Di zaman yang
kata orang serba sulit ini, beragam pekerjaan dilakukan untuk meraih
penghasilan. Kebutuhan pokok yang harganya kian naik, memaksa sebagian orang
rela melakukan pekerjaan “kasar”. Lalu lalang di jalanan yang keras, panas, dan
berdebu, telah menjadi keseharian orang yang mendapat rezeki di sana, pengamen
salah satunya.
foto: google.com |
Di jalan,
tempat makan, hingga angkutan umum, menjadi tempat langganan para pengamen
mencari recehan uang. Kebanyakan yang mudah ditemui, masih standar saja,
menggunakan alat musik made in sendiri, seperti dari tutup botol dan
bernyanyi ala kadarnya. Memainkan alat musik dan bernyanyi juga hanya singkat
saja, cukup dua menit.
Dari sekian
banyak yang sederhana, ada banyak pula yang kreatif. Di dalam angkutan umum
semacam metro mini atau kopaja, secara tiba-tiba segerombolan orang, sekitar
empat orang, masuk dan berdiri di tengah kendaraan. Secara kompak, mereka
memainkan musik dan bernyanyi. Alat musik yang terdiri dari gitar dan gendang
(terbuat dari pipa paralon), kerap mengiringi lagu yang dibawakan. Suara orang
yang didapuk sebagai penyanyi juga tergolong lumayan.
Sebenarnya,
tidak terbatas dua jenis itu. Ada jenis pengamen yang menurut saya pribadi,
berada pada posisi “tengah-tengah”. Pengamen yang berjalan sendiri dengan
gitarnya, tidak selamanya buruk. Pengamen sendirian dengan suara bagus juga
banyak ditemui. Meski kadang tenggelam dengan pengamen standar gaya lain yang
jauh lebih banyak.
Pengamen tidak
selamanya menyanyi atau bermain musik. Ada pengamen yang mencari recehan dengan
cara lain. Gaya orasi, salah satunya. Penumpang angkutan biasanya langsung
merasa kaget, dengan teriakan dari seseorang yang tiba-tiba naik. Pengamen jenis
ini biasanya secara panjang lebar mengungkapkan perasaannya. Bagaimana kinerja
pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, hingga berceramah betapa baiknya
bila bersedekah.
Dari yang saya
perhatikan, tidak banyak yang tertarik dengan pengamen yang menggunakan cara
ini. Tidak banyak yang menyodorkan recehan untuk mereka. Saya pikir, penumpang
juga malas bersimpati, karena secara fisik mereka sangat sehat, mengamen pun
tanpa “modal” atau peralatan penunjang (selain mulut), dan percaya atau tidak,
dari sekian banyak pengamen jenis ini, naskah yang dibacakan, sama semua.
Mengamen dengan
cara yang di atas, kita masih bisa berpikir wajar. Namun, ada pula pengamen
yang mengamen dengan cara menyayat lengannya sendiri. Serius, menyayat lengan,
menggunakan silet. Gaya preman yang datang mengamen ini, biasanya memunculkan
raut muka ketakutan dari penumpang angkutan.
Saya bertemu
dengan pengamen jenis ini ketika selesai berbelanja dan menumpang di Metro Mini
69 Cileduk-Blok M. Sudah termasuk malam, sekitar pukul 22.00, sepulang dari
kantor. Baru berjalan satu menit setelah saya masuk, Metro Mini menurunkan
penumpang dan pengamen menyeramkan itu pun turut masuk. “Bapak, Ibu, saya
datang tidak untuk mengganggu. Ini silet, sangat tajam. Sekarang saya akan
menyilet tangan saya Pak, Bu,” kira-kira begitu orasi singkat si pengamen. Hawa
seram seketika menyeruak. Saya melihat di pergelangan tangannya telah banyak
goresan, bahkan terkesan merah dan membengkak.
Iseng, saya
menoleh ke penumpang lain yang mayoritas ibu-ibu. Saya merasakan aura ketakutan
dari wajah mereka. Tidak ingin berlama-lama melihat atraksi debus itu, saya
palingkan muka ke jendela. Sampai atraksi selesai dan pengamen menyolek lengan
saya, tetap saya biarkan. Menyolek sekali lagi, saya tatap matanya, dan
menggeleng.
Ketika
melangkah meninggalkan saya, sayup-sayup terdengar suara “ngedumel”. Saya
biarkan saja. Ketika saya melirik, pengamen ini sudah sampai di bangku belakang
metro mini. Terdengar suara ngedumel lagi. “Ya elah, bulan puasa kok pada nggak
mau sedekah. Belum tau nih, silet ini bisa apa aja..,” Saya mendengar omelannya,
kurang lebih seperti itu. Ngeri juga rasanya, jika pengamen itu bertindak
macam-macam kepada penumpang.
Untunglah,
pengamen itu segera turun dari Metro Mini. Sepanjang perjalanan, saya diam
saja, memikirkan aksi seram yang baru saja lewat di depan mata. Hingga turun
dari angkutan, saya tetap diam sampai akhirnya tiba di kos.
Hahaha....untung gak dicolek pake siletnya ya...
ReplyDeleteBerani nyolek pale silet, nggak cuma aku pelototin orangnya. Tendang keluar bisa sekalian juga bisa, hehe. Sekarang, sudah tiga kali aku ketemu pengamen model itu. Orangnya beda-beda..
ReplyDeletewuih,,, sangara yah! susah juga nyari duit jaman skg. sampe pake cara nyilet badan biar dapat duit..
ReplyDeleteitu orang gak lagi sakau kan? bukan vampir kan?
Iya Novi. Awalnya aku kaget lho, tapi setelah beberapa kali melihat, jadi biasa saja. Tenang, mereka masih manusia kok.. Tertantang untuk melihat? :D
Delete