Senin (9/6) pagi, saya dan dua sahabat, Dhea dan Vella, sudah disibukkan dengan segala pekerjaan take home untuk ujian akhir semester ini. Mata kuliah Produksi Studio dan Penulisan Berita Penyiaran menjadi mata kuliah take home dengan pengumpulan hari Senin itu. Sejak pagi, sibuk menyunting dan bolak-balik kampus menemui dosen. Sorenya, sekitar pukul 15.00, segala kebutuhan tugas kuliah telah selesai kami kerjakan.
Ini dia, Kaca Neraca kami |
Pukul 17.30, segala sesuatu telah
dipersiapkan. Tinggal menunggu datangnya taksi dan dua sahabat. Hingga lima
belas menit kemudian, Vella dan taksi telah datang, sementara Dhea belum.
Bingung, takut ada apa-apa, dan panik karena kereta berangkat pukul 19.00, kami
terus menghubunginya. Nihil. Hingga kami kirim pesan singkat padanya untuk
bertemu di stasiun.
Sepanjang jalan, kami terus mencoba
menghubungi Dhea. Di daerah Ngesrep, dia menelepon dan mengatakan masih berada di sebuah ATM.
Kami berhenti dan menunggunya. Hanya lima menit, Dhea telah datang dan penuh
sudah anggota Three Journ kita.
Perjalanan pun berlanjut dengan
sedikit terburu-buru. Beruntung, macet di Jatingaleh tidak terlalu parah.
Setengah jam sebelum kereta berangkat, kami telah tiba di Stasiun Poncol.
Check-in sudah, waktunya naik kereta...
Kereta Tawang Jaya, yang mengantarkan kami ke Stasiun Senen, Jakarta |
Kami menggunakan kereta ekonomi
Tawang Jaya tujuan Stasiun Pasar Senen. Di kereta, kami duduk berhadap-hadapan.
Saya bersebelah dengan Dhea, menghadap Vella dengan seorang “mbak” di
sebelahnya.
Delapan jam di dalam kereta, mampu memaksa kami beradaptasi dengan kondisi kereta yang berisik dan
sempit untuk beristirahat. Rasa lapar sangat mengganggu niat kami untuk
beranjak ke alam mimpi. Tapi, Dhea sepertinya tidak terpengaruh, karena hanya
dalam dua jam di kereta, dia langsung tertidur.
Saya dan Vella sangat menantikan nasi pecel yang tidak kunjung datang. Terpaksa, kami pesan nasi goreng yang ditawarkan petugas restorasi di kereta. Ketika sudah memesan makanan, barulah pedagang pecel berteriak-teriak menawarkan. Kami hanya menatap lirih dan bergumam “Sial..”.
Saya dan Vella sangat menantikan nasi pecel yang tidak kunjung datang. Terpaksa, kami pesan nasi goreng yang ditawarkan petugas restorasi di kereta. Ketika sudah memesan makanan, barulah pedagang pecel berteriak-teriak menawarkan. Kami hanya menatap lirih dan bergumam “Sial..”.
Nasi goreng yang menurut saya sangat
pedas plus telur mata sapi, menjadi menu santap malam kami. Sensasi
makan dengan duduk bersila dalam kereta yang berjalan, memberikan sensasi unik. Badan yang
kadang turut bergoyang karena kereta, bisa menjadi bahan tertawaan saya dan
Vella di tengah makan malam.
Di tengah santap malam, Dhea
yang tidur di samping saya, terbangun. Refleks, sambil mengangkat sesendok
nasi, saya berkata, “Cut, makan, Cut...” Tidak ada reaksi sama sekali dari
Dhea, dan dia kembali melanjutkan mimpinya. Saya dan Vella kembali tertawa..
Kondisi tidur, bangun, tidur, dan
bangun, mewarnai perjalanan kami di kereta. Pedagang yang lalu-lalang di kereta
ekonomi ini semakin ramai saja. Ketika malam hari, yang ditawarkan pedagang berupa mie instan,
kopi, dan makanan berat. Sedangkan ketika fajar menjelang, makanan yang
ditawarkan menjadi kue-kue tradisional untuk sarapan, seperti molen, risole,
dan onde.
