Kejadian ini sudah berulang kali terjadi.
Mungkin kalian juga pernah mengalaminya. Bukan mungkin lagi, tapi pasti pernah
mengalaminya. Berjumpa, disapa, atau melihat sosok yang rasanya kita sudah
mengenalnya, tapi lupa namanya. Kalau lupa namanya, bagaimana bisa menyapa?
Kejadian semacam itu sangat sering saya
alami. Yang terbaru adalah tadi sore. Di dalam sebuah angkot pada sore yang syahdu
dengan gerimis membasahi bumi. Saya duduk di dalam angkot. Angkot itu masih
berhenti alias ngetem demi menunggu penumpang lainnya. Di saat hampir penuh,
ada seorang perempuan yang hendak turut menumpang angkot itu. Tapi tunggu, saya
seperti mengenalinya.
Karena dia menjadi penumpang terakhir,
posisi duduknya berada di dekat pintu. Saya sekilas melihat wajahnya,
mengingat-ingat di mana kira-kira saya pernah bertemu dengannya.
‘Ah iya. SMP. Dia temanku sewaktu SMP!’
saya membatin. Tapi masih ragu-ragu. Saya ingin menyapa, tapi tidak berhasil
mengingat namanya.
Tiba-tiba seorang ibu yang duduk di
sebelah saya hendak turun dari angkot. Setelah ibu itu turun, saya memperbaiki
posisi duduk saya. Perempuan itu melihat saya sekilas, tapi tidak bereaksi
apa-apa. Kemudian, saya memulai pembicaraan dengan bertanya, “Mbak, asalnya
dari Demak ya?”
“Iya. Kok tahu?” jawab dia dan balik
bertanya.
Karena kau telah mendemakkan hatiku...
Eh, bukan, bukan. Saya tidak bicara begitu!
“Dulu sekolah di SMP 1 ya?” saya tidak
menjawab pertanyaannya, tapi malah memberinya pertanyaan baru.
“Iya. Mbak kenal saya?” dia menjawab
dengan muka yang terlihat agak bingung.
Sambil nyengir, saya menjawab, “Dulu
kita satu SMP.”
“Oiya? Kok aku nggak ingat kamu ya?”
terlihat mukanya agak kaget. Di sini mulai ber-aku-kamu.
“Aku juga nggak ingat kamu. Cuma mukanya
aja yang familiar.” Saya menjawab sekenanya. Sementara itu, dia cuma ber-“Ooohhhhh,”
saja.
Setelah itu saya menyodorkan tangan
sambil memperkenalkan diri, “Dian...” Dan dia menjawab, “Lia...”
Secara kompak, kami tertawa bersama.
Setelah itu, dia berujar, “Maaf ya,
aku nggak ingat.” Dan saya balas, “Aku juga.”
Setelah itu, pembicaraan mengarah pada
jurusan yang kami ambil di kampus. Ternyata dia dari jurusan Ilmu Peternakan. Kemudian,
pembicaraan bergeser pada seorang teman SMP kami yang juga kuliah di Ilmu
Peternakan. Kebetulan, kami sama-sama mengenalnya.
Oke, itu hanyalah momen awkward yang sering
menghampiri saya. Berulang kali. Kalau kata teman-teman, saya punya ingatan
yang buruk terkait nama orang. Saya yakin, kalian juga pernah mengalaminya,
tapi saya berharap itu tidaklah sering.
Tetapi selain momen lupa nama, saya
juga punya kebiasaan yang lebih konyol. Bertemu orang baru, lalu ngobrol
ngalor-ngidul, kemudian berpisah, tapi tanpa saling berkenalan. Ini juga bukan
sekali terjadi, tapi berulang-ulang.
Saya beri satu contoh. Sekitar empat
tahun yang lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa baru, saya datang ke kampus
untuk mengambil atribut (topi, buku agenda, buku panduan mahasiswa, dan entah
apa lagi isinya). Pengambilan atribut itu dipisahkan berdasarkan fakultas, dan
tentu saja, saya berbaris di barisan FISIP.
Saat berbaris itulah, sesama pengantre
yang berdiri di depan saya, terlihat mengedarkan pandangannya ke berbagai penjuru
arah. Hingga akhirnya dia menengok ke belakang dan melihat saya. Kami saling sapa,
dan akhirnya ngobrol. Diawali dengan membicarakan jurusan, asal kota, asal SMA,
kemudian bla bla bla.... Sampai akhirnya dia sampai di barisan terdepan dan
mengambil atributnya.
Setelah dia mendapatkan atribut, dia
berbalik dan berpamitan. Tapi, kami sama-sama lupa berkenalan.
Beberapa waktu setelahnya, saya hampir
melupakan kejadian itu. Tapi, kami yang berada dalam satu fakultas, sangat
mungkin untuk bertemu bukan? Bisa di parkiran, koridor, atau lobi. Nah, saat tidak
sengaja bertemu itulah kami cuma bisa bersapa “Hai...”, tanpa mampu menyebutkan
nama. Kemudian, tidak ada pembicaraan lagi setelahnya.
Oke. Mari kita bergeser lagi pada
kebiasaan buruk saya yang lain. Kali ini menyangkut kesuksesan “calon pekerjaan”
saya. Karena, kejadian lupa bertanya nama juga kerap terjadi saat saya menjalankan
tugas sebagai wartawan kampus. Terkadang, eh maksudnya sering kali, saat menemukan
narasumber, saya langsung bertanya banyak hal. Kemudian, di saat hendak
berpisah, kalimat yang biasanya meluncur dari mulut saya adalah, “Terima kasih ya
Pak... Maaf, nama Bapak siapa?” Paling tidak, saya harus bersyukur, tidak
sampai lupa bertanya nama.
Tapi memang sih, di beberapa kejadian
saya sampai lupa menanyakan namanya (atau nama lengkapnya) saat sudah berada di
balik pintu. Kalau sudah begitu, saya
harus siap repot ngubek-ngubek buku direktori. Misalnya mencari pembantu dekan
sekian fakultas bla bla bla adalah...
Oiya. Ada satu teman yang mengibaratkan
lupa bertanya nama saat wawancara (atau menanyakan nama di akhir wawancara) dengan
“Nonjok dulu, pakai sarung tinju kemudian”. Dan ya, kurang lebih memang begitu
keadaannya.
good post
ReplyDelete