petunjuk jalan yang kurang, atau bagaimana.
Suasana pameran foto di Museum yang sepi pengunjung.
Pukul 00.01 siang lebih, kami beranjak dari museum Bank Mandiri. Tujuan selanjutnya adalah museum sejarah Jakarta atau Fatahillah. Di sepanjang jalan, kita akan menemui banyak jajanan khas Jakarta dengan gaya gerobak atau kaki lima. Dhea seketika langsung tertarik dengan sebuah kue berukuran kecil yang ternyata bernama Kue Cubit. Unik ya..

Tidak jauh berjalan kaki dari Museum Bank Mandiri, kami telah sampai di Museum Fatahillah. Untuk menikmati koleksi museum, pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp 2 ribu. Tapi, kesabaran kita menjadi sangat penting, karena antreannya lumayan panjang.

Memasuki ruangan, kita akan disambut diorama yang melibatkan pejuang kemerdekaan dengan penjajah zaman Belanda. Yang paling menarik perhatian saya, diorama itu bercerita tentang hukum pancung bagi para pejuang bangsa. Miris sekali rasanya.

Beranjak dari lobi museum, kita dapat menaiki tangga untuk menyaksikan koleksi yang tersimpan di lantai dua. Ada banyak koleksi yang berumur ratusan tahun, seperti lemari penyimpan arsip, meja-kursi, tempat tidur, hingga lukisan gubernur Belanda. Meski ada peringatan dilarang mengambil gambar, banyak pengunjung yang tetap nakal memotret, bahkan menduduki kursi dan tempat tidur yang sangat jelas terpasang tali penghambat.

Cukup lama kami mengelilingi museum, dan ketika badan mulai terasa pegal, kami beranjak ke taman belakang museum untuk beristirahat. Suasananya seperti perkampungan Betawi versi mini, dengan bangunan khas berwarna putih dan hijau. Karena lapar dan haus yang mulai datang, kami membeli minuman khas Jakarta, selendang mayang.

Minuman ini terbuat dari campuran tepung terigu dan tepung sagu yang dicetak ke dalam sebuah loyang. Jadi penyajiannya dengan memotong kecil-kecil isi minuman itu dengan sendok. Dinamakan selendang mayang, karena warna bagian atas isi minuman ini berwarna merah atau hijau, seperti selendang. Nama “mayang”, berasal dari gula aren atau banyak orang menyebut mayang yang menjadi pemanisnya. Namun, secara rasa mirip es cendol.
Pedagang Es Selendang Mayang yang tengah mempersiapkan seporsi minuman
Keluar museum Fatahillah, jangan khawatir kekurangan hiburan atau permainan. Di pelataran museum, banyak disewakan sepeda dengan topi khas noni dan tuan Eropa. Dengan Rp 20 ribu, kita bisa berkeliling Kota Tua Jakarta. 
Suasana depan Museum Fatahillah
Di luar komplek museum, kita akan menemui gerobak es potong. Saya langsung tertarik untuk membeli, diikuti Dhea dan Vella. Dhea rasa durian, sementara saya dan Vella rasa ketan hitam. Enak sekali rasanya, ketika mengingat harganya hanya Rp 2 ribu per potong.
Salah satu penjual es potong yang dapat ditemui di pelataran Museum Fatahillah.

Ketika menikmati es potong, saya teringat dengan bajaj. Saya sangat ingin menikmati kendaraan khas ibu kota ini, begitu pula dengan Dhea. Tapi kita mau ke mana? Jawabannya, tidak ada. Sekedar mencoba naik bajaj saja. Segera kami menyeberang dan menyetop satu bajaj.

Tawar-menawar harga terjadi. kami memilih menaiki sampai Mangga Dua, dan sopir bajaj meminta Rp 12 ribu. Vella dengan sigap menolak dan keukeuh harganya Rp 10 ribu. Kami pasang muka jaim dengan sopir bajaj, hingga akhirnya dia mengalah.

Kami segera masuk bajaj yang sempit untuk bagian belakangnya dinaiki bertiga. Kami tetap tertawa senang, menikmati sempitnya bajaj, ditambah goyangan, getaran, dan berisiknya bajaj. Sensasi yang sungguh sulit ditemui di moda transportasi lainnya.

Bajaj, salah satu moda transportasi yang mulai jarang digunakan
Perjalanan tidak berhenti di situ. Kami kembali menaiki busway tidak untuk langsung pulang, melainkan untuk membali berwisata kuliner di Pasar Lama. Deretan tempat makan, mulai dari restoran hingga gerobak dan kaki lima, memenuhi pinggir jalanan. Seperti berebut lahan dengan area parkir yang juga ada di sepanjang jalan.
Mata saya dan Dhea sering tertuju pada setumpuk mangga yang sudah marun di sepanjang jalan. “Waaah... Mangga...,” begitu kita-kita kalimat yang sering dikeluarkan Dhea. Tapi, tujuan kami ke Pasar Lama untuk menikmati makanan berat, dan pilihan kami jatuh pada nasi bakar tuna. Lezat, gurih, dan unik, begitu kira-kira deskripsi saya.

Inilah nasi bakar tuna, wangi dan gurih makanan ini akan menggugah selera  makan kita.

Hari sudah mulai gelap ketika kami beranjak untuk pulang ke rumah Vella. Dengan kaki yang mulai pegal, sepanjang jalan kami berbicara tentang perjalanan seru ini. 


Jika ada diantara teman-teman yang tertarik mencoba, hayuk saja. Tidak akan rugi pokoknya. Saya jamin...

4 comments:

  1. Duh, saya kangen nih naik bajaj...
    Kemaren pas di jakarta, naek bajaj dari gedung BUMN sampe belakang MNC Tower sama si Asri.. Hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya elah,,, Imam. Itu mah cuma di sekitaran Monas aja kan? Dan aku juga yakin, kalau jaraknya pendek begitu, kalian cuma pengen merasakan sensasi naik bajaj. Sama aja kita, hahaha.Selendang mayang, es potong, kue cubit, dan nasi bakar udah coba belum? Rocommanded banget..

      Delete
    2. Hahahaha...tau aja.
      Ntar deh kapan2 tak cobain semua... Huahuaahhah...

      Delete
    3. Sippp-lah. Kota di Jawa yang kamu tahu cuma Lamongan dan Jakarta sih,haha. Nanti gantian deh, aku bawa pasukan Semarang ke Makassar..

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)