Di Stasiun Jatinegara, kereta
berhenti sejenak untuk menurunkan penumpang. Mbak yang duduk di samping Vella,
akhirnya meninggalkan kami. Ketika itu juga, Dhea langsung terbangun, segera
mencari sandal, dan memakainya. Kami kebingungan melihat tingkahnya. “Loh, Cut,
kamu ngapain? Turunnya masih lama,,,” kata Vella. “Oh, masih lama toh..,” Dhea
menjawab dan melepas kembali sandal gunungnya. Yang kami tidak sangka, dia kembali
melanjutkan tidurnya. Dasar Cucut..
Sebentar lagi sampai Stasiun Senen, yang menjadi stasiun tujuan kami. Dhea akhirnya benar-benar bangun. Ia teringat dengan karika, sejenis buah mirip pepaya yang diawetkan khas Dataran Tinggi Dieng. Dia membawanya ketika selesai berlibur di Dieng, beberapa hari sebelumnya. Kami segera memakan dengan tangan langsung. Jorok sekali memang..hehe.
Pukul 03.30, kami tiba di stasiun tujuan. Sesampainya di sana, kami segera beranjak dan mencari taksi untuk mengantarkan ke rumah Vella, lokasi tempat kami menumpang tidur. Sepanjang jalan, Pak Sopir seperti berperan pula menjadi guard. Jalanan Jakarta yang masih lengang, dia jelaskan satu per satu. Istana negara, Stasiun Gambir, hingga mall di Jakarta dan nama jalan, lengkap dia jelaskan.
Ternyata butuh waktu satu jam untuk sampai di rumah Vella yang berada di Villa Grand Tomang, Tangerang. Ketika sampai, kami disambut orang tua Vella yang terbangun karena ketokan pintu. Memasuki di kamar, segera kami merebahkan badan yang terasa remuk selama perjalanan.
Di balik
Liburan ala Kami:
1. Baik
Vella, Dhea, maupun saya, tidak memerlukan proses packing yang lama. Hanya beberapa
jam, bahkan menit saja. Sehingga kelihatan asal berangkat.
2. Ketika
masih berurusan dengan pengumpulan Kaca Neraca, kami harus bolak-balik revisi
dan nge-print, yang ternyata mampu menyita banyak pikiran.
3. Ketika
hendak berangkat, saya dan Vella sempat terpikir untuk meninggalkan Dhea dan
bertemu di stasiun, karena sudah mepet waktu dan taksi sudah lama datang. Beruntung,
di tengah jalan, Dhea datang seperti pahlawan dalam film-film.
4. Diantara
kami bertiga, hanya saya yang terlihat “rempong” dengan membawa koper. Pasalnya,
saya akan sebulan di Ibu Kota. #ngeles.
5. Jika
kalian bingung dengan panggilan “Cut” untuk Dhea, perlu diberitahukan, jika
kami memanggil Dhea adalah “Cucut”. Jika kalian berpikir dari kata “ikan cucut”,
boleh saja..
6. Saya
hampir tertinggal kereta karena yang terakhirke toilet. Sementara Dhea dan Vella
telah membawa semua barang masuk kereta. Saya pun segera beranjak memasuki kereta. Sialnya, kereta hanya berjalan maju
sedikit, dan kami harus menunggu 15 menit di dalam kereta yang panas.
7. Ketika
menemui nomor kursi di kereta, kami sempat adu mulut dengan segerombolan
mbak-mbak yang menyerobot kursi. Ternyata kursi mereka pisah, sedangkan ingin
duduk bersama. Tapi karena angka kursi kami yang sesuai, akhirnya menang
deh,... Aseeekk..
8. Sepanjang
perjalanan, mungkin saya yang terkesan norak, dengan tetap terkaget dengan
getaran kereta dan terus mengagumi pemandangan, sementara di luar kereta gelap
gulita karena malam. Padahal, cantiknya lampu, itulah yang saya maksud.
Baca juga cerita berikutnya: Pesona Kota Tua
Baca juga cerita berikutnya: Pesona Kota Tua
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)