Wednesday, 25 July 2012

Pengamen

Di zaman yang kata orang serba sulit ini, beragam pekerjaan dilakukan untuk meraih penghasilan. Kebutuhan pokok yang harganya kian naik, memaksa sebagian orang rela melakukan pekerjaan “kasar”. Lalu lalang di jalanan yang keras, panas, dan berdebu, telah menjadi keseharian orang yang mendapat rezeki di sana, pengamen salah satunya.

foto: google.com
 Pengamen berasal dari kata “amen” yang menurut kamus Bahasa Indonesia merupakan penari, penyanyi, atau pemain musik yang tidak tetap tempat pertunjukannya, biasanya mengadakan pertunjukan di tempat umum dengan berpindah-pindah. Di kota besar, akan banyak jenis pengamen yang dapat ditemui.

Di jalan, tempat makan, hingga angkutan umum, menjadi tempat langganan para pengamen mencari recehan uang. Kebanyakan yang mudah ditemui, masih standar saja, menggunakan alat musik made in sendiri, seperti dari tutup botol dan bernyanyi ala kadarnya. Memainkan alat musik dan bernyanyi juga hanya singkat saja, cukup dua menit.
Dari sekian banyak yang sederhana, ada banyak pula yang kreatif. Di dalam angkutan umum semacam metro mini atau kopaja, secara tiba-tiba segerombolan orang, sekitar empat orang, masuk dan berdiri di tengah kendaraan. Secara kompak, mereka memainkan musik dan bernyanyi. Alat musik yang terdiri dari gitar dan gendang (terbuat dari pipa paralon), kerap mengiringi lagu yang dibawakan. Suara orang yang didapuk sebagai penyanyi juga tergolong lumayan.
Sebenarnya, tidak terbatas dua jenis itu. Ada jenis pengamen yang menurut saya pribadi, berada pada posisi “tengah-tengah”. Pengamen yang berjalan sendiri dengan gitarnya, tidak selamanya buruk. Pengamen sendirian dengan suara bagus juga banyak ditemui. Meski kadang tenggelam dengan pengamen standar gaya lain yang jauh lebih banyak.
Pengamen tidak selamanya menyanyi atau bermain musik. Ada pengamen yang mencari recehan dengan cara lain. Gaya orasi, salah satunya. Penumpang angkutan biasanya langsung merasa kaget, dengan teriakan dari seseorang yang tiba-tiba naik. Pengamen jenis ini biasanya secara panjang lebar mengungkapkan perasaannya. Bagaimana kinerja pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, hingga berceramah betapa baiknya bila bersedekah.
Dari yang saya perhatikan, tidak banyak yang tertarik dengan pengamen yang menggunakan cara ini. Tidak banyak yang menyodorkan recehan untuk mereka. Saya pikir, penumpang juga malas bersimpati, karena secara fisik mereka sangat sehat, mengamen pun tanpa “modal” atau peralatan penunjang (selain mulut), dan percaya atau tidak, dari sekian banyak pengamen jenis ini, naskah yang dibacakan, sama semua.
Mengamen dengan cara yang di atas, kita masih bisa berpikir wajar. Namun, ada pula pengamen yang mengamen dengan cara menyayat lengannya sendiri. Serius, menyayat lengan, menggunakan silet. Gaya preman yang datang mengamen ini, biasanya memunculkan raut muka ketakutan dari penumpang angkutan.
Saya bertemu dengan pengamen jenis ini ketika selesai berbelanja dan menumpang di Metro Mini 69 Cileduk-Blok M. Sudah termasuk malam, sekitar pukul 22.00, sepulang dari kantor. Baru berjalan satu menit setelah saya masuk, Metro Mini menurunkan penumpang dan pengamen menyeramkan itu pun turut masuk. “Bapak, Ibu, saya datang tidak untuk mengganggu. Ini silet, sangat tajam. Sekarang saya akan menyilet tangan saya Pak, Bu,” kira-kira begitu orasi singkat si pengamen. Hawa seram seketika menyeruak. Saya melihat di pergelangan tangannya telah banyak goresan, bahkan terkesan merah dan membengkak.
Iseng, saya menoleh ke penumpang lain yang mayoritas ibu-ibu. Saya merasakan aura ketakutan dari wajah mereka. Tidak ingin berlama-lama melihat atraksi debus itu, saya palingkan muka ke jendela. Sampai atraksi selesai dan pengamen menyolek lengan saya, tetap saya biarkan. Menyolek sekali lagi, saya tatap matanya, dan menggeleng.
Ketika melangkah meninggalkan saya, sayup-sayup terdengar suara “ngedumel”. Saya biarkan saja. Ketika saya melirik, pengamen ini sudah sampai di bangku belakang metro mini. Terdengar suara ngedumel lagi. “Ya elah, bulan puasa kok pada nggak mau sedekah. Belum tau nih, silet ini bisa apa aja..,” Saya mendengar omelannya, kurang lebih seperti itu. Ngeri juga rasanya, jika pengamen itu bertindak macam-macam kepada penumpang.
Untunglah, pengamen itu segera turun dari Metro Mini. Sepanjang perjalanan, saya diam saja, memikirkan aksi seram yang baru saja lewat di depan mata. Hingga turun dari angkutan, saya tetap diam sampai akhirnya tiba di kos.

4 comments:

  1. Hahaha....untung gak dicolek pake siletnya ya...

    ReplyDelete
  2. Berani nyolek pale silet, nggak cuma aku pelototin orangnya. Tendang keluar bisa sekalian juga bisa, hehe. Sekarang, sudah tiga kali aku ketemu pengamen model itu. Orangnya beda-beda..

    ReplyDelete
  3. wuih,,, sangara yah! susah juga nyari duit jaman skg. sampe pake cara nyilet badan biar dapat duit..

    itu orang gak lagi sakau kan? bukan vampir kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Novi. Awalnya aku kaget lho, tapi setelah beberapa kali melihat, jadi biasa saja. Tenang, mereka masih manusia kok.. Tertantang untuk melihat? :D

      Delete

Terima kasih telah berkunjung. Jangan lupa menulis komentar ya :)